Bahtsul Masail

Hukum Jual Beli Aset Kripto di Futures Market

Kam, 12 Agustus 2021 | 02:30 WIB

Hukum Jual Beli Aset Kripto di Futures Market

Jual beli aset kripto di Futures Market

Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, saya ingin mengajukan pertanyaan. Apakah trading crypto futures merupakah suatu hal yang halal atau haram? Terima kasih. (Rendy Aldion)


Jawaban
Wa’alaikumus salam wr. wb. Segala puji bagi Allah swt. Shalawâtullâh wa salâmuhu semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw.


Penanya yang budiman. Futures market merupakan istilah lain dari pasar berjangka. Yang diniagakan dalam pasar ini adalah berupa komoditas (‘aradl) yang terdiri dari aset derivatif (aset turunan). Alhasil, mekanisme yang berlaku berbeda jauh dengan apa yang terjadi di pasar modal (al-aswâq ra’sul mâliyyah). 


Di pasar berjangka (futures market/al-aswâq al-istiqbâliyyah), akad yang berlaku meniscayakan penggunaan akad bai’ ‘urbun, yaitu jual beli yang disertai uang muka. Yang dijual pun juga bukan komoditas yang terdiri dari aset crypto itu sendiri, melainkan kontrak yang sebelumnya pernah dilakukan oleh seseorang untuk memesan suatu aset crypto pada jangka waktu tertentu. Ketika kontrak itu telah jatuh tempo, namun aset tidak menunjukkan harga sebagaimana yang diharapkan, maka pihak penjual memilih opsi (khiyârât) untuk mengalihkan tanggungannya kepada pihak lain, dengan niat “uang muka” (‘urbun) yang sudah diserahkannya tidak hangus. 


Sekilas tentang Bai' Urbun
Definisi bai' 'urbun adalah sebagai berikut:


بيع العربون هو أن يبيع الإنسان الشيء ويأخذ من المشتري مبلغاً من المال يسمى عربوناً لتوثيق الارتباط بينهما على أساس أن المشتري إذا قام بتنفيذ عقده احتسب العربون من الثمن، وإن نكل كان العربون للبائع


Artinya, "Bai ‘urbun adalah jika ada seseorang menjual sesuatu, kemudian ia meminta dari pembeli sejumlah uang sebagai uang muka dengan tujuan dijadikan jaminan ikatan akad yang sudah dijalin oleh keduanya, dengan landasan bahwa jika pembeli memutuskan melanjutkan akad, maka uang muka tersebut dihitung sebagai harga, namun jika musytari membatalkan akad, maka uang muka tersebut milik penjual.” (Hisamuddin Afanah, Fiqhul Tâjiril Muslim, [Baitul Muqaddas, Maktabah ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1426 H], halaman 89). 


Ulama yang melarang akad ini adalah kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah. Dalam perspektif as-Syaukani (wafat 1250 H) ‘illat larangan bai’ urbun adalah sebagai berikut:


والعلة في النهي عنه اشتماله على شرطين فاسدين‏.‏ أحدهما شرط كون ما دفعه إليه يكون مجانا إن اختار ترك السلعة‏.‏ والثاني شرط الرد على البائع إذا لم يقع منه الرضا بالبيع‏.‏


Artinya, "'Illat dilarangnya bai’ urbun adalah karena dalam transaksi urbun tersimpan adanya dua syarat yang fasid. Pertama, adalah syarat adanya harta yang harus diserahkan kepada penjual secara cuma-cuma khususnya jika terjadi pembatalan transaksi. Kedua, karena ada syarat pengembalian barang kepada penjual jika terjadi ketiadaan ridla pembeli.” (As-Syaukani, Nailul Authâr Syarhu Muntaqal Akhbâr, juz V, halaman 182).


Fuqaha yang membolehkan transaksi ‘urbun adalah dari kalangan Hanabilah. ‘Illat kebolehan menurut kalangan ini adalah sebagai berikut:


ومن المعلوم أن طريقة العربون، هي وثيقة الارتباط العامة في التعامل التجاري في العصور الحديثة، وتعتمدها قوانين التجارة وعرفها، وهي أساس لطريقة التعهد بتعويض ضرر الغير عن التعطل والإنتظار


Artinya, “Sebagaimana maklum diketahui bahwa transaksi 'urbun dipergunakan di banyak transaksi niaga era modern saat ini adalah semata sebagai jaminan keterikatan antara penjual dan pembeli secara umum. Banyak peraturan/undang-undang baru yang disusun atas dasar akad tersebut dan memberlakukannya secara umum, dan bahkan menjadi landasan penetapan ganti rugi yang ditimbulkan oleh pihak lain karena alasan penundaan dan menunggu” (Afanah, Fiqhut Tâjir, juz I, halaman 89).


Selanjutnya, untuk lebih jelasnya mari kita menyimak takyîful fiqh jual beli 'urbun dalam trading crypto di futures market itu terjadi.


Ilustrasi Trading Aset Crypto di Futures Market
Suatu misal, Si Fulan membeli sebuah properti (baca: aset kripto), dan akan dilunasi pada waktu tertentu. Sebagai tanda jadi, ia memberikan “uang muka”. Ketika telah tiba waktu jatuh tempo, selanjutnya Si Fulan ini memiliki dua opsi, yaitu apakah mau melanjutkan pembelian properti tersebut, ataukah merelakannya. 


Sebagaimana ciri utama dari uang muka pada bai’ urbun, maka jika terjadi pembatalan akad, uang muka menjadi hangus dan menjadi milik penjual. Jika melanjutkan akad, maka pihak pembeli harus menyerahkan uang untuk melunasi harga properti (baca: aset kripto) dan uang muka menjadi bagian dari harga aset.


Berangkat dari sini, maka keputusan yang dilakukan oleh Si Fulan, sudah pasti juga ada 2 opsi (khiyârât), yaitu jika ia tetap bersikukuh untuk membeli properti, maka dia harus menyerahkan sejumlah uang untuk melunasi sehingga uang mukanya menjadi bagian miliknya. Sementara bila ia bersikukuh menjual aset properti, maka uang mukanya ini akan digantikan oleh pihak lain yang akan membelinya. 


Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak trader kecil selalu memilih untuk menjual pada saat jatuh tempo, maka itu artinya dia hanya memiliki 1 opsi saja terhadap “uang muka” yang diserahkan, yaitu pembatalan akad pembelian properti (baca: aset kripto).


Berdasarkan ketentuan yang berlaku di bai’ urbun, setiap kali ada pihak yang membatalkan akad ‘urbun, maka properti adalah masih menjadi milik sah penjual. Tidak ada satu hishah pun yang beralih menjadi “hak” (right) trader


Bercermin pada mekanisme ini, maka “uang muka” yang dialihkan oleh trader kepada pihak lain pada dasarnya tidak bisa dikaitkan dengan properti (aset kripto). Dengan demikian, uang itu juga tidak bisa distandarkan harganya dengan harga baru properti (aset kripto) saat jatuh tempo. 


Karena itu, ketika terjadi proses pengalihan hak dari satu trader ke trader lainnya, maka yang berlaku seharusnya adalah wajibnya “trader baru” menggantikan “uang muka” dari “trader lama”, dengan ketentuan sama besar, tidak bertambah dan tidak berkurang (tamatsul). Ketentuan yang berlaku secara syara’ adalah mengikuti ketentuan yang berlaku atas akad hiwalah. Sebab, obyek yang dijual adalah “uang muka”, sehingga bukan komoditas “properti-”nya atau aset kriptonya. 


Fakta Trading Aset Crypto di Futures Market
Beberapa fakta yang terjadi pada trading aset crypto di lapangan, adalah:


Pertama, valuasi aset crypto ditentukan berdasarkan harga di saat jatuh tempo / kontrak. 


Kedua, uang muka yang dijual oleh trader, memiliki valuasi yang berbeda dengan saat trader tersebut memutuskan membeli aset derivatif crypto. Padahal kontrak yang berlaku di opsi “penjualan” oleh trader pada saat kadaluwarsa, menandakan batalnya akad pembelian aset crypto. Alhasil, yang tersisa adalah akad hiwalah semata, dan uang muka bukan dihitung sebagai bagian dari aset. 


Karenanya, ketentuan yang seharusnya berlaku atas nilai uang muka itu, adalah wajibnya ia distandarkan dengan saat awal dilakukan kontrak futures. Dalam kasus properti, ketika pihak pembeli membatalkan pembelian properti, dan memilih mengalihkan pada orang lain agar uang mukanya tidak hangus, maka besar nilai pengalihan itu harus sama saat dia menyerahkan uang muka pembelian properti. Alhasil, nilainya tidak bisa distandarkan dengan harga properti saat jatuh tempo kontrak futures


Ketiga, fakta yang terjadi, dalam trading crypto di futures market, ketika akad futures itu dibatalkan, maka nilai valuasi uang muka mengikuti valuasi aset crypto saat kontrak itu kadaluwarsa. Konsekuensinya, besarannya menjadi tidak sama dengan saat uang muka itu diserahkan di awal kontrak. Dengan demikian, terpenuhi kaidah jual beli utang dengan utang (bai’u mâ fîdz dzimmah bimâ fîdz dzimmah) dengan besar nilai uang muka yang dialihkan sebagai yang tidak sepadan dengan gantinya. Karena ketidaksepadanan ini, maka praktik yang terjadi dalam akad trading aset crypto di pasar berjangka, pada dasarnya merupakan praktik ribâl fadli


Keempat, selain itu, 'illat keharaman hukum pada trading aset crypto di pasar berjangka adalah karena terdapatnya unsur maisir. 'Illat ini muncul seiring opsi yang dimiliki oleh trader kecil adalah hanya satu, yaitu hanya menjual pada saat jatuh tempo. Alhasil, otomatis membatalkan akad sehingga murni tersisa harga baru dari “uang muka” dan bukan “komoditas crypto-nya”. Wallâhu a’lam bish shawâb.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur