Syariah

Hukum Kurban Online: Pandangan Ulama tentang Berkurban Jarak Jauh

Rabu, 4 Juni 2025 | 15:00 WIB

Hukum Kurban Online: Pandangan Ulama tentang Berkurban Jarak Jauh

Ilustrasi berkurban. (Foto: NU Online)

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, memunculkan beberapa inovasi modern yang berhubungan dengan perilaku manusia, tidak terkecuali dalam ibadah, salah satunya adalah ibadah kurban. Biasanya mendekati hari raya Idul Adha, banyak platform ataupun lembaga menawarkan jasa penyelenggaraan kurban secara online, misalnya program Qurban Memberdayakan NU Care Lazisnu.

 

Selain NU Care Lazisnu, jasa kurban online juga banyak ditawarkan oleh sejumlah pihak. Dalam pengelolaannya, jasa kurban online cenderung lebih mempermudah seseorang yang akan menjalani ibadah kurban. Sebab, calon yang akan bersedia berkurban melalui layanan tersebut sudah tidak perlu lagi repot-repot mencari hewan kurban, menyembelih hewan kurban, dan mendistribusikan daging kurban kepada penerimanya. Semua itu sepenuhnya dikelola oleh jasa penyedia kurban online.

 

Lantas, bagaimana pandangan ulama terkait kurban online sebagaimana yang disebutkan di atas? Berikut ini beberapa masalah yang menjadi sorotan para ulama terkait ibadah kurban online atau jarak jauh.

 

1. Pembelian Hewan Kurban

Masalah pertama dalam praktik kurban online adalah pembelian hewan kurban. Pada praktik ini, para ulama menyebutkan bahwa hukumnya diperbolehkan karena termasuk dalam skema akad wakalah lis syira’ (perwakilan untuk membeli barang) yang dianggap legal dan sah berdasarkan literatur kitab fikih. Keabsahan akad ini apabila terjadi sinkronisasi antara kedua belah pihak.

 

إذا وكّله أن يشتري له شيئًا، وقيّده بنوع أو ثمن، لزمه مراعاة القيد، فإذا خالف الوكيل في هذا وقع الشراء للوكيل، ولم يقع للموكل إلا إذا خالف إلى خير

 

Artinya: “Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membeli sesuatu, dan membatasinya dengan kriteria atau harga tertentu, maka harus mengikuti batasan tersebut. Sehingga apabila wakil tidak mengikutinya, maka pembelian tersebut terjadi untuk wakil, bukan untuk orang yang mewakilkannya, kecuali apabila yang lebih baik dari batas yang ditentukan (orang yang mewakilkannya)”. (Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, Ali as-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, [Damaskus, Dar al-Qalam, 1992], vol. 7 hlm. 181)

 

Oleh karena itu, kesepakatan yang dilangsungkan antara jasa penyedia kurban online dan pendaftar jasa tersebut itu harus direalisasikan sebagaimana adanya, serta tidak boleh dilanggar.

 

2. Penyembelihan Kurban

Masalah kedua dalam praktik kurban online adalah penyembelihan hewan kurban. Para ulama menyebutkan, hukum mewakilkan dalam menyembelih kurban itu diperbolehkan karena termasuk dalam skema akad wakalah lid dzabh (perwakilan untuk menyembelih) yang dianggap legal dan sah berdasarkan literatur kitab fikih, meskipun penyembelihan yang lebih utama adalah oleh pihak yang berkurban. Dua praktek penyembelihan ini; dengan diwakilkan dan dengan ditangani sendiri oleh orang yang kurban, itu pernah dicontohkan langsung oleh baginda Nabi, pada saat haji wada’. (Shahih Muslim: 147-1219)

 

Selanjutnya, meskipun mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihkan kurban itu diperbolehkan, namun pada dasarnya penyembelihan hewan kurban itu dilaksanakan tepat di daerah orang yang berkurban itu berada. (Imam An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, [Kairo, Idarat at-Thabaah al-Muniriyah, 1347 h], vol. 8 hlm. 425)

 

Adapun penyembelihan hewan kurban yang dilaksanakan tidak berada pada tempatnya orang yang berkurban, maka dalam hal ini terdapat ragam pandangan dari para ulama sebagaimana yang disitir Imam Mawardi berikut:

 

وَمَحِلُّ الضَّحَايَا فِي بَلَدِ الْمُضَحِّي، وَهَلْ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ ذَبْحُهَا فِيهِ أَمْ لَا؟ عَلَى وَجْهَيْنِ مُخَرَّجَيْنِ مِنِ اخْتِلَافِ قَوْلَيِ الشَّافِعِيِّ فِي تَفْرِيقِ الزَّكَاةِ فِي غَيْرِ بَلَدِ الْمَالِكِ هَلْ يُجْزِئُ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ

 

فَإِنْ قِيلَ لَا تُجْزِئُ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ ذَبْحُ الْأُضْحِيَّةِ فِي بَلَدِهِ فَإِنْ ذَبَحَهَا فِي غَيْرِ بَلَدِهِ لَمْ يُجْزِهِ. وَإِنْ قِيلَ تَفْرِيقُهَا فِي غَيْرِ بَلَدِهِ يُجْزِئُ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ ذَبْحُ الْأُضْحِيَّةِ فِي بَلَدِهِ، وَكَانَ ذَبْحُهَا فِي بَلَدِهِ أَفْضَلَ، وَفِي غَيْرِ بَلَدِهِ جَائِزٌ

 

Artinya: “Tempat penyembelihan kurban itu berada pada tempatnya orang yang berkurban, dan apakah penyembelihannya harus di daerah tersebut atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang muncul dari perbedaan pendapat Imam Syafi’I tentang membagikan zakat pada selain daerahnya orang yang memiliki harta zakat, apakah itu mencukupi atau tidak? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat.

 

Sehingga apabila dikatakan bahwa tidak mencukupi (zakat di luar daerah), maka harus menyembelih hewan kurban di daerahnya orang yang berkurban, sehingga apabila tidak di daerahnya orang yang berkurban maka tidak diperbolehkan. Namun apabila dikatakan bahwa boleh membagikan zakat di selain daerahnya orang yang zakat itu mencukupi, maka tidak harus menyembelih hewan kurban di daerahnya orang yang berkurban, dan menyembelihnya di daerahnya itu lebih utama, sedangkan di selain daerahnya itu diperbolehkan”. (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Syafi’i, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999], vol. 15 hlm. 115)

 

3. Pendistribusian Daging

Permasalah berikutnya yang menjadi pembahasan para ulama fiqih soal praktik kurban online adalah pendistribusian dagingnya. Secara garis besar, terdapat dua pandangan ulama sebagaimana hukum penyembelihan kurban yang dilaksanakan di luar domisili orang yang berkurban.

 

Pendapat pertama menganggap bahwa distribusi hewan kurban di luar domisili pihak yang berkurban tidak diperbolehkan, ini disampaikan Imam Ramli dalam Fatawi-nya (4/68), Syaikh Muhammad Al-Khatib As-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj-nya (6/135), Syaikh Ibnu al-‘Imad yang dikutip dalam I'anatut Thalibin (2/380), dan lain sebagainya.

 

Sedangkan pendapat yang kedua menganggap bahwa hal tersebut diperbolehkan, ini sebagaimana yang disampaikan Imam al-Isnawi dan dikutip oleh Syaikh Ibnu Qasim al-Abbadi dalam kitabnya Hasiyyah Ibnu Qasim al-Abbadi ‘ala al-Ghurar al-Bahiyyah (5/170).

 

Pandangan Imam Isnawi di atas juga dipilih oleh Syaikh Taqiyuddin al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar-nya (1/534), dan disusul oleh Syaikh Sulaiman al-Kurdi dalam himpunan fatwanya sebagaimana berikut:

 

جرت عادة أهل بلد جاوى على توكيل من يشتري لهم النعم في مكة للعقيقة أو الأضحية ويذبحه في مكة، والحال أن من يعق أو يضحي عنه في بلد جاوى فهل يصح ذلك أو لا؟ أفتونا. (الجواب) نعم، يصح ذلك، ويجوز التوكيل في شراء الأضحية والعقيقة وفي ذبحها، ولو ببلد غير بلد المضحي والعاق كما أطلقوه فقد صرح أئمتنا بجواز توكيل من تحل ذبيحته في ذبح الأضحية، وصرحوا بجواز التوكيل أو الوصية في شراء النعم وذبحها، وأنه يستحب حضور المضحي أضحيته ولا يجب – وبالجملة فكلام أئمتنا يفيد صحة ما ذكر تصريحا وتلويحا متونا وشروحا. والله أعلم

 

Artinya: “Kebiasaan penduduk Jawa adalah mewakilkan kepada seseorang untuk membelikan hewan ternak bagi mereka di Makkah, untuk akikah maupun kurban, dan menyembelihnya di Mekah. Padahal orang yang diaqiqahkan atau disembelihkan kurban itu berada di Jawa. Apakah hal tersebut sah atau tidak? Berilah fatwa kepada kami. (Jawaban beliau), Ya hal itu sah, dan boleh mewakilkan orang lain untuk membelikan kurban atau aqiqah dan penyembelihannya, walaupun di luar daerah orang yang berkurban dan akikah, sebagaimana yang dimutlakkan para ulama, maka para imam kita menjelaskan kebolehan mewakilkan kepada orang yang halal sembelihannya untuk menyembelih kurban, mereka juga menjelaskan kebolehan mewakilkan ataupun wasiat untuk membeli ternak dan menyembelihnya, dan sesungguhnya disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk menghadiri penyembelihan kurbannya dan hal ini tidak wajib – oleh karena itu semua, maka perkataan para imam kita memberi faidah bahwa sahnya hal yang telah disebutkan, dengan penjelasan dan keterangan baik dalam kitab-kitab matan maupun syarah”.(Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madani, Fatawa al-Kurdi, [tp, tt] hlm. 94)

 

Fatwa Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi di atas juga dikutip Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I'anatut Thalibin yang sekaligus dikuatkan oleh gurunya, yaitu Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (Abu Bakar Syatha, Ianatut Thalibin, [Dar al-Fikr, 1997], vol. 2 hlm. 380)

 

Dengan demikian, berkurban melalui jasa penyedia kurban atau bisa disebut dengan kurban online, maka pada dasarnya hukumnya diperbolehkan, meskipun beberapa ulama mempermasalahkan tempat penyembelihan dan sasaran pendistribusiannya, sebab dilakukan di luar tempat keberadaan orang yang berkurban.

 

Kendati demikian, pelaksanaan kurban sebaiknya mampu menyentuh hikmah dari pensyariatannya, yaitu sebagaimana berikut:

 

ما فيها من المواساة للفقراء والمعوزين وإدخال الشرور عليهم وعلى الأهل والعيال يوم العيد، وما ينتج عن ذلك من تمتين روابط الأخوة بين أفراد المجتمع المسلم، وغرس روح الجماعة والود في قلوبهم

 

Artinya: “(Hikmah pensyariatannya) yaitu mengandung kepedulian terhadap orang-orang fakir dan yang membutuhkannya, serta membangkitkan kegembiraan kepada mereka, keluarga, dan keturunan pada saat hari raya, juga menghasilkan ikatan hubungan persaudaraan diantara masyarakat muslim, serta menanamkan semangat kebersamaan dan kasih saying di dalam hati mereka”. (Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, Ali as-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, [Damaskus, Dar al-Qalam, 1992], vol. 1 hlm. 232).

 

Dengan demikian, secara umum mayoritas ulama sepakat bahwa hukum kurban online diperbolehkan dengan alasan akad wakalah. Namun terkait tempat penyembelihan hewan kurban dan pendistribusian dagingnya terjadi perbedaan pendapat. Wallahu a‘lam.

 

Muhammad Minanur Rohman, Alumnus Pelatihan Menulis Keislaman 2025.