Bahtsul Masail

Hukum Pria Menikahi Perempuan Kembar Sekaligus

Kam, 7 September 2023 | 16:30 WIB

Hukum Pria Menikahi Perempuan Kembar Sekaligus

Hukum Pria Menikahi Perempuan Kembar Sekaligus. (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamu’alaikum wr. wb

Izin bertanya, bagaimana hukumnya apabila pria nikahi perempuan kembar sekaligus, halal atau haram? Jika dibolehkan maka saya akan melamar mereka, soalnya saya sudah nyaman dengan keduanya dan keduanya pun sama-sama suka dengan saya.


Wa’alaikumussalam wr. wb

Penanya yang budiman, tentu menikah merupakan suatu niat yang baik dan dipuji di dalam syara’. Terdapat beberapa hadits Nabi Muhammad saw yang menjelaskan tentang pernikahan, di antaranya adalah menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan kita. Rasulullah bersabda:


يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وجاءٌ


Artinya: “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Karena puasa bisa menjadi tameng syahwat baginya". (Hadits riwayat Imam al-Bukhari & Imam Muslim).


Terkait kesunahan nikah sendiri, Nabi bersabda:


النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِى فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ


Artinya: “Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak mengamalkan sunahku, maka tidak masuk dalam golonganku. Menikahlah, karena aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat.” (Hadits riwayat Imam Ibn Majah).


Allah juga pasti akan menolong mereka yang menikah dengan tujuan menjaga kehormatannya:


ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ الْعَفَافَ


Artinya: “Ada tiga orang yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah. Pertama, orang yang berjihad di jalan Allah. Kedua, budak mukatab yang ingin menebus dirinya untuk Merdeka. Ketiga, orang yang menikah dengan tujuan ingin menjaga kehormatannya". (Hadits riwayat Imam al-Tirmidzi).


Kendati demikian, pernikahan di dalam Islam diatur sedemikian rapih dan ketat, sehingga seseorang tidak bisa sembarangan dalam melakukan pernikahan. Dalam kasus penanya, soal yang dipertanyakan adalah bagaimana hukumnya menikahi perempuan yang kembar sekaligus. Dalam kasus ini, kita perlu memerlukan perincian yang detail.


Pertama, anak kembar yang identik maupun tidak identik dalam pandangan medis keduanya dihitung sebagai adik dan kakak, karena sudah tentu ada yang terlebih dahulu keluar dan ada yang keluarnya setelah bayi yang pertama. Proses ini terjadi baik pada seorang ibu yang melahirkan secara normal, atau yang melahirkan dengan cara caesar. Penetuan anak mana yang menjadi kakak dan mana yang menjadi adik didasarkan pada siapa yang terlebih dahulu keluar dari rahim ibu.


Kedua, menikahi perempuan bersaudara sekaligus hukumnya adalah haram dalam Islam. Hal ini sangat jelas tertera dalam Al-Quran surah al-Nisa ayat 23:


 وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ


Artinya: “(dan diharamkan bagi kalian) mengumpulkan dua orang saudara perempuan kecuali apa yang telah berlalu.”


Syekh Syamsuddin al-Syirbini dalam tafsir al-Siraj al-Munir menjelaskan ayat ini:


{وأن تجمعوا بين الأختين} أي: ولا يجوز للرجل أن يجمع بين أختين في نكاح سواء كانتا من نسب أم رضاع سواء أنكحهما معاً أم مترتباً، فإذا نكح امرأة، ثم طلقها بائناً جاز له نكاح أختها. ويلحق بالأختين بالسنة الجمع بين المرأة وعمتها أو خالتها من نسب أو رضاع ولو بواسطة


Artinya: “(dan diharamkan bagi kalian), maksudnya adalah tidak boleh bagi laki-laki mengawinkan dua saudara perempuan, baik saudara senasab maupun saudara sepersusuan, baik dia mengawinkannya maupun karena perkawinan. Jika dia mengawini seorang wanita, kemudian mentalaknya dengan talak bain, maka boleh bagi laki-laki tersebut untuk menikahi saudara perempuannya. Dalam hadis, keharaman praktik nikah ini berlaku bagi pernikahan laki-laki dengan seorang perempuan dengan bibinya, baik dari pihak ayah atau pun ibu, baik bibi yang menjalin persaudaraan melalui nasab atau melalui jalur persusuan meskipun melalui perantara." (Syekh Syamsuddin al-Syirbini, al-Siraj al-Munir, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun, juz 4, halaman 646).


Lebih rinci lagi, larangan menikahi perempuan bersaudara dalam satu pernikahan disebutkan dalam hadits riwayat Imam Muslim:


عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا يُجۡمَعُ بَيۡنَ الۡمَرۡأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلَا بَيۡنَ الۡمَرۡأَةِ وَخَالَتِهَا).


Artinya: "Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengumpulkan (dalam pernikahan) antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah. Tidak boleh pula antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ibu.” (Hadits riwayat Imam Muslim).


Dari penjelasan di atas, menikahi anak kembar tentunya jelas dilarang dalam Islam, baik satu akad sekaligus untuk menikahi keduanya, atau menikahi saudaranya di kemudian hari namun si laki-laki masih berstatus suami bagi saudaranya yang lain. Kecuali, jika dalam perjalanan rumah tangga antara si laki-laki dengan perempuan tersebut mengalami perceraian apa pun jenisnya, maka boleh dirinya menikahi saudaranya yang lain karena sudah tidak memiliki hubungan berstatus suami-isteri.

 

Dalam pembahasan fikih, menikahi dua saudara perempuan hukumnya haram, sebagaimana penjelasan dalam kitab al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab karya al-Nawawi:


ويحرم عليه أن يجمع بين أختين في النكاح لقوله عز وجل (وأن تجمعوا بين الاختين) ولان الجمع بينهما يؤدى إلى العداوة وقطع الرحم، ويحرم عليه أن يجمع بين المرأة وعمتها وبين المرأة وخالتها لِمَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال (لا تنكح المرأة على عمتها ولا على خالتها).


Artinya: "Diharamkan mengawinkan dua saudara perempuan sebab adanya firman Allah ‘azza wa jalla “(dan haram mengumpulkan dua saudara Perempuan dalam pernikahan). Sebab lainnya karena mengumpulkan keduanya dalam pernikahan akan menimbulkan permusuhan dan putusnya tali silaturahmi. Diharamkan juga mengumpulkan perempuan bersama bibi dari ayahnya atau ibunya dalam satu pernikahan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (Dilarang menikahi seorang wanita beserta dengan bibi dari pihak ayah atau ibu). (Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dar el-Fikr, tanpa tahun, juz 16, halaman 226).


Maka solusinya bagi penanya tidak ada lain adalah untuk memilih salah satu dari kedua perempuan kembar tersebut. Karena hikmahnya, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Mustafa al-Maraghi:


العلة موجودة فيه أيضا وهى إفضاؤه إلى قطع ما أمر اللّه تعالى بوصله ، كما يدل عليه قوله صلى اللّه عليه وسلم (فإنكم إن فعلتم ذلك قطعتم أرحامكم).


Artinya: "Sebab adanya pengharaman praktik menikahi dua perempuan bersaudara adalah implikasinya berupa memutus hubungan yang Allah perintahkan untuk menyambungnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kamu melakukan praktik nikah itu, kamu akan memutuskan tali silaturahmi.”


Lebih rinci, al-Nawawi menjelaskan secara rasional mengapa dilarang, beliau menjelaskan dalam al-Majmu’:


ولان العادة جارية ان الرجل إذا جمع ضرتين تباغضا وتحاسدا وتتبعت كل واحدة عيوب الاخرى وعوراتها، فلو جوزنا الجمع بين الاختين لادى ذلك إلى تباغضهما وتحاسدهما فيكون في ذلك قطع الرحم بينهما ولا سبيل إليه، وهو إجماع لا خلاف فيه.


Artinya: "Karena kebiasaan yang berlaku apabila seorang laki-laki mempertemukan dua perempuan yang keduanya bersaudara, maka akan berpotensi saling membenci dan iri hati, masing-masing akan menelusuri aib dan aurat satu sama lain, maka apabila kita izinkan jenis pernikahan seperti ini, maka akan timbul rasa benci dan iri hati, dan tentunya akan memutus tali kekerabatan di antara mereka dan tidak ada jalan untuk legalisasi praktik nikah seperti itu, juga keharamannya telah disepakati dan ada perbedaan pendapat di antara para ulama di dalam persoalan ini." (Imam al-Nawawi, al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, juz 16, halaman 226). ” Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences