Bahtsul Masail

Hukum Menikahi Gadis dari Ibu yang Pernah Dizinainya

Kamis, 8 Juli 2021 | 02:00 WIB

Hukum Menikahi Gadis dari Ibu yang Pernah Dizinainya

Sebagai langkah kehati-hatian, menghindari dari menikahinya lebih baik daripada menikahinya sesuai kaidah fiqih "Al-khurûj minal khilâf mustahabb."

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Redaksi NU Online, mohon bertanya atas seorang laki-laki yang hendak menikahi gadis pujaannya, namun kemudian diketahui ibunya adalah orang yang pernah berzina dengannya. Apakah gadis tersebut boleh dinikahi olehnya? Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Masro/Magelang).


Jawaban

Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Secara umum Al-Qur’an telah menjelaskan wanita-wanita mana saja yang haram dinikah oleh laki-laki, yang disebut muharramâtun nisâ’ sebagaimana berikut:


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ، وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ، إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا


Artinya, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak perempuanmu yang dalam pemeliharaanmu dari perempuan yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan perempuanmu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surat An-Nisa ayat 23).


Berkaitan dengan pertanyaan di atas, ulama berbeda pendapat, apakah gadis tersebut termasuk wanita yang haram dinikahinya; atau sebaliknya gadis tersebut tidak termasuk wanita yang haram dinikahinya, meskipun ibunya pernah berzina dengannya.


Perbedaan pendapat ini berangkat dari penafsiran ayat:


وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ


Artinya, “(Diharamkan bagi kalian mengawini) anak-anak perempuan kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari perempuan yang telah kalian campuri.”


Apakah maksudnya yang haram bagi laki-laki tersebut adalah anak perempuan dari wanita yang telah disetubuhi olehnya dalam pernikahan yang sah, atau demikian pula anak perempuan dari wanita yang telah disetubuhinya secara zina di luar pernikahan. (Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsîr al-Fakhrur Râzi, [Beirut, Darul Fikr: tth.], juz X, halaman 28; dan Mahmûd Al-Alûsi, Rûhul Ma’ânî fi Tafsîril Qurânil ‘Âzhîm was Sab’il Matsânî, [Beirut, Dârul Ihyâ’it Turâtsil ‘Arabi, tth.], juz IV, halaman 259).


Dalam hal ini mazhab As-Syafi’i menyatakan yang haram adalah anak perempuan dari wanita yang telah disetubuhinya dalam pernikahan yang sah. Dalam fiqih dibahasakan, perzinaan tidak menetapkan haramnya pernikahan karena hubungan mushaharah sehingga lelaki pezina boleh menikahi ibu atau anak perempuan dari wanita yang pernah dizinainya. Syekh Nawawi Banten menjelaskan: 


أما المرأة المزني بها فلا يثبت بزناها حرمة المصاهرة، فللزاني نكاح أم من زنى بها وبنتها ولابنه وأبيه نكاحها هي وبنتها لأن الزنا لا يثبت نسبا ولا عدة


Artinya, “Adapun perempuan yang disetubuhi secara zina maka perbuatan zina dengannya tidak menetapkan keharaman mushaharah. Oleh karenanya laki-laki yang menyetubuhinya secara zina boleh menikahi ibu dan anaknya. Demikian pula anak laki-laki dan ayah dari laki-laki itu boleh menikahi perempuan tersebut dan anak perempuannya. Sebab zina tidak menetapkan nasab dan ‘iddah.” (Muhammad bin Umar Al-Jawi, Nihayatuz Zain, [Beirut, Dârul Fikr: tth.], halaman 304).


Sementara itu mazhab Hanafi berpendapat bahwa gadis tersebut termasuk wanita yang haram dinikahinya, baik ia telah menyetubuhi ibunya dalam pernikahan maupun secara zina. Syekh Muhammad Al-Babarti menjelaskan:


وَمَنْ زَنَى بِامْرَأَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ أُمُّهَا وَابْنَتُهَا) ... ( وَلَنَا أَنَّ الْوَطْءَ سَبَبُ الْجُزْئِيَّةِ ) ... (حَتَّى يُضَافَ إلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَمَلًا) يُقَالُ ابْنُ فُلَانٍ وَابْنُ فُلَانَةَ (فَتَصِيرُ أُصُولُهَا وَفُرُوعُهَا كَأُصُولِهِ وَفُرُوعِهِ) وَتَصِيرُ أُصُولُهُ وَفُرُوعُهُ كَأُصُولِهَا وَفُرُوعِهَا.


Artinya, “Laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan maka haram baginya menikahi ibu dan anak perempuannya… Argumentasi mazhab kami adalah, perzinahan tersebut menyebabkan anak itu dihukumi sebagai bagian dari laki-laki tersebut… sehingga anak itu dapat dinisbatkan kepada bapak ibu biologisnya secara sempurna. Dapat dikatakan anak itu anaknya laki-laki pezina dan perempuan pezina. Maka orang tua seatasnya dan anak sebawahnya dari perempuan yang disetubuhi secara zina olehnya hukumnya sebagaimana orang tua seatas dan anak sebawahnya sendiri yang haram dinikahi. Demikian pula orang tua seatas dan anak sebawah dari laki-laki pezina itu hukumnya sama dengan orang tua seatas dan anak sebawah dari perempuan tersebut yang haram menikah dengannya.” (Muhammad bin Muhammad Al-Babarti, Al-‘Inâyah Syarhul Hidâyah, juz IV, halaman 351).


Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa secara fiqih bila merujuk mazhab Syafi’i maka laki-laki tersebut tidak diharamkan menikahi gadis yang ibunya telah disetubuhinya secara zina; sedangkan bila merujuk mazhab Hanafi maka ia haram menikahinya. Namun sebagai langkah kehati-hatian, menghindari dari menikahinya lebih baik daripada menikahinya, seiring kaidah fiqih yang menyatakan: Al-khurûj minal khilâf mustahabb. Keluar dari perbedaan pendapat ulama dengan menghindari keharaman adalah disunnahkan.


Demikian jawaban kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith thâriq.

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Ustadz Ahmad Muntaha AM)