Hikmah

Ketika Nabi Nuh Dicekik dan Dipukuli

Sab, 6 April 2019 | 08:00 WIB

Dalam kitab al-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibânî (164-241 H) ada dua riwayat yang menceritakan Nabi Nuh as disakiti kaumnya:
 
حدثنا عبد الله حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن الأعمش عن مجاهد عن عبيد بن عمير قال: كان قوم نوح يضربونه حتي يغشي عليه فإذا أفاق قال: اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون.
 
Diceritakan oleh Abdullah, diceritakan oleh Abdurrahman, dari Sufyan, dari al-A’masy, dari Mujahid, dari Ubaid bin ‘Umair, ia berkata: “Kaum Nabi Nuh memukulinya hingga ia tidak sadarkan diri. Ketika Nabi Nuh siuman, ia berdoa: 
 
“Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, hlm 66)
 
عن مجاهد عن عبيد بن عمير قال: إن كان الرجل من قوم نوح ليلقاه فيخنقه حتي يخر مغيشا عليه, قال: فيفيق حين يفيق وهو يقول: رب اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون.
 
Dari Mujahid, dari ‘Ubaid bin ‘Umair, ia berkata: “Jika seseorang dari kaum Nuh bertemu dengannya, maka ia akan mencekiknya hingga Nuh jatuh pingsan.” Kemudian ia sadarkan diri, ketika itu ia berdoa: 
 
“Tuhan, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, hlm 66)
 
****
 
Cara paling mudah untuk menakar kedalaman manusia adalah ketika ia sedang tersakiti (dilukai). Akal sehat manusia cenderung menyusut di saat itu terjadi. Luka menimbulkan kemarahan. Kemarahan menghadirkan kehendak membalas. Kehendak membalas memunculkan dendam.
 
Bagi orang yang belum menguasai dirinya, ia akan membalas perilaku buruk orang lain dengan balasan yang terkadang jauh lebih kejam. Manusia yang tersinggung, kehendak buasnya meningkat. Balasan setara tidak lagi menjadi pilihan. Sebab, pembalasan selalu berkaitan erat dengan kepuasan. Melampiaskan sakit hati tanpa kepuasan, dalam struktur kejiwaan manusia, tidak bisa memenuhi fantasi kepuasan yang diharapkan.
 
Apa yang dilakukan Nabi Nuh dalam kisah di atas paling tidak menggambarkan dua hal, pertama, memaafkan segala perilaku buruk kaumnya dengan dasar “mereka tidak mengetahui.” Kedua, melepaskan beban yang memberatkan hatinya dengan cara mendoakan mereka.
 
Penjelasannya begini, untuk yang pertama, memaafkan dalam kerangka kisah di atas adalah mewajari. Perilaku buruk kaummnya, mencekik dan memukul, dipandang oleh Nabi Nuh berasal dari ketidaktahuan mereka. Tentu saja dalam strata hubungan normal antara non-nabi perlakuannya akan berbeda. Keseimbangan sangat diperlukan di sini. Itulah sebabnya Allah membincangkan hukum-hukum-Nya melalui para nabi. Hukum yang diturunkan untuk menjaga keseimbangan di antara manusia, selain dengan Tuhannya. Tapi, jika ada seseorang yang mampu bersikap seperti Nabi Nuh, ia adalah manusia luar biasa.
 
Yang kedua, maksud “melepaskan beban” adalah rasa bersalah. Maksudnya begini, jika Nabi Nuh tidak berdoa memohonkan ampunan untuk mereka, artinya ia menjadi penyebab dosa-dosa mereka. Penyebab di sini bukan penyebab dalam arti muasal, tapi pengantar. Gara-gara menyakiti Nabi Nuh mereka menanggung dosa. Artinya ada dosa yang tercatat di buku amal mereka karena menyakiti Nabi Nuh. Bagi seorang nabi yang membawa misi kenabian, ia akan berusaha menghindarinya. Tugasnya adalah membawa manusia mendekat kepada Allah agar selamat dunia-akhirat, bukan mengantar mereka ke pintu neraka.
 
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah mungkin dua poin penting kisah di atas bisa dilakukan manusia biasa? Tentu saja bisa, meski dalam batas-batas tertentu. Sebab, semua perilaku nabi dan hikmahnya dijadikan Allah sebagai standar keteladanan atau ukuran ideal untuk manusia. Memang, ukuran ideal cenderung tidak bisa diraih, tapi setidaknya menjadi garis finis yang dituju. 
 
Dalam konteks kebaikan dan akhlak, ada dua pendekatan menarik. Pertama, ukuran ideal yang harus mengawang-awang. Tujuannya agar pelaku kebaikan tidak pernah merasa puas dengan kebaikannya. Tanpa ukuran ideal yang mengawang-awang itu, pelakunya akan merasa sudah berhasil dan telah mencapai garis finis. Akibatnya kebaikan memiliki batas dan mengenal kata “sampai”. Seharusnya kebaikan terbebas dari semua itu, agar pelakunya selalu meningkatkan perbuatan baiknya dan tidak pernah merasa ‘sampai’. Namun, tetap harus ada standar dan ukuran idealnya, meski hampir mustahil untuk dicapai.
 
Kedua, andaipun kebaikan mengenal “perbatasan”, manusia harus menyadari bahwa mengulangi perjalanan adalah hal baik. Tantangannya pun tak kalah besarnya dari skema kebaikan yang pertama. Karena pengulangan sangat dekat dengan kebosanan. Pengulangan yang dilakukan terus-menerus membuka peluang kebosanan yang lebih besar. Maka, dibutuhkan perjuangan luar biasa untuk menjadi pengulang yang baik.
 
Di sini Nabi Nuh memberi contoh untuk kita semua, bahwa menjadi pemaaf tidak melulu berarti pengecut; tidak membalas tidak selalu berarti takut. Ia juga menunjukkan cara memaafkan yang paling baik, dengan cara mendoakan ampunan untuk mereka. Ya, memang sulit dilakukan, tapi setidaknya “sudahkan kita mencobanya?”
 
Wallahu a'lam
 
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.