Hikmah

Imam Abu Hanifah Pembela Aswaja yang Dagang Sutra di Pasar

Sab, 22 Januari 2022 | 09:00 WIB

Imam Abu Hanifah Pembela Aswaja yang Dagang Sutra di Pasar

Tak banyak orang dengan kecerdasan, kegeniusan, dan multitalen seperti Abu Hanifah. Terbukti, saat remaja, Imam Nu’man ini mampu menggawangi peran ganda; sebagai argumentator aqidah Aswaja, sekaligus pedagang sutra. Ini pekerjaan yang tak mudah.

Harus diakui, Abu Hanifah adalah sosok orang yang genius dan multitalenta. Ia tidak hanya mampu mengurusi satu hal saja. Tetapi bisa menjalankan dua hal dalam waktu yang bersamaan. Ia mampu membagi fokus secara serius untuk dua hal berbeda. Hasilnya pun tak biasa-biasa saja, sungguh sebuah pencapaian yang maksimal. Benar sekali firasat yang dirasakan imam as-Sya’bi tentang kecerdasan Abu Hanifah saat pertama kali bertemu di sebuah jalan yang biasa dilalui orang-orang pasar.


Tak banyak orang dengan kecerdasan, kegeniusan, dan multitalen seperti Abu Hanifah. Terbukti, saat remaja, Imam Nu’man ini mampu menggawangi peran ganda; sebagai argumentator aqidah Aswaja, sekaligus pedagang sutra. Ini pekerjaan yang tak mudah. Karena fokusnya jauh berbeda. Jika satu sisi sebagai pendakwah dan di sisi lain sebagai penulis, maka masih linier alias sejalur. Terlebih lagi, di masa Abu Hanifah tak sama dengan sekarang. 


Para pendakwah, pelajar, ataupun tenaga pengajar kita saat ini, tak terlalu sulit menggabungkan profesinya itu dengan berbisnis. Sebab, ia bisa berpenghasilan melalui Youtube, jualan melalui Instagram dan facebook, mereka juga bisa sambil buka toko online di market place. Sedangkan Abu Hanifah, jam terbang pasar dengan dakwahnya bertaut jauh tanpa media-media online seperti saat ini.


Jam Terbang Abu Hanifah Membela Akidah Aswaja

Sejak kali pertama Abu Hanifah mendedikasikan dirinya untuk ilmu, ia mencurahkan fokusnya lebih banyak mempelajari dan mengkaji ilmu kalam. Gairah remajanya yang gemar berdebat itu muncul tak terbendung.


Kabarnya, Abu Hanifah tak hanya berdebat dan mengkritisi paham-paham Mu’tazilah dan Khawarij di tanah kelahirannya, di Kufah. Tetapi juga memiliki jam terbang sampai ke kota Bashrah, di mana jarak antara keduanya kurang lebih mencapai 434 km. 


Agar lebih riil, coba kita bandingkan dengan jarak antara Situbondo-Surabaya. Dari Situbondo ke Surabaya, jaraknya kira-kira 200 km. Berarti, bisa dibayangkan jarak antara Kufah dan Bashrah, dua kali lipat Situbondo-Surabaya.


Sekarang, berkat kemajuan transportasi, waktu tempuh maksimal dari kota santri menuju kota metropolitan, sekitar enam jam perjalanan tanpa melalui tol. Bisa lebih cepat jika masuk ke gerbang tol. Sedangkan Abu Hanifah, mengisi jam terbangnya ke Bashrah menggunakan jasa tumpangan hewan. Menumpang kepada kafilah-kafilah yang bolak-balik antara Kufah dan Bashrah itu. Lumayan berat perjuangannya.


Syekh Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 133) bercerita:


ويقوم بالرحلات المختلفة إلى البصرة ليجادل المعتزلة ويتعلم ما عندهم ويجادل الخوارج ويتعرف فكرهم وهكذا إستمر يتعرف ما عند الفرق المختلفة


Artinya, “Abu Hanifah menuju Bashrah dengan menumpang kepada pelbagai kafilah yang ada guna berdebat dengan Mu’tazilah dan Khawarij, seraya mempelajari dasar teologi dan pemikiran mereka. Begitulah seterusnya  ia aktif mendebati aliran demi aliran yang berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah.”


Bisa dibilang, Abu Hanifah adalah singa podium Aswaja di masanya. Namun, lambat laun, ia kembali mendapat hidayah. Ia merasa dirinya tidak berada di jalan yang benar seperti yang diajarkan para tabiin dan sahabat Nabi. Sebab, hari-harinya penuh debat dan sikap menyalahkan orang lain.


Akhirnya, imam Nu’man pun alih fokus ke halakah dan kajian fiqih, menjauh dari perdebatan teologi. Baginya, kendati dalam fiqih juga banyak perdebatan, tetapi semuanya bernuansa kasih-sayang. Perdebatan fiqih adalah jalan keluar dari kesulitan umat. Beda dengan teologi yang perdebatannya adalah keresahan bagi mereka.


Abu Hanifah Tetap sebagai Entrepreneur

Walau Abu Hanifah telah lama menjauhi dunia pasar dan sibuk dengan dunia barunya di kalangan para santri dan kiai, tapi tak berarti ia benar-benar gulung tikar dari bisnis sutranya. Dirinya tak serta-merta menghilangkan peninggalan mendiang sang ayah.


Ia terus melanjutkan profesinya sebagai entrepreneur dengan manajemen pasar yang lebih profesional lagi, yaitu dengan menjalin kerja sama dengan para pedagang yang lain. Baik melalui akad wakalah atau agency (mewakilkan penjualan komoditasnya), maupun dengan membangun mitra kerja (musyarakah atau partnership). Mengingat, jam belajarnya yang semakin hari semakin padat.


Masih dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 137), Abu Zahrah menulis:


ولما إتجه إلى العلم لم ينقطع عنها بل إستمر في التجارة بنائب ينيبه أو شريك يشاركه وكان مشتركا في التجارة بقدر لا يقطعه عن العلم إذ إنصرف إليه في أكثر أحواله حتى كاد التاريخ ينسى التجارة التي إستمر فيها


Artinya, “Hijrah Abu Hanifah ke halakah intelektual tak lantas membuatnya meninggalkan usaha sutra yang dibangun ayahnya. Usahanya tetap berjalan di tangan para pekerjanya. Ia tetap fokus sebagai manajer bisnis tersebut. Sebab, ia tak punya waktu sebagai pelaku langsung, menjajakkan barang-barangnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan di hadapan para ulama. Sampai-sampai, nyaris sejarah melupakan jejak entrepreneur Abu Hanifah.”


Benar, nyaris sejarah melupakan jejak dagang imam Nu’man. Untung saja beberapa sejarawan meneliti dan mencatatnya. Walaupun tidak terlalu rapi, kalah dengan karir dan popularitasnya sebagai ulama pendiri Mazhab Hanafi.


Berkah catatan sejarah yang sederhana itu, semua orang yang bergelut di dunia bisnis yang mengenal Abu Hanifah, pasti menjadikannya tokoh panutan dalam karirnya. Bahkan, banyak buku-buku entrepreneurship yang mengulas sejarah dagang Abu Hanifah. Wallahu a’lam bis shawab.

 


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok NTB.