Bahtsul Masail

Apakah Jatuh Talak Tiga dengan Meneruskan Pesan Cerainya via WhatsApp ke Istri?

Sen, 23 Januari 2023 | 06:00 WIB

Apakah Jatuh Talak Tiga dengan Meneruskan Pesan Cerainya via WhatsApp ke Istri?

Islam membatasi talak dua kali. Talak tiga tidak membolehkan rujuk pasangan suami istri. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Assalamu ‘alaikum wr wb, tim redaksi NU Online yang terhormat, saya mau berkonsultasi dan bertanya tentang hukum talak. Sebelumnya, saya kemukakan, ada seorang suami yang mengetahui perselingkuhan istrinya. Setelah mengobrol dengan istrinya lewat WhatsApp, sang suami kembali menceritakan kisruh rumah tangganya kepada adik kandungnya.


Mendengar kabar demikian, sang adik pun marah. Tak berselang lama, sang adik lalu membuatkan pesan talak tiga dengan redaksi yang lengkap. Tujuannya agar disalin oleh kakaknya dan dikirimkan kembali kepada istrinya. Karena awam dan tidak tahu betul tentang hukum talak, sang kakak pun langsung mengirimkannya.


Pertanyaannya, apakah talak tiga yang dikirimkan suami itu kepada istrinya dinyatakan sah? Mohon pencerahannya, Ustadz. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr wb. (Heri Purnomo/Surabaya)


Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr wb.

Saudara Penanya yang budiman, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.


Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, pertama, tentu harus dilihat terlebih dahulu bagaimana kedudukan tulisan di mata para ulama fiqih, mengingat talak itu sendiri menjadi ranah pembahasan fiqih. Kedua, apakah talak dianggap jatuh jika dituangkan dalam tulisan? Ketiga, barulah dilihat status tulisan talak yang dikirimkan seseorang melalui pesan WhatsApp atau aplikasi perpesanan lainnya.


Jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa tulisan bukanlah ungkapan sharih walaupun bentuknya ucapan sharih. Menurut mereka, andai tulisan sama dengan perkataan tentu Allah telah menguatkan Nabi-Nya dengan tulisan. Tulisan hanya bentuk lain dari pertuturan yang memiliki sisi kekurangan karena terdapat beberapa kemungkinan di dalamnya. Selain itu, tulisan berbeda dengan perkataan dalam hal menyampaikan pesan kepada si penerima pesan. Memang benar, tulisan sebagai pengganti perkataan, namun seringkali tulisan hanya mewakili sebagian pesannya saja. (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Mazhab al-Imam al-Syafi‘i, (Beirut: Darul Kutub, 1999), juz X, halaman 167).


Itulah sebabnya Imam al-Syafi‘i, Imam  Malik, dan Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa tulisan dalam hal talak sama dengan ungkapan kinayah (sindiran) atau ungkapan tidak sharih. Dalam arti, talak melalui tulisan hanya dihukumi jatuh manakala disertai niat. Sebaliknya, bila tidak disertai niat, talaknya tidak jatuh. Contohnya tulisan, “Engkau ditalak” atau tulisan, “Aku telah menalakmu.”


Menurut al-Mawardi, ulama mazhab Syafi’i, jika sudah disimpulkan bahwa tulisan talak setara dengan kinayah alias bukan ungkapan sharih, maka keadaan suami yang menuliskan talak tidak terlepas dari tiga keadaan: (1) menulis talak kemudian mengucapkannya, (2) menulis talak disertai dengan meniatinya, dan (3) menulis talak tidak disertai mengucapkan dan meniatinya.


Jika tulisan itu disertai ucapan, maka jatuhlah talaknya. Sebab, sekalipun tanpa tulisan, ucapan talak sharih sendiri membuat talak menjadi jatuh. Begitu pula jika menggabungkan antara ucapan dengan tulisan, tentunya talak jelas jatuh.


Sementara tulisan yang disertai niat dikatakan kinayah, maka talaknya jatuh. Ini sejalan dengan fatwa Imam al-Syafi‘i yang mengatakan:


وَلَوْ كَتَبَ بِطَلَاقِهَا فَلَا يَكُونُ طَلَاقًا إِلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهُ كَمَا لَا يَكُونُ مَا خَالَفَهُ الصَّرِيحُ طَلَاقًا إِلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهُ


Artinya, “Andai seorang suami menuliskan talak untuk istrinya, maka tulisan itu tidak menjadi talak kecuali jika diniatinya sebagai talak. Demikian halnya setiap hal yang berbeda dengan ungkapan sharih tidak menjadi talak kecuali jika diniatinya.” (Lihat: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Mazhab al-Imam al-Syafi‘i, (Beirut: Darul Kutub, 1999), juz X, halaman 167).


Dengan demikian, seseorang yang hanya menuliskan talak, tidak diikuti pengucapan atau niat, atau hanya meneruskan pesan talak dari orang lain, maka tidak jatuh talaknya. Begitu pula ungkapan sharih yang diucapkan seorang suami, tetapi ungkapannya berupa bahasa Arab, sementara ia tidak mengerti maknanya dan tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka tidak jatuh talaknya. Demikian seperti yang dikemukakan oleh Musthafa al-Khin.


إذا تلفظ بالطلاق باللغة العربية رجل غير عربي، وهو لا يدري معناه، فإنه لا يقع طلاقه، لانتفاء قصده، ولو تلفظ به بلغته وقع، ولو لم ينوه إذا كان اللفظ الذي استعمله في الطلاق صريحاً في لغته، أي لا يحتمل إلا الطلاق، وإذا كان غير صريح اشترط لوقوع الطلاق النية، كما هو الشأن في اللغة العربية


Artinya: “Jika laki-laki non-Arab mengucap lafal talak dalam bahasa Arab, sementara ia tidak mengetahui maknanya, maka tidak jatuh talaknya karena ketiadaan maksud talak. Namun, ketika seorang laki-laki non-Arab mengucapkan talak dengan bahasanya sendiri, maka jatuhlah talaknya walaupun tidak meniatinya selama lafal yang digunakannya adalah ungkapan sharih dalam bahasanya. Sebab, ungkapan tersebut tidak mengandung makna lain kecuali talak. Berbeda jika ungkapan yang dipakai tidak sharih, maka jatuhnya talak disyaratkan ada niat. Demikian halnya juga dalam bahasa Arab.” (Lihat: Mushthafa al-Khin, al-Fiqhu al-Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, juz IV/138).


Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan di atas kiranya dapat terjawab. Jika suami tadi hanya meneruskan pesan talak yang ditulis oleh sang adiknya, terlebih ia tidak tahu maknanya dan tidak memiliki niatan talak, maka pesan itu tidak sampai menjatuhkan talak. Sehingga jika talaknya tidak jatuh, maka talak tiganya pun dengan sendirinya tidak jatuh.


Dikecualikan jika si suami tadi menulis talaknya sendiri dan mengucapkannya lalu mengirimkannya kepada istri. Atau, ia menulis sendiri talaknya dan meniatinya sebagai talak lalu dikirimkan kepada istri. Atau karena awam dan tidak tahu hukum talak, ia meminta sang adik mengonsep redaksi talak, lalu mengucapkannya atau meniatinya sebagai talak, lalu pesan talak tersebut dikirimkan kepada istri.


Demikian jawaban singkat kami. Semoga dapat dipahami. Mohon maaf atas kekurangannya. Kami terbuka menerima saran dan kritikan dari para pembaca semua.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.

Wassalamu ‘alaikum wr wb.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.