Bahtsul Masail

Hukum Gaji Bekerja di Lembaga Perkreditan Konvensional

Rab, 3 Oktober 2018 | 07:30 WIB

Hukum Gaji Bekerja di Lembaga Perkreditan Konvensional

Hak orang yang bekerja adalah menerima gaji. Setiap gaji yang diperoleh dari hasil kerja yang dhahirnya halal, maka gaji yang diterima juga halal.

Assalamualaikum,
Mohon pencerahannya. Apa hukum bekerja di perkreditan/perbankan seperti Adira, Home Credit, dan lain-lain. Apakah gaji yang diterima halal? Terima kasih, semoga mendapatkan pencerahan dan agar hati lebih tenang. Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. (Doni Hirmansyah)
 
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Saudara penanya yang budiman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga kita senantiasa mendapatkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya dalam menjalankan rutinitas kita sehari-hari. Amiin. 
 
Penanya yang budiman. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menuliskan tentang beberapa hukum terkait dengan bunga bank. Juga pernah menuliskan pada kanal Ekonomi Syariah NU Online terkait dengan gaji yang didapatkan dari pihak yang bermuamalah di tempat haram.

Pada pokok pertanyaan kali ini, saudara penanya menanyakan hubungan gaji dengan tempat saudara penanya bekerja, yakni di perusahaan Homeredit dan Adira. Mungkin, maksud dari Adira ini adalah perusahaan PT Adira Auto Finance yang kurang lebih 70 persen sahamnya dimiliki oleh Bank Danamon. Adira ini bergerak dalam bidang perkreditan. Kurang lebih lahan geraknya sama degan Home Credit yang menangani bidang jasa perkreditan. Keduanya bergerak di bidang perkreditan jual beli kendaraan dan alat/perangkat elektronik. Jadi, nama lain dari kedua perusahaan ini adalah melayani sistem jual beli barang secara tempo.
 
Jasa jual beli tempo sebenarnya tidak masalah dalam Islam. Demikian juga dengan keberadaan jasa jual beli kredit. Yang sering dijadikan masalah adalah karena:
 
1. Barang atau jasa yang tertunda pencicilannya akan diambil oleh pihak perbankan. Dengan demikian, maka besaran cicilan yang sudah dibayarkan dihitung sebagai akad sewa. Namun, jika cicilan dibayar secara tepat waktu, maka cicilan dianggap sebagai jual beli. Keberadaan kejelasan akad sebagai akad sewa (ijarah) ataukah akad jual beli inilah yang mendasari jenis perkreditan ini pada lembaga ini dianggap sebagai akad murakkabah (akad ganda) yang dilarang, disebabkan ketidakjelasan transaksi.
 
2. Status denda keterlambatan membayar. Status denda ini sebenarnya juga menjadi bahan perdebatan di antara kalangan ahli fiqih kontemporer. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Yang membolehkan, karena niatan li al-ta’dib, yaitu agar nasabah/konsumen pengguna jasa menghormati haknya pemberi kredit/pinjaman. Dengan catatan, bahwa uang hasil denda tersebut tidak diperuntukkan untuk konsumsi melainkan untuk kepentingan sosial, seperti membangun jalan, jembatan, dan lain sebagainya. 
 
Sampai di sini, maka sumber pemasukan lembaga perkreditan konvensional semacam Adira dan Home Credit yang diperoleh dari jasa perkreditan ada tiga kemungkinan, yaitu:
 
  • Hasil jual beli murabahah secara kredit atau secara bertempo. Hukumnya adalah halal.
     
  • Hasil dari ijarah yang sejatinya awalnya diniatkan untuk jual beli. Hukumnya syubhat (tidak jelas antara halal dan haram).
     
  • Hasil dari denda keterlambatan membayar, dan hukumnya adalah syubhat juga. Ada juga ulama yang mengharamkan kecuali bila yang melakukan adalah imam atau lembaga yang berwenang. Titik pangkal persoalan adalah yang dimaksud sebagai lembaga berwenang ini, apakah boleh bila diubah maksudnya sebagai pihak lembaga perkreditan sendiri yang menerapkan. Jika boleh diubah maksudnya ke lembaga perkreditan itu sendiri, maka hukumnya menjadi jelas halal keberadaan denda itu. Namun, jika tidak boleh diubah ke maksud lembaga perkreditan, maka hukumnya disamakan dengan riba, yang murni diputus sebagai haram. Karena perselisihan inilah maka denda dihukum sebagai syubhat, yaitu tidak jelas antara halal dan haramnya. Status hukumnya sama dengan makruh, akan tetapi tidak sampai ke makruh tahrim disebabkan ada teks fiqih yang membolehkan bila dilakukan oleh lembaga yang berwenang.
 
Dari ketiga peluang ini, ada peluang satu untuk jelas sisi halalnya, yaitu jual beli secara kredit. Dua peluang lainnya hukumnya adalah syubhat, dan tidak sampai haram disebabkan karena statusnya ada ulama yang membolehkan. Dengan demikian, seluruh dana yang dihasilkan dari lembaga perkreditan, tidak mutlak dari yang haram. Keputusan akhirnya adalah gaji yang diterima juga menjadi tidak mutlak haram.
 
Apa yang disampaikan di atas, adalah menurut satu sisi cara pandang gaji melihat dari sumber gaji itu didapatkan, apakah termasuk ghalabal haram (mayoritas haram) ataukah minim haramnya? Ternyata setelah ditelusuri, tidak sampai ghalabal haram, sehingga kita tidak terkena pasal ayat ta’awanu ‘alal ma’shiyat (tolong-menolong dalam perbuatan maksiat). 
 
Cara pandang yang kedua adalah cara pandang dari sisi orang yang bekerja. Tidak setiap orang yang bekerja dan bermuamalah dengan orang yang berpenghasilan haram lantas bisa diputus sebagai haram. Sebagaimana ungkapan Syekh Zainuddin al-Malaibary berikut ini:
 
فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.
 
Artinya: "Sebuah faidah: Seandainya ada seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang tersebut tidak baik, maka sebagaimana pernyataan al-Baghawy, maka ia kelak akan dituntut di akhirat." (Syekh Zainuddin al Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'Ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67)
 
Hak orang yang bekerja adalah menerima gaji. Setiap gaji yang diperoleh dari hasil kerja yang dhahirnya halal, maka gaji yang diterima juga halal. Kecuali jika Anda bekerja membantu pencurian, maka diputus sebagai haram sebab pencuriannya. Jika pekerjaan yang dilakukan adalah halal, maka gajinya juga halal. Sebagai satpam, pekerjaan satpam adalah halal. Demikian juga gajinya, maka halal, meskipun tempat bekerjanya pemroduksi barang haram. Satpam bekerja karena mengikut perintah menjaga aset saja.
 
Gaji seorang pegawai bank, atau pegawai lembaga perkreditan, adalah halal, karena ia dikaji karena faktor jerih payahnya dalam bekerja mencatat transaksi, dan sejenisnya. Karena pekerjaannya halal, maka gajinya adalah halal pula. Pokok masalah sebagaimana disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas, bila sang juragan sumber nafkahnya berasal dari perkara haram. Apakah gaji sang karyawan juga haram? Tentu tidak. Pada saat Sang Juragan memberikan uang yang secara dhahirnya adalah diduga halal diterima oleh pegawai, maka halal pula bagi pegawai itu menerimanya. Apabila sang pegawai meyakini bahwa mayoritas sumber keuangan Sang Juragan dari perkara haram, maka pada dasarnya gaji yang dibayarkan ke pegawai adalah bukan dari barang haram, tapi justru dari barang halal sang juragan. Status pemberiannya disebut hibah/hadiah. Sementara gaji karyawan itu sendiri pada hakikatnya belum dibayar oleh sang juragan. Jadi, sang juragan—pada hakikatnya—memiliki hutang kepada karyawannya disebabkan karena dia belum menggajinya. 
 
Kesimpulan dari jawaban saudara penanya, dalam masalah ini adalah:
 
  1. Sumber pendapatan keuangan lembaga perkreditan yang saudara terima tidak sepenuhnya berasal dari jalan haram. Kemungkinan sumber pendapatan yang haram adalah diperoleh dari riba nasiah (riba kredit) yang berasal dari denda atau ketidakjelasan akad antara akad jual beli dan akad sewa. 
     
  2. Karena sumber pendapatan keuangan lembaga tidak mutlak haram, maka status uang yang diberikan sebagai gaji juga tidak mutlak haram. 
     
  3. Status gaji seorang pegawai—di mana saja ia bekerja kecuali memang asal tempatnya jelas haram—hukumnya adalah halal. Sifat kehalalan gaji ini adakalanya karena jelas halalnya, namun di sisi yang lain ada kemungkinan sharfu al-maqshud (pengalihan niat), yaitu bahwa gaji yang diberikan oleh lembaga dianggap sebagai hibah/hadiah dari lembaga. Sementara gaji hakikinya, lembaga tersebut sejatinya belum membayar sehingga ia punya tanggung jawab hutang kepada pegawai. 
 
Wallahu a’lam bish shawab
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur.