Syariah

Kerja Sama dalam Barang Gadai dan Pengalihan Tanggungan

Jum, 13 Maret 2020 | 15:00 WIB

Seumpama ada kasus dua orang yang saling bekerja sama dalam barang gadai dengan objek gadai (marhun) berupa tanah milik Pak Anton. Awalnya, Pak Anton menggadaikan tanahnya ke bank sejumlah 100 juta rupiah. Kemudian Pak Bambang meminjam sebagian dari uang hasil gadai tanah tersebut sebesar 25 juta rupiah.

 

Kesepakatan yang diambil antara mereka berdua adalah bahwa sistem pengembalian atau pelunasan gadai ke bank dibuat berdasarkan persentase sesuai kesepakatan berdua. Di tengah jalan, Pak Anton mengoper gadai ke Cak Agus. Kemudian Cak Agus yang melanjutkan/langsung melunasi semua sisa ke bank dengan perjanjian berupa nantinya tanah milik Pak Anton akan menjadi hak milik Cak Agus. Persoalannya kemudian adalah uang cicilan dari Pak Bambang ini apakah bisa dibayarkan ke Cak Agus atau menjadi hak milik dari Cak Agus, karena Cak Agus telah membayar semua tanggungan secara penuh ke bank?

 

Kasus semacam ini sering terjadi di wilayah-wilayah pedesaan yang antara tetangga satu dengan tetangga lainnya saling bekerja sama untuk mendapatkan pembiayaan berupa utang modal usaha. Bagaimanapun juga, bekerja sama merupakan akad yang dikuatkan syariah, selagi tidak ada salah satu dari anggotanya berkhianat. Dalam kerja sama, ada sebuah keberkahan yang dijamin Allah SWT.

 

Dalam kasus kerja sama utang gadai sebagaimana disebutkan di atas, prosedur penggalian hukum yang diutamakan terlebih dulu menurut konteks maqashid al-syariah, adalah hajat kemudahan dalam mengembangkan harta, yang berarti hal itu adalah kemudahan mendapatkan wasilah pengembangan usaha.

 

والحاجة إلى تحصيل المال فوق الحاجة إلى تنميته , فلما شرعت لتحصيل الوصف فلأن تشرع لتحصيل الأصل أولى

 

“Hajat kebutuhan untuk mendapatkan harta, adalah lebih unggul dibanding hajat kebutuhan akan pengembangannya. Karena, ketika Allah mensyariatkan agar menghasilkan sesuatu (berproduksi), maka syariat mewujudkan modal produksi adalah justru lebih utama (aula).” (Majmu’atun mina al-Muallifin, Mausu’ah Fiqh al-Mu’amalat, Tanpa Kota, Mauqi’u al-Islam, Tanpa Tahun, juz 1, halaman 514)

 

Wasilah di sini menduduki peran hajat. Hajat wasilah pada kasus di atas terletak pada utang usaha lewat akad gadai. Karena objek barang yang dijadikan sarana kerja sama adalah berupa satu objek tanah milik Pak Anton, maka kerja sama dalam memperoleh utang usaha lewat sarana menggadaikan satu kepemilikan ini adalah masuk rumpun akad syirkah amlak (syirkah milik). Kendati milik itu berupa duyun (tanggungan utang usaha).

 

فالشركة الأملاك العين يرثها رجلان أو يشتريانها فلا يجوز لأحدهما أن يتصرف في نصيب الآخر إلا بأمره وكل واحد منهما في نصيب صاحبه كالأجنبي

 

Syirkah amlak adalah persekutuan dua orang atas suatu aset (ain) yang diwarisinya atau dibeli bersama-sama oleh keduanya. Dalam syirkah ini, tidak boleh bagi salah satu pihak membelanjakan bagian harta milik yang lainnya kecuali diperintahkan. Masing-masing pihak yang bermitra terhadap bagian mitra lainnya, berperan selaku pihak lain” (Abu al-Hasan Ahmad al-Qudury (w. 428 H), Mukhtashar al-Qurdury fi al-Fiqh al-Hanafy, Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, tt., 110).

 

Jadi, syirkah amlak tidak harus berupa objek waris yang secara otomatis dikuasai oleh ahli waris secara bersama-sama, melainkan juga bisa suatu barang yang dibeli secara patungan (bersama-sama) antara dua pihak atau lebih, atau berupa utang yang dicari secara bersama-sama lewat akad patungan dengan nisbah kewajiban pelunasan sesuai kesepakatan.

 

 

Lho, bukankah dalam syirkah amlak itu dicirikan dengan ketiadaan akad terlebih dulu?

 

Ya enggak juga. Syirkah milik, adakalanya bersifat ijbary, adakalanya juga bersifat ikhtiyari. Untuk contoh kasus syirkah milik ijbary ini, dicirikan dengan ketiadaan akad terlebih dulu, dan merupakan kejadian yang bersifat tiba-tiba, seperti kasus harta warisan dari keluarga atau hibah dari organisasi tertentu kepada dua orang. Nah, dua orang yang mendapat harta warisan atau hibah ini secara otomatis sama-sama menjadi terjalin dalam syirkah milik ijbari.

 

Adapun bila kerja sama itu dalam rangka mendapatkan sesuatu, maka syirkah yang terjadi adalah kebersamaan dalam hal kepemilikan atas barang yang diupayakan itu. Kepemilikan bersama akibat usaha bersama seperti ini dikenal juga sebagai syirkah milik ikhtiyary.

 

هِيَ الَّتِي تَكُونُ بِإِرَادَةِ الشَّرِيكَيْنِ أَوِ الشُّرَكَاءِ: سَوَاءٌ بِوَاسِطَةِ عَقْدٍ أَمْ بِدُونِهِ، وَسَوَاءٌ وَقَعَ الْعَقْدُ مُشْتَرَكًا مُنْذُ بِدَايَتِهِ، أَمْ طَرَأَ عَلَيْهِ اشْتِرَاكُهُمَا، أَمْ طَرَأَ الاِشْتِرَاكُ فِي الْمَال بَعْدَ الْعَقْدِ

 

Yaitu suatu kebersamaan dalam kepemilikan yang dikehendaki oleh dua atau lebih orang yang menjadi mitra, baik dengan perantara akad atau tidak, baik akad itu terjadi sejak awal kerja sama atau baru terjadi saat di tengah-tengah perjalanan, dengan kata lain terjadinya akad kerja sama setelah berlangsungnya akad” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 26, halaman 21).

 

Jadi, singkatnya syirkah milik, itu hakikatnya ada pada risiko dari kerja sama. Jika risiko kerja samanya adalah dalam rangka mendapatkan utang modal dari satu objek gadai, maka objek yang menjadi tanggungan bersama adalah pelunasan utangnya, dan bukan pada objek gadainya. Alhasil, utang merupakan tanggungan bersama, sementara objek gadainya tetap milik Pak Anton.

 

Lantas bagaimana dengan kedudukan dua orang yang berserikat dalam syirkah amlak ini?

 

Hal-hal yang berlaku dalam syirkah amlak adalah, antara pihak satu dengan pihak yang lainnya tidak memiliki keterikatan, sebagai wakil atau sebagai penanggung. Jadi, masing-masing punya hak otoritatif terhadap bagiannya sendiri-sendiri. Mau dialihkan atau tidak, adalah terserah kepada pemilik bagian itu sendiri. Meskipun demikian, ada pengecualian bilamana diduga ada potensi timbulnya dlarar (merugikan) bagi salah satu mitra lainnya. Akibat adanya dugaan timbulnya dlarar (merugikan) bagi pihak lainnya, maka ada ketentuan wajibnya izin pihak yang hendak mengalihkan tanggungan yang menjadi miliknya sendiri.

 

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ لِلشَّرِيكِ أَنْ يَبِيعَ نَصِيبَهُ لِغَيْرِ شَرِيكِهِ - فِي غَيْرِ حَالَةِ الضَّرَرِ الآْتِيَةِ - بِدُونِ إِذْنٍ مِنْهُ

 

“Kalangan Hanafiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa bagi seorang mitra boleh menjual bagiannya sendiri kepada pihak lain di luar mitranya, dengan syarat ketiadaan merugikan bagi pihak lainnya, seperti ketiadaan izin” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 26, halaman 23).

 

Namun bila dugaan dlarar (kasus yang bisa merugikan) itu tidak terjadi, maka kalangan Hanafiyah membolehkan tanpa kesertaan izin. Untuk itulah, maka kalangan Hanafiyah menetapkan batasan akan objek yang bisa dialihkan tanpa seizin mitra lainnya, yaitu jika objek tersebut bisa diperinci dan dibedakan untuk masing-masing pihak. Tanpa bisanya diperinci, maka tidak diperkenankan melakukan pengalihan tanpa seizin mitra. Objek yang bisa diperinci ini kemudian diistilahkan sebagai istilah kepemilikan syuyu’.

 

Nah, dalam kasus tanggungan utang dari objek gadai berupa tanah itu, objek itu bukan termasuk kategori syuyu’, sebab tanah itu tidak ikut menjadi hak milik dari Pak Bambang, melainkan tetap milik Pak Anton. Adapun Pak Bambang hanya menjalin serikat dengan Pak Anton dalam nisbah pelunasan utang saja. Oleh karenanya, pengalihan tanggungan utang kepada Cak Agus oleh Pak Anton, dalam konteks Madzhab Hanafi dan Syafii adalah seharusnya hanya berlaku atas nisbah tanggungan Pak Anton saja dan bukan mencakup nisbah tanggungannya Pak Bambang.

 

Tapi, bukankah barang yang digadaikan itu statusnya masih milik Pak Anton sepenuhnya? Di sini kita memang menemui simalamaka. Ditimbang dari sisi fikih, karena barang adalah masih milik mutlak dari Pak Anton, maka sesuai dengan hak-hak yang berlaku atas suatu hak kepemilikan, yaitu hurriyatu al-tasharruf fi milkihi (bebas mengelola hak miliknya), maka jual beli antara Pak Anton dengan Cak Agus tadi adalah sah disebabkan Pak Anton menjual barang miliknya sendiri.

 

 

Risikonya, memang ada pada nisbah bagian utangnya Pak Bambang, khususnya jika Cak Agus melunasi sepenuhnya semua tanggungan keduanya tanpa seizin Pak Bambang. Namun karena memiliki barang adalah lebih kuat statusnya dalam syariat dibanding sekadar pengembangan, maka risiko pengalihan pelunasan utang yang semula dari bank ke Cak Agus adalah bagian yang tidak begitu dipertimbangkan, selagi tidak menimbulkan dlarar bagi Pak Bambang (lihat kaidah pertama di awal tulisan ini!). Alhasil, nisbah tanggungan yang dimiliki Pak Bambang, menjadi beralih ke Cak Agus sebagai risiko dari izin akad pengalihan (hawalah).

 

الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه

 

Rela pada sesuatu berarti rela dengan risiko yang ditimbulkannya.”

 

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur