Hikmah

Kisah Anjing dan Arab Badui Mengencingi Masjid di Masa Rasulullah

Sel, 9 Januari 2024 | 10:00 WIB

Kisah Anjing dan Arab Badui Mengencingi Masjid di Masa Rasulullah

Anjing di padang pasir. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Dalam sejarah peradaban Islam, terbentang kisah-kisah penuh hikmah yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Salah satunya, ada cerita yang tampaknya sederhana namun sarat makna tentang seekor anjing yang kencing di Masjid Nabawi di masa Rasulullah saw. Peristiwa ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, hadits Nomor 174, bersumber dari Abdullah bin Umar. 


Kisah anjing yang kencing di masjid dalam masa Rasulullah saw bukanlah sekadar cerita tentang seekor hewan. Ia adalah cerminan keluhuran akhlak, kebijakan, dan kearifan Nabi Muhammad saw yang patut kita jadikan teladan dalam menjaga kesucian lahir dan batin, serta dalam bersikap terhadap sesama makhluk, tak terkecuali mereka yang dianggap berbeda atau nista.


Suatu hari, ketika Rasulullah tengah memimpin shalat jamaah di Masjid Nabawi, seekor anjing masuk dan buang air sembarangan di sudut masjid. Para sahabat, dengan kegeraman, hendak mengusir hewan itu. Melihat gelagat tak mengenakkan tersebut, Rasulullah segera memerintahkan para sahabat untuk tenang dan membiarkan si anjing menyelesaikan hajatnya. Shalat pun tetap dilanjutkan.


Setelah usai, Rasulullah tidak menghukum apalagi menghina anjing tersebut. Beliau justru memerintahkan para sahabat untuk membersihkan bekas kencingnya dengan air dan tanah. Tindakan Nabi ini sontak membuat para sahabat bertanya-tanya. Mengapa beliau tidak mengeluarkan anjing itu, terlebih lagi di tempat suci seperti masjid?


Dengan penuh ketenangan, Rasulullah menjelaskan bahwa masjid memang merupakan tempat ibadah yang harus disucikan. Namun, bukan dengan menghardik makhluk apalagi menghukum makhluk tak berakal budi. Nabi bersabda;


قَالَ كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ


Artinya: "Telah berkata, "Dahulu anjing-anjing kencing, mencium, dan berbalik di dalam masjid pada masa Rasulullah saw, namun mereka tidak menyiramnya dengan sesuatu pun dari itu."


Hadits ini menjelaskan bahwa pada masa Rasulullah saw, anjing-anjing sering masuk ke dalam masjid dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk kencing, menghadap, dan membelakangi kiblat. Namun, para sahabat tidak menyiram air di tempat-tempat yang telah dimasuki oleh anjing-anjing tersebut.


Sementara itu, ada sebuah hadits dari riwayat Abu Daud, yang bersumber dari sahabat Ibnu Umar, yang menjelaskan juga di era itu anjing saban masuk ke masjid Rasulullah, bahkan para sahabat tidak memercikkan air ke tempat terkena kotoran anjing tersebut. Nabi bersabda:

 
 قَالَ ابْنُ عُمَرَ كُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكُنْتُ فَتًى شَابًّا عَزَبًا وَكَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ


Artinya: "Ibn Umar berkata, "Aku bermalam di dalam masjid pada zaman Rasulullah saw. Aku masih muda dan belum menikah. Anjing-anjing akan buang air kecil, berkumpul, dan berputar-putar di dalam masjid, namun mereka tidak pernah menyiramkan air ke atasnya."


Terkait hadits tersebut Muhammad Syamsul Al-Haqq Abadi, dalam kitab Aunul Ma'bud, Jilid II, halaman 34 mengatakan hal ini menunjukkan bahwa tanah yang terkena najis lalu kering karena terkena sinar matahari atau udara sehingga tidak ada bekasnya, maka tanah tersebut menjadi suci. Pendapat ini didukung oleh pendapat Al-Khattabi yang menjelaskan bahwa anjing pernah buang air kecil, menghadap, dan membelakangi di masjid secara sekilas. 


Hal ini menunjukkan bahwa anjing hanya masuk dan keluar masjid pada waktu-waktu tertentu, dan masjid tidak memiliki pintu yang menghalangi anjing untuk masuk. Oleh karena itu, najis anjing yang terkena tanah tersebut tidak sempat mengering, sehingga Nabi Muhammad memerintahkan untuk menutupinya dengan tanah agar tidak terlihat.


والحديث فيه دليل على أن الأرض إذا أصابتها نجاسة فجفت بالشمس أو الهواء فذهب أثرها تطهر إذ عدم الرش يدل على جفاف الأرض ، وطهارتها


Artinya: "Hadits ini menunjukkan bahwa tanah yang terkena najis, kemudian mengering karena sinar matahari atau udara, sehingga bekas najisnya hilang, maka tanah tersebut menjadi suci. Hal ini karena tidak adanya bekas percikan air menunjukkan bahwa tanah tersebut telah kering dan suci.


قال الخطابي في معالم السنن : وكانت الكلاب تبول وتقبل وتدبر في المسجد عابرة إذ لا يجوز أن تترك الكلاب انتياب المسجد حتى تمتهنه وتبول فيه ، وإنما كان إقبالها وإدبارها في أوقات نادرة ، ولم يكن على المسجد أبواب تمنع من عبورها فيه 


"Imam Al-Khattabi berkata dalam kitab Ma'alim As-Sunan: "Anjing pernah kencing, menghadap, dan membelakangi masjid secara sesekali. Hal ini karena tidak boleh membiarkan anjing memasuki masjid hingga menguasainya dan kencing di dalamnya. Kencing anjing di masjid hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, dan masjid tidak memiliki pintu yang menghalangi anjing untuk menyeberanginya."


Lebih dari itu, kisah anjing yang kencing di masjid dalam masa Rasulullah bukanlah sekadar cerita tentang seekor hewan. Ia adalah cerminan keluhuran akhlak, kebijakan, dan kearifan Nabi Muhammad saw yang patut kita jadikan teladan dalam menjaga kesucian lahir dan batin, serta dalam bersikap terhadap sesama makhluk, tak terkecuali mereka yang dianggap berbeda atau nista.


Selanjutnya, dalam kisah lain juga diceritakan Nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya sedang berada di masjid Nabawi. Tiba-tiba, seorang Arab Badui masuk ke masjid dan kencing di salah satu sudutnya. Para sahabat Nabi menjadi marah karena perbuatan Arab Badui itu dianggap sebagai penghinaan terhadap masjid. 


Para sahabat, hendak memarahi dan mencegah Arab Badui itu kencing, namun Nabi Muhammad saw melarang mereka. Nabi Muhammad saw mengetahui bahwa Arab Badui itu berasal dari daerah pedesaan yang belum terbiasa dengan tata krama di masjid. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw memaafkan perbuatan Arab Badui itu dan menyuruhnya untuk melanjutkan kencingnya.


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: دَخَلَ أَعْرَابِيٌّ الْمَسْجِدَ، فَبَالَ فِيهِ، فَجَاءَ الْمُسْلِمُونَ لِيَقْتُلُوهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعُوهُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ». ثُمَّ دَعَاهُ، فَقَالَ لَهُ: «هَذَا مَسْجِدُ اللَّهِ، وَلَا يَحِلُّ أَنْ يُبَالَ فِيهِ، فَإِذَا أَحْرَجْتَ فَأَدْلِ فِي نَاحِيَةٍ خَفِيَّةٍ». فَأَدْلَى فِي نَاحِيَةٍ خَفِيَّةٍ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)


Artinya: "Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Seseorang Arab Badui memasuki masjid, lalu ia kencing di dalamnya. Maka para Muslim datang untuk membunuhnya. Nabi saw bersabda, 'Biarkan dia, karena ia tidak mengetahui.' Kemudian beliau memanggilnya dan berkata kepadanya, 'Ini adalah masjid Allah, dan tidak halal untuk kencing di dalamnya. Jika engkau terdesak, maka kencinglah di sudut yang tersembunyi.' Maka ia kencing di sudut yang tersembunyi." (HR. Bukhari dan Muslim).


Kisah juga ini mengajarkan toleransi dan kasih sayang Rasulullah. Nabi Muhammad saw menunjukkan sikap toleransi dan kasih sayang kepada orang Arab Badui yang tidak mengetahui ajaran Islam. Nabi tidak marah dan tidak menghukumnya, melainkan menjelaskan kepadanya bahwa kencing di masjid adalah perbuatan yang dilarang.


Hal ini menunjukkan Nabi Muhammad saw, sosok manusia dengan akhlak yang tiada tanding. Safiur Rahman Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum, menggambarkan Nabi adalah cermin teladan bagi umat Islam sepanjang masa. Tidak hanya sebagai Nabi terakhir, juga dikenal dengan kedermawanan, keberanian, kejujuran, kesetiaan, dan kelembutan yang tiada tara.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat