Bahtsul Masail

Hukum Puasa Sopir Bus Antarkota

Sen, 1 April 2024 | 08:00 WIB

Hukum Puasa Sopir Bus Antarkota

hukum puasa sopir bus. (freepik).

Assalamu'alaikum. Saya ingin bertanya untuk masalah puasa seorang sopir bus antarkota. Bagaiamana hukum puasa buat sopir bus antarkota? Terima kasih. (Hazmi).
 

Jawaban

Wa'alaikum salam wr wb. Penanya dan pembaca NU Online yang dirahmati Allah. Sebelum menjawab pertanyan yang diajukan, terlebih dulu perlu ditegaskan bahwa puasa Ramadhan merupakan kewajiban dan salah satu rukun Islam. Setiap muslim yang sudah baligh, berakal, dan mampu menjalankan puasa, serta suci dari haid dan nifas, tidak ada alasan untuk tidak menjalankan kewajiban puasa Ramadhan.
 

Doa orang yang diperbolehkan Tidak Puasa Ramadhan

Namun demikian, ada dua alasan seseorang diperbolehkan membatalkan atau tidak melaksanakan puasa, yakni orang sakit dan orang yang sedang dalam perjalanan atau musafir. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 184:
 

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
 

Artinya, "Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain." (QS Al-Baqarah: 184).
 

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan diperbolehkan untuk membatalkan puasanya atau tidak puasa, akan tetapi ia wajib menggantinya pada hari lain.
 

Ulama menjelaskan ketentuan musafir yang diperbolehkan mengambil rukhsah atau keringanan membatalkan puasa atau bahkan tidak puasa, yaitu bagi musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan panjang dan perjalanannya diperbolehkan syariat.
 

Dalam kitab Kifayatul AkhyarAl-Hishni menjelaskan:
 

وَأما الْمُسَافِر فَشرط الْإِبَاحَة لَهُ أَن يكون سَفَره طَويلا مُبَاحا فَلَا يترخص فِي الْقصير لعدم الْمُبِيح وَلَا فِي السّفر بالمعصية لِأَن الرُّخص لَا تناط بِالْمَعَاصِي فَلَو أصبح مُقيما ثمَّ سَافر فَلَا يفْطر لِأَنَّهَا عبَادَة اجْتمع فِيهَا السّفر والحضر فغلبنا الْحَضَر
 

Artinya, "Adapun musafir maka syarat kebolehannya untuk tidak berpuasa adalah perjalanan yang ditempuh panjang (dua marhalah atau 83 km) dan diperbolehkan syariat. Maka tidak boleh mengambil rukhsah bila perjalanannya pendek (tidak mencapai dua marhalah atau 83 km), karena tidak adanya alasan yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
 

Tidak diperbolehkan juga untuk mengambil rukhsah seorang yang melakukan perjalanan maksiat, karena rukhsah tidak disangkutkan dengan maksiat. Apabila seseorang pada pagi hari berstatus mukim kemudian melakukan perjalanan, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya, karena itu adalah ibadah yang terhimpun status safar dan mukim, maka yang dimenangkan adalah status mukimnya." (Taqiyuddin al-Hisni, Kifayatul Akyar, [Bairut, Darkutub Al-Ilmiyah: 2021], halaman 296).
 

3 Syarat Musafir Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan

Mudahnya, syarat musafir yang diperbolehkan tidak berpuasa ada tiga:

  1. perjalan panjang tidak kurang dari 83 km,
  2. perjalanannya tidak dilarang syariat, dan
  3. telah berstatus sebagai musafir sebelum fajar.
 

Puasa Sopir Bus Antarkota

Jika yang dimaksud sopir bus antarkota oleh penanya dalam soal telah memenuhi tiga syarat di atas, maka ia boleh tidak berpuasa, tapi wajib menggantinya di bulan lain.
 

Kebolehannya di sini bukan berarti lebih baik, kalau dalam keadaan sehat dan normal, maka justru tetap berpuasa bagi musafir adalah yang paling utama.
 

Syekh Nawawi Banten dalam Kasyifatus Saja menjelaskan:
 

وَالصَّوْمُ لِلْمُسَافِرِ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ ِلأَنَّ فِيْهِ بَرَاءَة َلذِّمَّةِ فَإِنْ شَقَّ عَلَيْهِ بِأَنْ لَحِقَهُ مِنْهُ نَحْوُ أَلَمٍ يَشُقُّ احْتِمَالُهُ عَادَةً فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ أَمَّا إذَا خَشِيَ مِنْهُ تَلَفَ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ فَيَجِبُ الْفِطْرُ فَإِنْ صَامَ عَصَى وَأَجْزَأَهُ
 

Artinya, "Berpuasa bagi musafir lebih utama daripada membatalkan puasa, jika memang ia tidak berat melakukannya. Karena dengan berpuasa ia menjadi terbebas dari tanggungan, yakni, tanggungan puasa.

Sebaliknya, jika ia berat melakukan puasa, misal ia mendapati sakit yang biasanya berat untuk ditahan, maka membatalkan puasa adalah lebih utama daripada berpuasa. Ketika musafir takut kehilangan fungsi anggota tubuh jika ia berpuasa maka ia wajib berbuka, tetapi apabila ia nekat berpuasa maka ia berdosa dan puasanya telah mencukupi, artinya, tidak perlu diqadha."(Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatu Saja, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah], halaman 195).
 

Kemudian, apakah sopir tersebut masih boleh memgambil rukhsah tidak berpuasa sedangkan ia selalu dalam perjalanan, karena itu memang pekerjaannya?
 

Terkait seorang yang selalu dalam perjalanan (mudimussafar) menurut pendapat yang kuat (mu'tamad), ia tidak diperbolehkan tidak berpuasa, karena hal ini sama saja akan menggugurkan kewajiban atas dirinya. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar tetap diperbolehkan.
 

Dalam I'anatut Thalibin Sayyid Al-Bakri menjelaskan larangan tidak puasa bagi orang yang terus-menerus melakukan perjalanan:
 

وَيُسْتَثْنَى مِنْ جَوَازِ الْفِطْرِ بِالسَّفَرِ: مُدِيْمُ السَّفَرِ، فَلَا يُبَاحُ لَهُ الْفِطْرُ، لِأَنَّهُ يُؤَدِّى اِلَى اِسْقَاطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلِّيَةِ


Artinya, "Dikeculiakan dari kebolehan membatalkan puasa sebab dalam perjalanan adalah orang yang terus menerus bepergian, ia tidak diperkenankan untuk tidak berpuasa, karena hal ini akan mengakibatkan gugurnya kewajiban secara keseluruhan. " (Sayyid Al-Bakri, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 267).
 

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Kasyifatu Saja juga menjelaskan:
 

ومحل جواز الفطر للمسافر إذا رجا إقامة يقضي فيها وإلا بأن كان مديماً له ولم يرج ذلك فلا يجوز له الفطر على المعتمد لأدائه إلى إسقاط الوجوب بالكلية. وقال ابن حجر بالجواز وفائدته فيما إذا أفطر في الأيام الطويلة أن يقضيه في أيام أقصر منها انتهى من الشرقاوي والزيادي
 

Artinya, "Kebolehan tidak berpuasa bagi musafir adalah ketika ia ada harapan akan bermukim di tempat tertentu untuk ia mengqadha puasanya. Jika tidak demikian, misalnya musafir selalu melakukan perjalanan dan tidak dimungkinkan baginya bermukim, maka ia tidak boleh tidak berpuasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh pendapat mu'tamad, karena hal itu itu dapat menggugurkan kewajibannya secara keseluruhan.


Adapun Ibnu Hajar mengatakan bahwa musafir yang selalu melakukan safar diperbolehkan tidak berpuasa karena ketika ia tidak berpuasa di hari-hari yang siangnya lama, maka ia dapat mengqadha puasa di hari-hari yang siangnya lebih sebentar daripadanya, seperti yang dikutip oleh As-Syarqawi dan Ziyadi." (Al-Bantani, halaman 195).


Simpulan Hukum

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang selalu dalam perjalanan (mudimussafar), seperti sopir bus antarkota, menurut pendapat fiqih yang kuat tidak diperbolehkan tidak berpuasa. Karena jika ia diperbolehkan tidak berpuasa, maka konsekuensi logisnya ia tidak akan pernah berpuasa. Sama artinya kewajiban puasa atas dirinya menjadi gugur, dan ini tentu tidak mungkin. Sedangkan Imam Ibnu Hajar (pendapat aujah) memperbolehkan tidak berpuasa bagi orang yang selalu dalam perjalanan. 
 

Namun demikian perlu dipahami, kebolehan tidak berpuasa bagi yang selalu dalam perjalanan seperti sopir bus antarkota sebagaimana disampaikan Imam Ibnu Hajar bukan berarti kewajibannya menjadi hilang. Dalam arti ia tetap harus mengqadhanya di hari-hari lain dalam perjalanan yang memungkinkannya untuk mengqadhanya. Semisal pada hari yang waktu siangya lebih sebentar dibandingkan saat Ramadhan, atau di saat ia tidak melakukan perjalanan. Karena rasanya tidak mungkin seorang sopit bus antarkota tidak mempunyai hari libur atau cuti. Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo