Syariah

Apakah Membincangkan Rumor Perselingkuhan Figur Publik Itu Termasuk Qadzaf?

Sabtu, 26 Juli 2025 | 11:00 WIB

Apakah Membincangkan Rumor Perselingkuhan Figur Publik Itu Termasuk Qadzaf?

Ilustrasi membincangkan rumor perselingkuhan. (Foto: NU Online/Freepik)

Belakangan ini, jagat media sosial (medsos) dan kanal berita diramaikan oleh rumor perselingkuhan antara figur publik baik artis maupun politisi. Potongan video, komentar anonim, hingga narasi yang belum terverifikasi banyak bertebaran, sebagian masyarakat pun terbawa arus dengan menyebarkan informasi tersebut, lengkap dengan insinuasi bahwa si A telah berzina dengan si B.

 

Dalam Islam, menyebarkan tuduhan zina bukanlah perkara sepele. Tuduhan ini termasuk dalam kategori dosa besar, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, dan memiliki konsekuensi hukum pidana syar'i (hadd). Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang membincangkan isu dugaan perselingkuhan yang belum terbukti, apalagi jika dibumbui dengan tuduhan zina atau qadzaf?

 

Sebagai agama yang membawa rahmatan lil alamin, Islam sangat menjaga kehormatan individu. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nur ayat 4:

 

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً

 

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka sebanyak delapan puluh kali cambukan.”

 

Ayat ini menjadi dasar hukum bagi perbuatan qadzaf, yaitu menuduh seseorang berzina tanpa menghadirkan empat orang saksi yang adil. Tuduhan tanpa bukti semacam itu, berbalik menjadi kesalahan pada penuduh.

 

Di era digital, tuduhan zina tidak selalu disampaikan secara eksplisit. Ia kerap muncul dalam bentuk sindiran, plesetan, atau "kode keras" di media sosial. Misalnya dengan ungkapan: “Itu pasti nginep bareng di apartemen!”,     “Mesra banget pejabat dan si artis, pasti ada main!”, atau komentar sejenisnya.

 

Dalam konteks fiqih, para ulama klasik telah membahas kemungkinan qadzaf terjadi meski tidak dengan lafaz yang eksplisit. Imam al-Kasani dari mazhab Hanafi menjelaskan:

 

ومن شرائط إيجاب الحد في القذف أن يكون الذي يصدر منه لفظ صريح في القذف، أو كناية يفهم منها القذف بالعرف، لأن الحد لا يجب إلا بالتصريح، أو بما يجري مجرى التصريح في الاستعمال

 

Artinya: “Di antara syarat wajibnya hukuman hadd dalam kasus qadzaf adalah bahwa ucapan yang keluar harus berupa lafaz yang jelas menunjukkan qadzaf, atau berupa sindiran yang secara ‘urf (kebiasaan masyarakat) dipahami sebagai tuduhan zina. Karena hadd tidak wajib kecuali dengan ucapan yang jelas atau yang dalam pemakaian umum setara dengan lafaz tegas.” (al-Kasani, Bada’i‘ ash-Shana’i‘ fi Tartib asy-Syara’i‘, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1982], juz 7, hal. 63)

 

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Imam Ibnu Rusyd dari mazhab Maliki:

 

ويكون القذف أيضًا باللفظ الذي يعبر عنه به عرفًا، ولو كان كناية أو شعرًا يقتضي ذلك، إذ كان القذف من الأمور التي يعلم معناها بالعرف

 

Artinya: “qadzaf juga bisa terjadi dengan lafaz yang secara kebiasaan (‘urf) digunakan untuk mengekspresikan tuduhan tersebut (zina), walaupun hanya berupa kiasan atau syair yang mengandung makna demikian. Karena qadzaf adalah perkara yang dipahami melalui kebiasaan (‘urf).” (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, [Beirut: Dar al-Fikr, 1995], juz 2, hal. 543)

 

Dalam mazhab Syafi‘i, lafaz sindiran juga bisa dihukumi qadzaf apabila disertai niat atau secara umum dipahami sebagai tuduhan zina. Imam An-Nawawi menyatakan:

 

اللفظ الصريح في القذف يوجب الحد، وكذا الكناية إذا نوى بها القذف، أو فهم منه القذف عادة

 

Artinya: “Lafaz yang tegas dalam qadzaf mewajibkan hadd. Demikian pula lafaz sindiran (kinayah), apabila disertai niat menuduh zina, atau secara kebiasaan dipahami sebagai tuduhan zina.” (Imam Nawawi, Raudhah at-Thalibin, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003], juz 10, hal. 62)

 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj menambahkan:

 

ويشترط التصريح بالقذف، أو كناية مشعرة به عرفًا مع نية القذف، كقوله: لست بزاني، أو أنا لست كمن يزني

 

Artinya: “Disyaratkan adanya lafaz qadzaf yang tegas, atau sindiran yang menunjukkan makna qadzaf secara ‘urf, dengan niat menuduh zina. Seperti ucapan: ‘Aku bukan pezina’, atau ‘Aku tidak seperti orang yang berzina’, dalam konteks menyindir.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1983], juz 10, hal. 219)

 

Perlu ditegaskan bahwa definisi qadzaf sebagaimana diuraikan di atas bersifat normatif dalam fiqih Islam. Adapun penetapan hukum dan penerapan sanksi qadzaf secara resmi adalah wewenang pengadilan, dan hanya dapat dijalankan melalui proses hukum berdasarkan laporan pihak yang merasa dirugikan.

 

Jadi, meskipun secara syar‘i tuduhan seperti itu tergolong dosa besar, status hukumnya berada dalam ranah negara dan ditentukan melalui proses pembuktian di hadapan hakim, bukan melalui opini publik atau media sosial.

 

Di sisi lain, menjaga kehormatan individu adalah bagian dari maqashid syariah. Tuduhan zina, terutama kepada orang yang tidak terbukti melakukannya, dapat menghancurkan nama baik, rumah tangga, dan kehidupan sosial seseorang.

 

Dalam Islam, kejahatan terhadap kehormatan tidak kalah berat dari kejahatan terhadap jiwa dan harta. Oleh sebab itu, menuduh zina tanpa bukti adalah pelanggaran serius yang tak bisa dianggap remeh baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Rasulullah juga bersabda:

 

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

 

Artinya: “Seorang Muslim sejati adalah yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Maka, tuduhan yang diucapkan melalui lisan maupun jari (tulisan, unggahan, komentar) di media sosial tetap bisa menimbulkan dampak yang sama beratnya secara syar‘i.

 

Islam tidak menutup mata terhadap fakta. Bila seseorang mengetahui secara sah adanya perzinaan dan ingin menempuh jalur hukum, maka empat orang saksi yang adil harus dihadirkan. Jika tidak, maka tidak diperkenankan menyebarkan tuduhan di ruang publik, apalagi di media sosial.

 

Tuduhan zina tidak bisa dikelola oleh netizen, youtuber, atau media gosip. Ini adalah perkara hukum yang diatur secara ketat dalam syariat, dan penanganannya ada di pengadilan, bukan di kolom komentar.

 

Mengingat hal tersebut, menahan diri dari menyebarkan rumor yang belum terbukti, terutama yang menyangkut kehormatan pribadi adalah bentuk ketaatan dan kehati-hatian dalam agama. Dalam dunia yang cepat menyebarkan kabar, mari kita merenung sejenak sebelum menekan tombol share. Sebab di baliknya, bisa jadi ada nama baik yang dirusak, keluarga yang terluka, dan dosa besar yang tertoreh.

 

Membicarakan atau menyebarkan rumor perselingkuhan terlebih dengan insinuasi zina tanpa bukti sah seperti empat saksi yang adil, termasuk dalam kategori qadzaf yang merupakan dosa besar dan berkonsekuensi hukum hadd dalam Islam. Tuduhan semacam ini tidak sah disampaikan di ruang publik tanpa prosedur hukum.

 

Sikap yang tepat bagi seorang Muslim adalah menahan lisan dan jari, tidak ikut menyebarkan, menanggapi, atau memperkuat rumor. Menjaga kehormatan orang lain adalah bagian dari maqashid syariah dan akhlak Muslim sejati. Bijaklah bersosial media dan jangan sampai dosa qadzaf menjerumuskan kita hanya karena ikut-ikutan mengomentari rumor yang belum tentu benar. Wallahu A‘lam.

 

Ustadz H. Moh. Zainal Abidin,  Pengajar PP Al-Muayyad Surakarta, Wakil Rois Syuriyah PCNU Surakarta