Bahtsul Masail

Bangunan Masjid di Tanah Pribadi, Tak Sah Disebut Masjid?

Rabu, 16 Oktober 2019 | 15:30 WIB

Bangunan Masjid di Tanah Pribadi, Tak Sah Disebut Masjid?

masjid sudah pasti wakaf, sedangkan mushala belum tentu wakaf.(Ilustrasi: zopix.net)

Assalamu'alaikum, Yai. Di masyarakat masih ada masjid yang belum wakaf. Masih di tanah pribadi. Apakah benar masjid tersebut statusnya bukan masjid tetapi mushala. Apakah pendapat tersebut benar? Mohon penjelasannya. (Sutanto Muqsith)
 
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahamtullahi wabarakatuh. Mas Susanto yang budiman, terima kasih atas pertanyaannya. Semoga kita senantiasa diberi taufiq dan hidayah-Nya.
 
Berkaitan dengan pertanyaan yang Anda utarakan, perlu dipahami bahwa masjid sudah tentu wakaf, tidak ada masjid yang tidak wakaf. Sedangkan mushala belum tentu wakaf. 
 
Para pakar fiqih menjelaskan bahwa masjid adalah tempat yang diwakafkan untuk shalat dengan niat menjadikannya masjid. Sementara mushala adalah tempat shalat secara mutlak, baik berupa wakafan, milik pribadi, hibah dan lain sebagainya. Dari definisi tersebut menjadi jelas bahwa masjid sudah pasti wakaf, sedangkan mushala belum tentu wakaf.
 
Oleh karena masjid pasti wakaf, syarat-syarat dan ketentuannya sama dengan barang wakafan. Sepanjang syarat, rukun, dan semua ketentuan wakaf telah terpenuhi maka sah wakafnya sebagai masjid.
 
 
Shighat (ucapan) pewakafan masjid terbagi menjadi dua. Pertama, sharih (yang jelas), yaitu setiap ucapan yang secara tegas mengarah kepada wakaf masjid, tidak bisa diarahkan kepada makna lain. Kedua, kinayah, yaitu ucapan yang memungkinkan untuk diarahkan kepada pewakafan masjid dan makna lain. Agar menjadi masjid, shighat sharih tidak membutuhkan niat, sedangkan shighat kinayah butuh niat.
 
Perlu dipahami juga bahwa masjid tidak harus berupa tanah. Bahkan bisa dari setiap benda yang dipermanenkan di sebuah tanah dengan maksud mewakafkannya sebagai masjid. Misalnya jika ada keramik yang telah dicor di sebuah tanah milik, kemudian diwakafkan sebagai masjid, maka keramik tersebut statusnya menjadi masjid. Contoh lainnya sajadah yang dipaku di tanah pribadi dengan niat menjadikannya sebagai masjid, maka hukumnya sah dan berstatus masjid.
 
Semua konsekuensi masjid berlaku untuk keramik dan sajadah yang dipaku tersebut, seperti sahnya i'tikaf, haramnya berdiam diri bagi orang junub, haramnya mengotori sajadah masjid tersebut, dan lain sebagainya.
 
Bahkan menurut Imam al-Zayadi, hukum masjid masih berlaku meskipun keramik atau sajadah tersebut dicongkel dari tempatnya, semisal pemilik tanah menghendaki untuk mencabutnya. Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi, bila dicabut dari tanah, maka hukum masjidnya menjadi hilang.
 
Penjelasan di atas sebagaimana keterangan dalam referensi berikut ini:
 
(مسألة) اعلم أن الاعتكاف لا يصح في غير مسجد، وليس من المساجد ما سمر من نحو سجادة بملكه ثم وقفها مسجداً ثم قلع، إذ بمجرد قلعها يزول عنها حكم الوقف، كما نقله سم في حواشي التحفة عن فتاوى السيوطي، أما مدة ثبوتها فلها حكم المساجد كما في الكدري 
 
“Sebuah permasalahan. Ketahuilah bahwa wakaf tidak sah di selain masjid. Dan tidak termasuk masjid sejenis sajadah di miliknya yang dipaku kemudian diwakafkan sebagai masjid kemudian dicongkel, sebab dengan sekedar mencongkelnya akan hilang dari sajadah tersebut hukum wakaf. Hal ini sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Qasim dalam Hawasyi al-Tuhfah mengutip dari beberapa fatwanya Imam al-Suyuthi. Adapaun saat masih menetap di tanah, sajadah tersebut berlaku hukum-hukum masjid seperti keterangan dalam kitabnya Syekh al-Kurdi.”
 
وأفتى الزيادي بأنه لو سمر في ملكه حصيراً أو فروة أو سجادة، أو بنى فيه مصطبة أو أثبت خشباً ووقف ذلك مسجداً صح وأجرى على ذلك أحكام المساجد فيصح الاعتكاف عليها، ويحرم على الجنب ونحوه المكث عليها ونحو ذلك وإن أزيلت كما مر اهـ. ونحوها عبارة البجيرمي على المنهج لكن قيدها بما إذا لم تزل، وعلل ع ش ما جزم به الزيادي وقال بأن أحكام الوقف إذا ثبتت لا تزول، قال شيخنا ويؤيده أنه يغتفر في الدوام ما لا يغتفر في الابتداء اهـ. 
 
“Dan Imam al-Zayadi berfatwa bahwa bila di miliknya memaku tikar, kain kulit atau sajadah, atau membangun di dalamnya teras, atau memaku kayu dan diwakafkan sebagai masjid, maka sah dan diberlakukan hukum-hukum masjid, sehingga sah i'tikaf di atasnya. Dan haram bagi orang junub dan sesamanya berdiam diri di atasnya dan hukum-hukum masjid lainnya, meski telah dihilangkan dari tanah. Referensi senada dalam kitab al-Bujairimi atas kitab al-Manhaj, tapi dibatasi dengan kondisi belum dihilangkan dari tanah. Syekh Ali Syibramalisi memberi alasan pendapatnya Syekh al-Zayadi bahwa hukum-hukum wakaf bila telah ditetapkan, tidak akan hilang. Guruku berkata; menguatkan statemen tersebut dengan sebuah kaidah bahwa dimaafkan saat kondisi di tengah apa yang tidak dimaafkan di permulaan” (Syekh Ali Bashabrin, Itsmid al-‘Ainain fi ba’dli Ikhtilaf al-Syaikhaini, hal. 81).
 
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa bangunan yang berada di tanah milik pribadi sebagaimana yang dimaksud oleh penanya berstatus masjid asalkan diwakafkan sebagai masjid. Keberadaannya di tanah milik pribadi tidak menghalangi statusnya sebagai masjid. Berbeda halnya bila tidak diniatkan menjadi masjid, maka statusnya hanya mushala (tempat shalat) biasa.
 
Bila di kemudian hari bangunan tersebut dikehendaki dipindah atau dirobohkan oleh pemilik tanah, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan masih berlaku hukum masjidnya, sebagian yang lain berpendapat hilang status wakaf dan masjidnya. Kedua pendapat tersebut sama-sama mu’tabar (otoritatif) dan boleh diikuti.
 
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami terbuka untuk menerima kritik dan saran.
 
 
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Â