Bahtsul Masail

Hukum Tilawah Al-Quran Perempuan

Sab, 21 April 2018 | 10:00 WIB

Hukum Tilawah Al-Quran Perempuan

(Foto: pinterest)

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Saya adalah seorang mahasiswi di salah satu kampus di Makassar, saya biasa dipanggil untuk tilawah di acara-acara kampus. Akhir bulan ini saya ada amanah lagi. Tetapi beberapa hari yang lalu saya ikut kajian di tempat sebelah. Katanya, “Suara perempuan adalah aurat dan tidak boleh didengar oleh laki-laki yang bukan mahramnya meskipun itu bertilawah.” Saya jadi bingung, mau menerima tawaran tilawah itu apa tidak. Saya harus bagaimana? Terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Fulanah)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Para ulama terdahulu telah mendiskusikan mengenai status suara perempuan. Apakah termasuk aurat atau bukan? Setidaknya ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa suara perempuan adalah aurat.

Pendapat kedua menyatakan bahwa suara perempuan bukan termasuk aurat. Pendapat ini menurut Syihabuddin Ahmad Al-Burullusi atau yang dikenal julukan (laqab) ‘Umairah dalam Hasyiyah-nya, pendapat yang menyatakan bahwa suara perempuan bukan termasuk aurat adalah pendapat yang sahih.

صوت المرأة ليس بعورة على الصحيح

Artinya, “Menurut pendapat yang sahih, suara perempuan bukan termasuk aurat,” (Lihat ‘Umairah, Hasyiyah ‘Umairah, [Beirut Darul Fikr, 1998 M/1419 H, juz, I, h. 201)

Lebih lanjut menurut penuturan Wahbah Az-Zuhaili, pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Salah satu argumen yang dikemukakan untuk mendukung pendapat tersebut adalah adanya para sahabat yang mendengar penjelasan para istri Rasulullah SAW untuk mengetahui berbagai macam hukum agama.

Kendati demikian, menurut Wahbah Az-Zuhaili haram hukumnya mendengarkan suara perempuan jika suara tersebut dilagukan atau dibuat merdu atau indah walau itu bacaan Al-Quran. Alasannya karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.

صَوْتُ الْمَرْأَةِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ؛ لِأَنَّ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَمِعُونَ إِلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَعْرِفَةِ أَحْكَامِ الدِّينِ، لَكِنْ يَحْرُمُ سَمَاعُ صَوْتِهَا بِالتَّطْرِيبِ وَالتَّنْغِيمِ وَلَوْ بِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ، بِسَبَبِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ

Artinya, “Menurut mayoritas ulama, suara perempuan bukan termasuk aurat. Karena para sahabat dulu mendengarkan dengan seksama penjelasan para istri Nabi SAW untuk mengetahui berbagai macam hukum agama. Tetapi haram mendengarkan suara perempuan yang dilagukan atau dinadakan walaupun bacaan Al-Quran karena khawatir bisa menimblkan fitnah,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus Darul Fikr], juz I, halaman 665).

Apa yang dikemukakan Wahbah Az-Zuhaily, jauh-jauh hari sudah dikemukan salah satunya oleh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam Kitab Tuhfatul Habib-nya. Di situ dijelaskan bahwa haram mendengar suara perempuan walaupun itu bacaan Al-Quran apabila dapat menimbulkan fitnah. Apabila tidak demikian, maka tidak haram.

وَيَحْرُمُ سَمَاعُ صَوْتِهَا وَلَوْ نَحْوَ الْقُرآنِ إِنْ خَافَ مِنْهُ فِتْنَةً أَوِ الْتَذَّ بِهِ ، وَإِلَّا فَلَا

Artinya, “Haram mendengarkan suara perempuan walaupun itu tilawah Al-Quran apabila khawatir dapat menimbulkan fitnah atau rasa nikmat (misalnya menimbulkan rangsangan, pent) saat mendengarkannya. Jika tidak, maka tidak haram,” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz IV, halaman 100).

Dengan mengikuti pendapat mayoritas ulama, maka dapat dikatakan bahwa suara perempuan bukan termasuk aurat. Karena bukan aurat, maka boleh saja perempuan memperdengarkan suaranya sepanjang hal tersebut tidak menimbulkan fitnah. Sebagaimana para istri Rasulullah SAW menjelaskan berbagai soal hukum agama dan para sahabat mendengarkannya.

Salah satu hal yang harus dicermati dalam hal ini adalah adanya larangan mendengarkan suara perempuan sekalipun itu adalah bacaan Al-Quran karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Jika tidak, maka tidak apa-apa.

Lain halnya jika kita menganut pandangan bahwa suara perempuan adalah aurat. Secara otomatis perempuan dilarang untuk memperdengarkan suaranya walau itu bacaan Al-Quran. Karena itu termasuk aurat yang wajib dijaga. Namun, pendapat yang menyatakan bahwa suara perempuan adalah aurat faktanya tidak dianut oleh mayoritas ulama. Mereka justru menganut pendapat yang menyatakan bahwa suara perempuan bukan termasuk aurat.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.



(Mahbub Ma’afi Ramdlan)