Hikmah

Ketika Rasulullah Anulir Kepemilikan Lahan Pribadi untuk Kepentingan Umat

Ahad, 28 Januari 2024 | 06:00 WIB

Ketika Rasulullah Anulir Kepemilikan Lahan Pribadi untuk Kepentingan Umat

Lahan tanah. (Foto: NU Online/Freepik)

Kepemilikan tanah di masa Rasulullah saw tidak sekompleks masa kini, misalnya di Indonesia, sudah dilengkapi dengan sistem sertifikasi kepemilikan tanah yang dikelola oleh pemerintah melalui lembaga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).


Meskipun begitu, langkah-langkah menuju keadilan agraria sudah ada pada masa Nabi, khususnya ketika beliau menjabat sebagai kepala negara di Madinah. Mengutip buku Islam dan Agraria karya Gita Anggraini, ada beberapa catatan sejarah di mana Nabi mengapling tanah kepada beberapa orang sahabat.


Misalnya Rasulullah pernah mengaplingkan tanah untuk seseorang dari kalangan Anshar, yaitu Sulaith. Selain Sulaith, ada juga Zubair bin ‘Awwam yang ditetapkan baginya tanah di Khaibar. (Gita Anggraini, Islam dan Agraria, [Sleman: STPN Press, 2016], hal. 14).


Menariknya, pada masa Rasulullah sudah ada sistem surat tanda kapling tanah. Surat kapling tanah ini beliau berikan kepada Abu Tsa’labah al-Khusyani, salah seorang sahabat Nabi yang terkenal rajin beribadah dan berilmu.


Beberapa data sejarah tersebut membuktikan bahwa pada masa Rasulullah telah didapati tindakan pengelolaan kepemilikan tanah yang baik. Selain menetapkan kepemilikan tanah, Rasulullah juga pernah melarang kepemilikan tanah atas nama pribadi pada lahan untuk kepentingan publik.


Dikisahkan suatu hari Rasulullah saw didatangi oleh Abyadh bin Hammal, salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari wilayah di pedalaman Yaman yang disebut dengan Ma`rib. Pada pertemuan tersebut, ia meminta untuk dipatenkan baginya hak milik tanah di wilayah Ma`rib tersebut.


Konon lahan di wilayah tersebut terkenal dengan tambang garamnya, hingga Rasulullah saw mengira bahwa penetapan tanah untuk Abyadh adalah dalam rangka ihya al-mawat atau menghidupkan serta memakmurkan kembali lahan yang telah mati atau lama tidak ada aktivitas manusia di dalamnya.


Tanpa banyak pertimbangan, Rasulullah pun menetapkan tanah itu untuk Abyadh. Selang beberapa waktu kemudian, ada seseorang mendatangi Rasulullah, ternyata ia adalah Al-Aqra' bin Habis At-Tamimi, sosok sahabat yang terhormat dari kalangan Bani Tamim.


“Wahai Rasul, tahukah tanah jenis apa yang telah engkau tetapkan untuk Abyadh? Aku pernah melewati tambang garam pada masa jahiliyah dulu. Tambang tersebut terdapat di suatu daerah yang tidak berair. Siapa pun yang mendatanginya, ia bebas untuk mengambilnya, ia layaknya air yang mengalir tak terbatas. Sungguh engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam” ungkap Al-Aqra’ kepada Nabi saw.


Mengetahui kabar tersebut, Rasulullah saw menganulir kepemilikan tanah yang telah ia tetapkan atas Abyadh bin Hammal. Pasalnya, tanah yang memiliki sumber alam yang untuk memperolehnya tidak perlu fasilitas dan tenaga, dihukumi oleh Nabi sebagai tanah lindung dan harus dialokasikan untuk kepentingan publik, bukan milik pribadi.


Riwayat tersebut tercatat dalam Sunan at-Tirmidzi dan juga Sunan Ibnu Majah, yaitu:


عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ 


Artinya: “Dari Abyadh bin Hammal, ia datang kepada Rasulullah saw meminta untuk menetapkan kepemilikan sebidang tambang garam untuknya, lalu Rasul pun menetapkan untuknya. Ketika hendak beranjak pergi, seseorang yang berada di majelis berkata; Tahukah engkau apa yang engkau tetapkan untuknya? Sesungguhnya engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam. Nabi pun membatalkannya.” (HR at-Tirmidzi).


Hadits yang serupa dengan hadits riwayat at-Tirmidzi, yaitu riwayat Ibnu Majah:


عَنْ أَبِيهِ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ اسْتَقْطَعَ الْمِلْحَ الَّذِي يُقَالُ لَهُ مِلْحُ سُدِّ مَأْرِبٍ فَأَقْطَعَهُ لَهُ ثُمَّ إِنَّ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ التَّمِيمِيَّ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَرَدْتُ الْمِلْحَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا مَاءٌ وَمَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ فَاسْتَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ بْنَ حَمَّالٍ فِي قَطِيعَتِهِ فِي الْمِلْحِ فَقَالَ قَدْ أَقَلْتُكَ مِنْهُ عَلَى أَنْ تَجْعَلَهُ مِنِّي صَدَقَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ مِنْكَ صَدَقَةٌ وَهُوَ مِثْلُ الْمَاءِ الْعِدِّ مَنْ وَرَدَهُ أَخَذَهُ


Artinya: “Dari Abyadh bin Hammal, ia pernah mengumpulkan garam yang disebut dengan garam bendungan Ma'rib, ia mengumpulkan untuk dirinya sendiri. Kemudian Al Aqra' bin Habis At-Tamimi mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku pernah melewati (kumpulan) garam di masa jahiliyah, ia terdapat di suatu daerah yang tidak berair. Siapa saja yang mendatanginya ia bebas untuk mengambilnya, ia seperti air yang mengalir.” Maka Rasulullah meminta pembatalan Abyadh dari [kepemilikan tambang] garam yang dikumpulkan, Abyadh pun berkata, “Aku telah merelakan pembatalan itu dengan syarat engkau jadikan [tambang itu yang dimanfaatkan banyak orang] sebagai (pahala) sedekah dariku." Rasulullah menjawab: "[Tambang itu] adalah sedekah darimu, ia seperti air yang mengalir. Siapa pun yang mendatangi tambang tersebut, maka ia bebas mengambilnya." (HR Ibnu Majah).


At-Tirmidzi mengomentari hadits tersebut adalah hadits gharib dan menjadi pedoman dalam praktik penetapan tanah. Berdasarkan hadits ini, at-Tirmidzi menyimpulkan kebolehan pemimpin negara untuk menetapkan bagian tanah seseorang asal bukan tanah lindung. (Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, jilid VIII, hal. 161).


Berdasarkan hadits ini, Mula al-Qari memandang bahwa wilayah tambang sumber daya alam yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa perlu fasilitas alat apapun untuk mengambil, seperti air, rumput, dan lain-lain semacamnya maka tidak boleh dimiliki atas nama pribadi.


Alasannya ia merupakan sumber alam yang menjadi kebutuhan umum manusia. Selain itu, sumber alam di wilayah tersebut juga tidak terbatas, bahkan bisa diambil manfaatnya secara terus menerus. Apabila dimiliki secara individual, maka akan merepotkan banyak orang dan menjadi keuntungan pribadi semata. (Al-Azhim Abadi, ‘Awnul Ma’bud, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995], jilid XIII, hal. 250).


Imam an-Nawawi juga sempat mengomentari hadits ini dalam al-Majmu’ jilid VII halaman 69, bahwa pelarangan Rasul atas kepemilikan individual pada lahan tersebut disebabkan ia merupakan lahan tambang sumber alam yang diperoleh secara mudah tanpa adanya proses penggalian tambang yang membutuhkan fasilitas dan biaya yang besar.


Demikianlah riwayat mengenai anulir Nabi terhadap hak paten tanah secara individual disebabkan lahan tersebut harusnya dapat diakses oleh publik secara gratis karena mengandung sumber daya alam yang dapat diperoleh dengan mudah.


Dalam konteks Indonesia, proses penetapan tanah melalui redistribusi lahan dapat mengikuti langkah Rasulullah sebagai inspirasi awal dalam menentukan kebijakan. Wallahu a’lam


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Ilmu Hadits Darus-Sunnah