Syariah

Ketentuan Menemukan dan Memiliki Barang Temuan dalam Islam: Tanggung Jawab dan Hak Penemu

Kamis, 20 Maret 2025 | 12:00 WIB

Ketentuan Menemukan dan Memiliki Barang Temuan dalam Islam: Tanggung Jawab dan Hak Penemu

Ketentuan menemukan dan memiliki barang temuan (NU Online).

Pernahkah Anda menemukan barang berharga di tempat umum? Mungkin Anda bingung harus melakukan apa dengan barang tersebut. Dalam Islam, tidak hanya ada ketentuan mengenai apakah barang tersebut boleh diambil, tetapi juga cara yang tepat untuk mengelolanya.

Islam mengajarkan tanggung jawab dan amanah dalam menyikapi barang temuan (luqathah), yang bukan hanya sekadar hak kepemilikan, tetapi juga tanggung jawab moral dan sosial.
 

Lalu, bagaimana ketentuan tentang barang temuan dalam Islam dan hukum positif yang berlaku? Temukan jawabannya dalam artikel ini.
 

Konsep tentang barang temuan ini dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah luqathah. Tidak semua barang yang ditemukan boleh langsung dimiliki, dan ada ketentuan khusus yang harus diperhatikan. Mulai dari definisi, hukum mengambilnya, hingga cara mengelolanya, Islam telah memberikan pedoman rinci agar barang temuan tetap dalam koridor keadilan.
 

Definisi Luqathah 

Merujuk pada penjelasan Dr Musthafa Al-Khin dkk, secara etimologis, luqathah berarti barang yang ditemukan. Sementara dalam istilah syariat, luqathah adalah harta atau ikhtishash yang muhtaram (sesuati yang terjaga kehormatannya) yang ditemukan di tempat yang tidak bertuan, tidak berada di tempat semestinya, dan pemiliknya tidak diketahui.
 

Harta ini bisa berupa uang, barang berharga, atau benda lain yang memiliki nilai menurut syariat. Mereka menjelaskan:
 

وفي اصطلاح الشرع: هي مال أو اختصاص محترم، وجد في مكان غير مملوك، لم يحرز ولا عرف الواجد مستحقه
 

Artinya, “Dalam istilah syariat, luqathah adalah harta atau sesuatu yang memiliki nilai kepemilikan yang dihormati, ditemukan di tempat yang tidak dimiliki seseorang, belum diamankan, dan penemunya tidak mengetahui siapa pemiliknya.” (Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992] jilid VII, halaman 100).
 

Hukum dan Ketentuan Mengambil Barang Temuan

Dalam Islam, mengambil barang temuan memiliki lima hukum yang berbeda, tergantung pada kondisi barang dan orang yang menemukannya. Hukum-hukum ini meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, masing-masing dengan ketentuan tersendiri. Berikut perinciannya:

  1. Sunah, yaitu jika seseorang yakin bahwa dirinya amanah (dapat dipercaya) dan khawatir barang tersebut akan hilang jika dibiarkan. I disunnahkan untuk mengambilnya demi menjaganya.
  2. Mubah, yaitu jika tidak ada kekhawatiran barang itu akan hilang. Mengambil atau membiarkannya sama-sama diperbolehkan.
  3. Wajib, yaitu jika barang tersebut berisiko hilang dan tidak ada orang lain yang dapat dipercaya di tempat tersebut, maka wajib mengambilnya karena menjaganya adalah kewajiban.
  4. Makruh, jika seseorang ragu akan kejujurannya di masa depan dan khawatir tergoda untuk menggunakannya secara tidak sah, maka mengambilnya hukumnya makruh.
  5. Haram, jika seseorang tahu bahwa dirinya tidak amanah dan pasti akan menggunakannya untuk kepentingan pribadi tanpa niat mengembalikannya kepada pemiliknya. Haram baginya untuk mengambilnya. (Al-Khin, dkk, VII/101)


 

Jika seseorang memilih untuk tidak mengambil barang temuan, maka ia tidak memiliki tanggung jawab atas barang tersebut jika terjadi kerusakan. Hal ini karena kewajiban dhaman (tanggung jawab ganti rugi) hanya berlaku ketika seseorang telah menguasai barang tersebut atau menyebabkan kerusakannya.
 

Dengan demikian, selama barang itu tidak diambil atau disentuh, ia tetap berada di luar tanggung jawab penemunya.
 

Syekh Abu As-Syirazi menjelaskan:
 

إن تركها ولم يأخذها لم يضمن لأن المال إنما يضمن باليد أو بالإتلاف
 

Artinya, “Jika seseorang meninggalkan luqathah (tidak mengambilnya), maka ia tidak bertanggung jawab atasnya. Sebab, harta hanya menjadi tanggung jawab seseorang jika ia memegangnya (menguasainya) atau merusaknya.” (Al-Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: t.t.], jilid II, halaman 204).
 

Apabila barang temuan diambil oleh orang fasiq, maka hakim berhak mengambil darinya dan menyerahkan kepada seseorang yang lebih adil agar barang tersebut dapat dikelola dengan benar sesuai syariat. Hal ini bertujuan untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan atau kelalaian dalam mengumumkan dan menjaga barang temuan.
 

Selain itu, seorang wali juga memiliki hak untuk mengambil luqathah dari anak kecil, karena anak kecil belum memiliki kecakapan dalam mengelola barang temuan. Dalam hal ini, wali bertanggung jawab untuk melakukan ta’rif (pengumuman) sesuai ketentuan syariat.
 

Jika setelah masa pengumuman selesai tidak ditemukan pemiliknya, wali boleh menjadikan luqathah tersebut sebagai milik anak tersebut, selama hal itu membawa maslahat bagi dirinya dan tidak menimbulkan mudarat. (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: 2005], halaman 207).
 

Ketentuan Memiliki Barang Temuan

Dalam Islam, seorang berhak memiliki barang temuan setelah masa pengumuman yang diwajibkan telah berakhir. Hak kepemilikan ini diberikan sebagai solusi bagi barang temuan yang tidak diketahui pemiliknya setelah dilakukan upaya pengumuman sesuai syariat.
 

Namun, setelah barang tersebut menjadi miliknya, penemu juga menanggung tanggung jawab penuh atasnya. Jika suatu saat pemilik asli muncul dan mengklaim barang tersebut, maka penemu wajib mengganti nilainya atau mengembalikannya jika masih ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang diberikan kepada penemu bersifat sementara dan tetap mengutamakan hak pemilik aslinya.
 

للملتقط ان يتملّك العين الملتقطة إن كانت باقية - أو ثمنها حال بيعها كما في الصور السابقة - بعد انتهاء مدة تعريفها اللازمة، فإذا تملّكها صارت مضمونة عليه
 

Artinya, “Orang yang menemukan luqathah berhak memilikinya jika barang tersebut masih ada atau mengambil hasil penjualannya seperti dalam kasus yang telah dijelaskan sebelumnya setelah masa pengumuman yang wajib telah berakhir. Namun, jika ia sudah memilikinya, maka barang tersebut menjadi tanggung jawabnya.” (Al-Khin, dkk, VII/107).
 

Dalam memiliki barang temuan, para ulama berbeda pendapat mengenai cara kepemilikan yang sah setelah masa ta‘rif atau pengumuman berakhir. Menurut satu pendapat, penemu masih perlu menyatakan penerimaan kepemilikan secara eksplisit seperti ungkapan “saya memilikinya”, karena kepemilikan barang temuan dianggap sebagai penerimaan dengan imbalan yang membutuhkan pernyataan formal.
 

Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa kepemilikan cukup dengan niat memiliki atau memindahkan otoritas, sebab dalam konteks barang temuan tidak terdapat unsur ijab yang mengharuskan adanya pernyataan resmi.
 

Pendapat lainnya lagi beranggapan bahwa kepemilikan otomatis berpindah setelah masa pengumuman selesai, karena sejak awal penemu telah mengambil barang tersebut dengan niat menjaga dan memilikinya jika pemiliknya tidak ditemukan.
 

Imam An-Nawawi mengatakan:
 

إذا عرف سنة لم يملكها حتى يختاره بلفظ كتملكت وقيل: تكفي النية وقيل: يملك بمضي السنة
 

Artinya, “Jika seseorang telah mengumumkan luqathah selama satu tahun, ia tidak langsung memilikinya kecuali ia menyatakannya secara eksplisit dengan kata-kata seperti "Saya memilikinya". Namun, ada yang mengatakan cukup dengan niat dalam hati. Dan ada juga yang mengatakan kepemilikan terjadi secara otomatis setelah satu tahun berlalu. (Minhajut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005], halaman 175).
 

Barang Temuan dalam Perspektif Hukum Positif

Barang temuan sering menjadi persoalan hukum yang menarik, terutama terkait dengan kepemilikan dan konsekuensi hukum bagi penemunya. Dalam hukum positif Indonesia, status barang temuan diatur dalam hukum perdata maupun hukum pidana, dengan konsekuensi yang berbeda tergantung pada niat dan tindakan si penemu.
 

1. Barang Temuan dalam Hukum Perdata

Menurut Prof. Subekti, penguasaan suatu barang tanpa melihat kepemilikan aslinya disebut bezit. Bezit adalah keadaan di mana seseorang menguasai suatu benda seolah-olah miliknya sendiri, dan hukum memberikan perlindungan terhadap kondisi ini tanpa mempertimbangkan siapa pemilik sahnya. (Pokok-Pokok Hukum Perdata, [1978], halaman 63-64).
 

Orang yang menemukan dan menguasai barang temuan secara otomatis menjadi bezitter. Hukum membedakan bezitter yang beriktikad baik dan yang beriktikad buruk. Namun, prinsip yang berlaku adalah setiap orang dianggap beriktikad baik kecuali ada bukti yang menunjukkan sebaliknya (Pasal 533 KUH Perdata).
 

Lebih lanjut, Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Namun, jika barang tersebut sebelumnya hilang, pemilik asli masih memiliki hak untuk menuntutnya kembali dalam waktu tiga tahun. Dalam situasi tertentu, apabila barang tersebut telah dibeli dari tempat yang lazim menjual barang sejenis, pemilik asli wajib memberikan ganti rugi kepada pembeli (Pasal 582 KUH Perdata).
 

2. Implikasi Pidana atas Pengambilan Barang Temuan

Dari sudut pandang hukum pidana, tindakan mengambil barang yang ditemukan tanpa berusaha mengembalikannya bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUH Pidana) atau penggelapan (Pasal 372 KUH Pidana).
 

Dalam penjelasannya, R. Soesilo menguraikan perbedaan mendasar antara pencurian dan penggelapan dalam konteks barang temuan. Jika seseorang menemukan barang dan sejak awal berniat untuk memilikinya, maka hal tersebut termasuk pencurian.
 

Namun, apabila awalnya ia berniat mengembalikan tetapi di kemudian hari berubah pikiran dan memutuskan untuk memilikinya, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori penggelapan. (Raden Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal: untuk Para Pejabat Kepolisian Negara, Kejaksaan/Pengadilan Negeri, Pamong Praja, dsb, [1974], halaman 258).
 

Pendapat ini juga diperkuat oleh S.R. Sianturi, yang menegaskan bahwa niat penemu saat pertama kali menemukan barang adalah faktor utama dalam menentukan jenis tindak pidana yang terjadi.
 

Jika saat menemukan barang, seseorang langsung berpikir, "Ini rezeki nomplok, sekarang milikku," maka ia telah melakukan pencurian.
 

Sebaliknya, jika ia berpikir, "Kasihan pemiliknya, saya harus mengembalikan," tetapi kemudian berubah pikiran dan menggunakannya sendiri, maka ia telah melakukan penggelapan. (Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut uraiannya, [1983], halaman 625-626).
 

Menemukan barang yang hilang bukan sekadar keberuntungan, tetapi juga ujian amanah. Islam mengajarkan bahwa luqathah harus diperlakukan dengan penuh tanggung jawab, baik dengan mengumumkannya, menyimpannya dengan aman, atau mengembalikannya jika pemiliknya ditemukan. Jika aturan ini diikuti, maka keadilan dan hak setiap orang akan tetap terjaga.
 

Menemukan barang temuan bukan hanya soal keberuntungan, tetapi juga amanah yang harus diperlakukan dengan penuh tanggung jawab.
 

Dalam Islam, penemu memiliki kewajiban untuk mengumumkan barang temuan dan menjaga hak pemiliknya. Jika barang tersebut tidak ditemukan pemiliknya, penemu bisa memilikinya setelah masa pengumuman berakhir. Namun, penemu juga harus siap mengganti barang tersebut jika pemilik asli muncul.
 

Hukum positif Indonesia juga mengatur tentang barang temuan, dengan konsekuensi hukum yang berbeda tergantung pada niat penemu. Prinsip utama dalam kedua sistem hukum ini adalah keadilan dan amanah. Wallahu a’lam.
 


Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura