Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 184: Tiga Fase Kewajiban Puasa

Sel, 28 Februari 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 184: Tiga Fase Kewajiban Puasa

Ilustrasi: Puasa (freepik).

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 184:
 

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

 

Ayyāmam ma‘dūdāt, fa mang kāna mingkum marīdlan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar, wa ‘alalladzīna yuthīqūnahū fidyatun tha‘āmu miskīn, fa man tathawwa‘a khairan fa huwa khairul lah, wa an tashūmū khairul lakum ing kuntum ta‘lamūn. 
 

Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 184

Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menerangkan kewajiban puasa Ramadhan di awal periode Islam. Allah memberi pilihan kepada hamba-Nya untuk memilih di antara dua hal, yakni memilih berpuasa atau memberi makan orang miskin sebagai ganti berpuasa.
 

Ibnu Katsir menuturkan dalam tafsirnya sebagai berikut:
 

ثم بين حكم الصيام على ما كان عليه الأمر فى ابتداء الإسلام, فقال: { فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ} أي المريض والمسافر لا يصومان فى حال المرض والسفر لما فى ذلك من المشقة عليهما بل يفطران ويقضيان بعدة ذلك من أيام أخر. وأما الصحيح المقيم الذى يطيق الصيام فقد كان مخيرا بين الصيام وبين الإطعام إن شاء صام إن شاء أفطر وأطعم عن كل يوم مسكينا, فإن أطعم أكثر من مسكين عن كل يوم فهو خير وإن صام فهو أفضل من الإطعام. قاله ابن مسعود وابن عباس ومجاهد وطاوس ومقاتل بن حبان وغيرهم من السلف
 

Artinya: “Kemudian Allah menjelaskan hukum berpuasa pada permulaan periode Islam, Allah berfirman: “Fa mang kāna mingkum marīdhan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar”, orang yang sedang sakit atau sedang dalam perjalanan tidak berpuasa dalam keadaan sakit dan perjalanan karena terdapat kepayahan di dalamnya. Keduanya boleh berbuka dan mengqadhanya di lain hari. 
 

Adapun orang yang sehat dan mukim yang kuat melaksanakan puasa, maka baginya untuk memilih antara berpuasa atau memberi makan (orang miskin). Ia boleh memilih berpuasa atau berbuka dan memberi makan orang miskin setiap hari (sebagai ganti). Jika ia memberi makan lebih dari satu orang miskin untuk setiap harinya maka itu lebih baik dan jika ia berpuasa maka itu lebih utama dari memberi makan (dengan meninggalkan puasa). Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawis, Muqatil bin Hibban dan ulama salaf lainnya. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H], juz I, halaman 498).
 

Ada banyak sir yang dapat diperoleh dari ayat di atas. Di antaranya penyebutan lafal “ayyāmam ma‘dūdāt”, memiliki arti bahwa puasa hanya dilaksanakan dalam jangka waktu yang terbatas. Hal tersebut memberi rasa ringan dalam melaksanakan puasa bagi umat Islam. (Abu Hayan, Al-Bahrul Muhith, juz II, halaman 180).
 

Juga bagaimana Allah meski memberi keringanan dalam pelaksanaan puasa, Allah tetap memberikan motivasi untuk tetap beramal lebih dengan berfirman: “Fa man tathawwa‘a khairan fa huwa khairul lah, wa an tashūmū khairul lakum ing kuntum ta‘lamūn”, barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
 

Syekh Nawawi Al-Bantani memaknai maksud dari kata “lebih baik” pada ayat dengan alasan mengerjakan puasa memiliki banyak keutamaan, mewariskan ketakwaan, membebaskan tanggungan. Juga dikarenakan ibadah yang memiliki tingkat kesulitan lebih maka pahalanya akan lebih banyak. (lNawawi Al-Bantani, Marah Labid, juz I, halaman 42).
 

 

Tiga Fase Kewajiban Puasa Ramadhan

Imam As-Suyuthi dalam tafsirnya menukil dari Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Al-Hakim yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal menyebutkan bahwa sebagaimana shalat, puasa memiliki tiga fase perkembangan di dalamnya.

Mulanya, ketika Nabi Muhammad saw tiba di kota Madinah, ia berpuasa tiga hari tiap bulannya, juga berpuasa pada hari Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan menurunkan ayat 184 sebagai perintah kewajiban puasa Ramadhan dengan masih memberi keringanan. Termasuk bagi orang yang kuat melaksanakan puasa dan dalam keadaan mukim di rumah berupa pilihan antara melaksanakan puasa atau memberi makan orang miskin sebagai gantinya.
 

Pada fase kedua, Allah menetapkan kewajiban berpuasa bagi orang mukim yang sehat, memberi keringanan (rukhsah) untuk orang yang sakit dan musafir, dan masih menetapkan kewajiban memberi makan orang miskin (fidyah) untuk orang-orang yang tidak mampu berpuasa dengan perantara turunnya ayat 185 surat Al-Baqarah.
 

Fase ketiga ialah waktu pelaksanaan puasa yang mulanya jika umat Islam tidur setelah berbuka puasa, ketika bangun sudah tidak diperkenankan untuk melakukan aktifitas yang membatalkan puasa, kemudian hal tersebut membuat payah sebagian umat Islam, termasuk Umar bin Khattab waktu itu, llau turunlah ayat 187 surat Al-Baqarah yang menjelaskan kebolehan melakukan aktifitas yang dapat membatalkan puasa selagi belum terbitnya fajar shadiq. (As-Suyuthi, Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur, [Beirut, Darul Fikr: 2011 M/ 1433 H], juz  I, halaman 427).
 

Dalam hal ini kita dapat melihat sifat welas asih Allah kepada makhluk-Nya dengan memberikan tahapan (tadrij) dalam pelaksanaan ibadah.
 

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.