Hikmah

Kisah Abdullah bin Umar Mengamalkan Ayat Al-Qur’an yang Baru Diturunkan

Rab, 8 Januari 2020 | 13:45 WIB

Kisah Abdullah bin Umar Mengamalkan Ayat Al-Qur’an yang Baru Diturunkan

Manusia bisa jadi sangat paham tentang kebaikan-kebaikan tapi secara praktis belum melakukannya. Ilmu dan amal ada dua hal berbeda.

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H) mencatat dua riwayat tentang Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Berikut riwayatnya:

 

حدثنا أحمد بن محمد بن سنان، ثنا محمد بن إسحاق السراج، ثنا عمرو بن زرارة، ثنا أبو عبيدة الحداد عن عبد الله بن أبي عثمان، قال: كان عبد الله بن عمر أعتق جاريته التي يقال لها: رميثة، وقال: إني سمعت الله عز وجل يقول في كتابه: لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّي تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّوْنَ (آل عمران: ٩٢)، وإني والله إن كنت لأحبك في الدنيا، إذهبي فأنت حرة لوجه الله عز وجل

 

Ahmad bin Muhammad bin Sinan bercerita kepada kami, bercerita Muhammad bin Ishaq al-Siraj, bercerita ‘Amr bin Zurarah, bercerita Abu ‘Ubaidah al-Hadad dari Abdullah bin Abu ‘Utsman, ia berkata:

 

“Abdullah bin Umar telah memerdekakan budak perempuannya yang bernama Rumaitsah. Ia berkata: Sesungguhnya aku mendengar Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam kitab-Nya (QS. Ali Imran: 92): Kalian sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan (sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Demi Allah, aku mencintaimu di dunia, maka pergilah, kau adalah perempuan merdeka karena Allah ‘Azza wa Jalla.” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 367)

 

حدثنا القاضي أبو أحمد محمد بن أحمد بن إبراهيم، ثنا جعفر بن محمد بن عتيب، ثنا محمد بن سعيد بن يزيد بن إبراهيم، ثنا أبو عاصم عن ملك بن مغول عن إبراهيم بن مهاجر عن مجاهد عن ابن عمر-رضي الله عنه-قال: لما نزلت (لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّي تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّوْنَ) دعا ابن عمر-رضي الله عنه-جارية له فأعتقها

 

Al-Qadhi Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim bercerita kepada kami, bercerita Ja’far bin Muhammad bin ‘Atib, bercerita Muhammad bin Sa’id bin Yazid bin Ibrahim, bercerita Abu ‘Ashim dari Malik bin Mughawwal, dari Ibrahim bin Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

 

“Ketika turun ayat, Kalian sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan (sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai, Ibnu Umar memanggil budak perempuannya, kemudian memerdekakannya.” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 367)

 

****

 

Pernahkah kalimat semacam, “aku paham ayat Al-Qur’an ini, dan aku akan mengamalkannya,” meloncat masuk ke pikiran kita, atau barangkali kita sudah puas dengan sekadar “paham”, tanpa proses dan upaya untuk mengamalkannya?

 

Tentu, memahami Al-Qur’an tidak semudah memahami novel. Diperlukan ragam perangkat pengetahuan pendukung untuk memahaminya. Namun, bahasan kita kali ini tidak tentang itu. Bahasan kita kali ini tentang keteladanan yang diuraikan Sayyidina Abdullah bin Umar melalui tindakannya.

 

Dalam riwayat di atas, dikisahkan ketika ayat 92 dari Surah Ali Imran turun, Sayyidina Abdullah bin Umar bergegas memerdekakan budak perempuannya. Ia berkata: “Demi Allah, aku mencintaimu di dunia, maka pergilah, kau adalah perempuan merdeka karena Allah ‘Azza wa Jalla.”

 

Sebagaimana firman Allah (QS. Ali Imran: 92): “Kalian sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan (sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” Sayyidina Abdullah bin Umar mengamalkannya dengan cara menafkahkan sebagian harta yang paling dicintainya, yaitu budak perempuannya. Ia memerdekakannya karena Allah.

 

Jika seseorang masih diberatkan oleh harta yang disukainya dalam berbuat baik, ia tidak akan sampai pada kebajikan sempurna; ia tidak akan sampai pada kasih sayang yang merata. Sebab, dari sinilah kita melatih diri, dan dari sinilah kita melemahkan prasangka, yaitu meyakini betul firman-Nya dan mengamalkannya.

 

Maksud melatih diri adalah, misalnya, selama ini kita beranggapan bahwa sedekah adalah uang receh atau uang kecil. Cara “berpikir” dan “merasa” kita tanpa disadari bekerja seperti itu. Setiap kali kita ke masjid, kita lebih sering memasukkan uang kecil ke kotak amal. Kemudian, di titik tertentu, kita memaksakan diri setelah membaca ayat tersebut untuk memasukkan uang yang paling berharga di saku kita. Dengan berat hati kita memasukkannya. Setelah melakukan itu, rasa berat dan penyesalan tak kunjung hilang, bahkan mungkin akan bertahan beberapa hari. Namun, jika kita sering melakukannya, rasa berat itu perlahan-lahan menjadi lebih ringan dari sebelumnya. Kita merasa lebih terbiasa dan akrab. Itu artinya kita sudah berhasil naik ke level yang lebih tinggi.

 

Sebagai makhluk terbaik, kita diberi akal yang begitu mudah memahami kebaikan dan keburukan. Kita tahu bahwa memberi tempat duduk kepada orang tua di kendaraan umum adalah perbuatan baik, tapi tidak jarang dari kita yang masih mengabaikannya. Kita tahu membuang putung rokok sembarangan adalah perbuatan buruk, tapi kita masih sering melakukannya.

 

Artinya, pemahaman kita tentang kebaikan dan keburukan tidak membawa kita menjadi pribadi yang hadir. Kita masih berjalan di tempat yang sama, menjadi manusia yang sekadar “paham”, bukan manusia yang sekadar “melaksanakan”. Dalam hal ini, kita perlu meneladani kisah di atas dan mengambil hikmahnya. Kita perlu melatih diri kita untuk terbiasa berbuat baik, dan terbiasa mengindari keburukan.

 

Di sisi lain, kisah di atas berisi pesan kedermawanan yang sangat menantang. Siapa pun orangnya, melepaskan atau menyerahkan sesuatu yang paling disukainya adalah berat. Ada dua ujian yang harus dihadapi sekaligus; perasaan berat setelah melepaskan hal yang disukai, dan bekas-bekasnya, yaitu lamanya penyesalan karena kehilangan sesuatu yang kita cintai.

 

Hikmahnya adalah, kita ditantang untuk mengkonfrontasi sisi kecintaan kita terhadap dunia. Kita dipaksa untuk berhadap-hadapan langsung dengan hawa nafsu kita, sehingga perlahan-lahan kecintaan kita terhadap dunia berubah, dari semula yang sukar dikendalikan menjadi sedikit terkendali, dan pada akhirnya dapat dikendalikan. Rasa berat akan berkurang ketika kita berderma. Berbuat baik menjadi lebih ringan dan nyaman untuk dilakukan.

 

Pertanyaannya, pernahkah kita mencobanya?

 

Wallahu a’lam bish-shawwab....

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen