Hikmah

Menyongsong Akhir Tahun dengan Muhasabah ala Imam Al-Ghazali

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB

Menyongsong Akhir Tahun dengan Muhasabah ala Imam Al-Ghazali

Ilustrasi muhasabah. Sumber: Canva/NU Online

Menjelang akhir tahun, banyak di antara kita yang merenungkan kembali perjalanan hidup yang telah dilalui. Dalam tradisi Islam, refleksi atau muhasabah adalah bagian penting dari kehidupan seorang mukmin.

 

Imam Al-Ghazali memberikan panduan berharga tentang pentingnya muhasabah dalam kitab Ma'idzatul Mu'minin karya Jamaluddin al-Qasimi, khususnya dalam pembahasan Bayān Muhāsabatun Nafs Ba'dal 'Amal.

 
Al-Ghazali menggambarkan muhasabah sebagai cara untuk mengevaluasi diri dan mendekatkan hati kepada Allah dengan menyadari kelemahan, mensyukuri nikmat, serta bertekad memperbaiki diri di masa depan.


Analogi Dunia Dagang

Imam Al-Ghazali menggunakan analogi perdagangan untuk menjelaskan pentingnya muhasabah. Dalam dunia dagang, seorang pedagang akan menghitung modal, keuntungan, dan kerugian secara teliti di akhir tahun, bulan, atau bahkan setiap hari. Hal ini dilakukan agar ia mengetahui posisi keuangannya dengan jelas dan dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kekurangan. Al-Ghazali menyebutkan:


إِذَا عَلِمْتَ هَذَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لِلْمَرْءِ فِي آخِرِ النَّهَارِ سَاعَةٌ يُطَالِبُ فِيهَا النَّفْسَ وَيُحَاسِبُهَا عَلَى جَمِيعِ حَرَكَاتِهَا وَسَكَنَاتِهَا كَمَا يَفْعَلُ التُّجَّارُ فِي الدُّنْيَا مَعَ الشُّرَكَاءِ فِي آخِرِ كُلِّ سَنَةٍ أَوْ شَهْرٍ أَوْ يَوْمٍ حِرْصًا مِنْهُمْ عَلَى الدُّنْيَا، وَكَيْفَ لَا يُحَاسِبُ الْعَاقِلُ نَفْسَهُ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ خَطَرُ الشَّقَاوَةِ وَالسَّعَادَةِ أَبَدَ الْآبَادِ؟


Artinya, “Jika kamu sudah memahami hal ini, sebaiknya setiap orang meluangkan waktu di akhir hari untuk mengevaluasi diri, menilai apa yang telah dilakukan dan apa yang tidak dilakukan sepanjang hari. Sama seperti pedagang yang menghitung untung-rugi bersama rekan bisnis mereka di akhir tahun, bulan, atau bahkan setiap hari demi menjaga keuntungan duniawi. Lalu, bagaimana mungkin seseorang yang bijak tidak mengevaluasi dirinya dalam hal-hal yang menentukan kebahagiaan atau kesengsaraan yang abadi?” (Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idzatul Mu’minin, [Beirut: Darul Fikl, 2012], h. 308)


Dari ungkapan ini, Al-Ghazali seolah ingin menegaskan bahwa dalam urusan duniawi (dagang) saja seseorang begitu teliti dalam menghitung untung-rugi, apalagi dalam hal akhirat, dalam hal ini adalah kegiatan ibadah selama di dunia. Jika modal dagang adalah uang, maka modal ibadah adalah usia yang sudah Allah anugerahkan kepada kita.


Imam Al-Ghazali menyarankan agar seseorang menyisihkan waktu di akhir hari untuk merefleksikan dan menghisab dirinya. Ia menekankan pentingnya mengevaluasi semua gerak-gerik, baik yang kecil maupun besar, sebagaimana pedagang yang teliti menghitung setiap transaksi. Jika ibadah-ibadah wajib telah ditunaikan dengan baik dan sempurna, ia harus bersyukur kepada Allah dan bertekad untuk konsisten serta meningkatkan amal tersebut. 


Dalam konteks ibadah, jika kita hanya mampu mengerjakan ibadah wajib, maka yang kita dapat sebatas balik modal itu sendiri. Akan tetapi jika ditambahkan dengan ibadah-ibadah sunnah maka kita tidak saja balik modal, tapi juga untung. Sebagaimana berdagang, dalam konteks ibadah pun ada kerugian, yaitu ketika kita gunakan umur yang sudah Allah berikan untuk bermaksiat sehingga bukan pahala yang diperoleh melainkan dosa.


Jika ada ibadah wajib yang ditunaikan kurang sempurna, maka harus disempurnakan dengan ibadah-ibadah sunnah. Misalnya, saat shalat fardhu kita sering tidak khusyuk sehingga nilai ibadahnya kurang sempurna. Maka kita bisa menyempurnakannya dengan melakukan shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah. Jika ada ibadah wajib yang ditinggalkan, maka ia harus segera meng-qadha-nya. Jika ia melakukan maksiat, maka harus menyesalinya dan segera mungkin bertobat, memohon ampun kepada Allah agar dosanya dimaafkan.


Buah dari Muhasabah

Muhasabah merupakan langkah penting yang tidak hanya sekadar introspeksi, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk memperbaiki diri sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Melalui muhasabah, seseorang dapat lebih menyadari nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan, sehingga menumbuhkan rasa syukur yang mendalam. Proses ini juga memungkinkan individu mengenali kelemahan dan kesalahan yang perlu diperbaiki, membuka peluang untuk meningkatkan kualitas diri.


Dengan bertobat dan memperbanyak amal kebaikan, hubungan dengan Allah menjadi semakin erat, menciptakan kedekatan spiritual yang mendalam. Selain itu, muhasabah memberikan kesempatan untuk merancang rencana amal kebaikan di masa depan, seperti halnya seorang pedagang yang mengevaluasi usahanya untuk mencapai keberhasilan lebih besar. Hasil akhirnya adalah kedamaian hati, di mana individu menerima segala takdir dengan ikhlas dan merasa terbebas dari beban dosa yang selama ini membebani.


Muhasabah Akhir Tahun

Pergantian tahun seharusnya menjadi kesempatan yang berharga untuk menetapkan resolusi bagi tahun yang baru. Tahun yang telah berlalu menunjukkan bahwa Allah telah memberi kita umur untuk menjalani kehidupan, ilmu yang bisa diterapkan, rezeki untuk memenuhi kebutuhan, serta kesehatan tubuh agar dapat menjalani segala aktivitas.


Akhir tahun adalah momen yang tepat untuk muhasabah. Menghidupkan tradisi ini dalam kehidupan sehari-hari akan membawa banyak kebaikan, baik bagi individu maupun masyarakat. Sebagaimana nasihat Umar bin Khattab RA, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”


Sebagai penutup, penulis kutipkan ungkapan Al-Ghazali yang dikutip oleh Al-Qasimi dalam Mau’idzatul Mu’minin:


مَا لِي بِضَاعَةٌ إِلَّا الْعُمُرُ وَمَهْمَا فَنِيَ فَقَدْ فَنِيَ رَأْسُ الْمَالِ وَوَقَعَ الْيَأْسُ عَنِ التِّجَارَةِ وَطَلَبِ الرِّبْحِ وَهَذَا الْيَوْمُ الْجَدِيدُ قَدْ أَمْهَلَنِي اللَّهُ فِيهِ وَأَنْسَأَ فِي أَجْلِي وَأَنْعَمَ عَلَيَّ بِهِ وَلَوْ تَوَفَّانِي لَكُنْتُ أَتَمَنَّى أَنْ يُرْجِعَنِي إِلَى الدُّنْيَا يَوْمًا وَاحِدًا حَتَّى أَعْمَلَ فِيهِ صَالِحًا


Artinya, “Modalku satu-satunya sekarang hanya usia. Jika usia ini sudah habis, lenyap sudah modalku. Sebagaimana seorang pedagang yang tidak memiliki modal, sehingga jangankan mendapat keuntungan, berbisnis pun tidak bisa. Ini adalah hari baru. Allah masih memberiku usia dan menganugerahiku kenikmatan. Andaikan nyawaku dicabut, aku akan memohon agar diberi kesempatan hidup lagi walau sehari demi berbuat kebaikan.” (Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idzatul Mu’minin, h. 304)


Mari kita jadikan akhir tahun ini sebagai momen refleksi mendalam atas segala nikmat dan ujian yang telah kita lalui. Dengan muhasabah, kita tidak hanya menyongsong tahun baru dengan semangat baru, tetapi juga dengan hati yang lebih bersih dan tekad yang lebih kuat untuk menjadi hamba Allah yang lebih baik. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.