Hikmah

Saat Gus Dur Menikmati Syair Qasidah Burdah Al-Bushiri

Rab, 20 Desember 2017 | 08:30 WIB

Saat Gus Dur Menikmati Syair Qasidah Burdah Al-Bushiri

Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) dikenal sangat getol dalam mengkaji sastra Arab. Hal ini ditunjukkan ketika belajar di Mesir, ia banyak melahap sejumlah karya sastra karangan para ulama. Begitu juga ketika ia melakukan pengembaraan ilmu di Baghdad, karya sastra melimpah di negeri 1001 malam ini semakin menggiatkan Gus Dur akan kecintaannya pada karya sastra dalam sejarah peradaban Islam.

Di antara karya sastra monumental yang sering dinikmati Gus Dur adalah Qasidah Burdah karya Al-Bushiri. Rangkaian bait yang disukai Gus Dur dalam Qasidah Burdah di antaranya: “Ya rabbi bil musthafa balligh maqashidana waghfirlana maa madha ya waasi’al karami” (Ya Tuhanku, dengan adanya (Muhammad) Al-Musthafa, sampaikanlah maksud-maksud kami, ampunilah dosa-dosa yang kami lakukan, wahai Tuhanku Yang Maha Luas Pemberiannya).

Qasidah Al-Burdah disusun oleh oleh seorang pujangga tersohor, Imam Syafaruddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Bushiri (610-695H/1213-1296 M). Al-Bushiri adalah keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir. Dia murid seorang Sufi Besar, Imam As-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abdul Abbas Al-Mursi, anggota Tarekat Syadziliyah.

Di bidang ilmu fiqih, Al-Bushiri menganut madzhab Syafi’i yang merupakan madzhab fiqih mayoritas di Mesir. Qasidah Burdah adalah salah satu karya termasyhur dalam khzanah sastra Islam. Isinya sjak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan.

Hingga kini, Qasidah Burdah masih sering dilantunkan di sejumlah pesantren salaf dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahas Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia.

Saat itu, Gus Dur dengan sejumlah rombongan dan santrinya berziarah ke makam Syekh Jumadil Kubro, Mojokerto, Jawa Timur. Sesampainya di makam salah seorang ulama tersohor di Nusantara ini, tetiba Gus Dur mencolek santrinya kepercayaannya untuk membaca bait Qasidah Burdah tersebut.

Lantunan Qasidah Burdah itu membuat ribuan jamaah juga larut di dalam syair sebagai bentuk ungkapan cinta kepada Nabi Muhammad tersebut. Setiap syair tersebut dibaca, bibir Gus Dur ikut bergetar, wajahnya cerah berkaca-kaca dan tangannya ikut menepuk-nepuk paha pertanda Gus Dur larut dalam syair Al-Bushiri itu.

Gus Dur menjelaskan bahwa Qasidah Burdah ini merupakan al-mada’ih an-nabawiyah yang dikembangkan para sufi sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan cinta yang mendalam. Qasidah ini terdiri dari 160 bait (sajak), ditulis dengan gaya bahasa (uslub) yang menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, pujian terhadap Al-Qur’an, Isra’ Mi’raj, jihad, dan tawasul.

Dari tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad yang sering diiringi Qasidah Burdah Al-bushiri ini, Gus Dur mengambil simpul bahwa peringatan Maulid tidak hanya bersifat seremoni dan peringatan, tetapi juga aksi nyata sebagai upaya meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad. Menurut Gus Dur, jika tidak ada penerapan keteladan nyata, Maulid Nabi hanya akan menjadi ritual tahunan.

Nilai kenabian yang membawa kabar gembira untuk melakukan perubahan di tingkat kehidupan nyata di berbagai level kehidupan masyarakat, terutama masyarakat akar rumput harus diterapkan dan dijalankan dalam kehidupan. 

Karena menurut Gus Dur, yang lebih penting dan utama dari peringatan adalah membangkitkan kembali semangat kenabian dalam melakukan upaya perubahan sosial, agar seluruh umat Islam mampu melakukan perubahan yang diawali dari dirinya sendiri. (Fathoni)