Bahtsul Masail

Hukum Menerbitkan Karya Tulis Orang Lain tanpa Izin

Jum, 12 Maret 2021 | 22:00 WIB

Hukum Menerbitkan Karya Tulis Orang Lain tanpa Izin

Kami menyarankan penerbit untuk memerhatikan kaidah penerbitan baik karya tulis maupun karya terjemahan yang berlaku dalam hukum positif dan hukum Islam.

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Redaksi NU Online, usaha penerbitan dan percetakan tetap diminati dan tetap prospektif. Tetapi sebagian penerbit kadang menerbitkan karya tulis orang lain tanpa seizin penulis. Bagaimana kedudukan masalah ini dalam Islam? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb (Abdul/Tangerang)


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Hal ini sesekali terjadi sehingga memunculkan persengketaan antara penerbit dan penulis, kadang juga dengan beberapa penulis yang dikumpulkan menjadi antologi.


Masalah ini pernah diangkat dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama tentang Masail Diniyah Waqi’iyyah pada 17-20 November 1997 M di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.


Para kiai waktu itu memutuskan bahwa hak cipta dilindungi oleh hukum Islam sebagai hak milik dan dapat menjadi tirkah bagi ahli warisnya, sebagaimana keputusan Muktamar Ke-28 Nahdlatul Ulama di Krapyak, Yogyakarta tahun 1989.


Tindakan mencetak dan menerbitkan karya tulis pihak lain, kata putusan Munas NU di Lombok,  hukumnya haram kecuali ada izin dari pemilik hak/pengarang/penulis atau ahli waris atau pemegang kuasa atas hak cipta tersebut.


Selanjutnya, apabila pemilik hak/pengarang/penulis atau ahli waris atau pemegang kuasa atas hak cipta sudah tidak ada, maka hak cipta karya tulis tersebut menjadi hak kaum muslimin untuk kemaslahatan mereka secara umum.


وَيَنْبَغِيْ أَنْ يَعْتَنِيَ بِتَحْصِيْلِ الْكُتُبِ الْمُحْتَاجِ إِلَيْهَا مَا أَمْكَنَهُ بِشِرَاءٍ وَإِلاَّ فَبِأُجْرَةٍ أَوْ عَارِيَةٍ وَلاَ يَشْتَغِلُ بِنَسْخِ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ مَا يَتَعَذَّرُ تَحْصِيْلُهُ بِغَيْرِ النَّسْخِ ... وَلاَ يَنْسَخُ مِنْهُ بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِهِ إِذْ مُطْلَقُ الاسْتِعَارَةِ لاَ تَتَنَاوَلُ النَّسْخَ إِلاَّ إِذَا قَالَ لَهُ الْمَالِكُ لِتَنْتَفِعْ بِهِ كَيْفَ شِئْتَ وَلاَ بَأْسَ بِالنَّسْخِ مِنْ مَوْقُوْفٍ عَلَى مَنْ يَنْتَفِعُ كِتَابَهُ


Artinya, “Harus diusahakan memperoleh kitab-kitab yang dibutuhkan, sebisa mungkin dengan membeli, atau jika tidak mungkin maka dengan menyewa atau meminjam. Hendaknya tidak melakukan penyalinan kecuali jika memang tidak mungkin bisa dihasilkan tanpa menyalinnya kembali... tidak boleh menyalin kecuali dengan izin pemiliknya, karena peminjaman secara mutlak tidak mencakup (izin) penyalinan, kecuali si pemilik berkata, ‘Silakan manfaatkan buku itu sebagaimana yang Anda inginkan.’ Boleh menyalin kitab yang diwakafkan bagi orang yang bisa memanfaatkannya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Haditsiyah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], halaman 163).


Kami menyarankan penerbit untuk memerhatikan kaidah penerbitan baik karya tulis maupun karya terjemahan yang berlaku dalam hukum positif dan hukum Islam. Kecuali itu, kami menganjurkan penerbit membuat perjanjian secara tertulis terkait izin penerbitan dari penulis sejenis surat kontrak kerja sama, bukan sekadar lisan agar dapat menjadi pegangan secara hukum.


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)