Hikmah

Sepenggal Kisah Kedermawanan: Mbah Dullah Kajen dan Jasnya

Sel, 2 Juli 2019 | 12:00 WIB

Sepenggal Kisah Kedermawanan: Mbah Dullah Kajen dan Jasnya

KH Abdullah Zein Salam (Mbah Dullah) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

KH Abdullah Zain Salam dari Kajen, Pati, Jawa Tengah, (Mbah Dullah) dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan. Salah satu kisah masyhur tentang kedermawanan Mbah Dullah adalah beliau selalu memberi makanan orang-orang setelah mereka selesai mengaji kepadanya. Menariknya, mereka yang ikut ngaji dengan Mbah Dullah bisa ratusan –bahkan ribuan- orang dalam satu waktu. Dan mereka dikasih makan semua. 

Saking murah hatinya, Mbah Dullah juga tidak segan-segan memberikan barang pribadinya manakala ada seseorang yang menyatakan suka atau tertarik dengan barang yang dimiliki Mbah Dullah tersebut. Barang-barang tersebut langsung dikasihkan, tanpa ada rasa berat hari sedikitpun di hati Mbah Dullah. 

Salah satu barang Mbah Dullah yang diberikan kepada orang setelah mereka menyatakan tertarik dengan barang tersebut adalah jas. Mengutip buku Keteladanan KH Abdullah Zain Salam (Jamal Ma’mur Asmani, 2018), suatu ketika Mbah Dullah mengenakan sebuah setelan jas, KH Muslich Abdurrahman kemudian memuji kalau jas yang dipakai Mbah Dullah tersebut bagus. Beberapa saat setelah itu, Mbah Dullah memberikan jasnya itu untuk Kiai Muslich.

Hal yang sama juga terjadi pada Kiai Tamyiz. Suatu ketika Mbah Dullah memiliki sebuah jas bagus, Kiai Tamyiz yang mengetahui hal itu menjadi tertarik dengan jas yang dimiliki Mbah Dullah tersebut. Tidak lama berselang, Mbah Dullah kembali memberikan jasnya itu untuk Kiai Tamyiz.

Pengasuh Pesantren Al Hikmah Kajen yang merupakan cucu Mbah Dullah, Mujibur Rachman Ma’mun, juga menyampaikan kisah terkait kakeknya dengan jasnya. Menurut penuturan Gus Mujib, suatu ketika Mbah Dullah mengutus seorang santrinya membeli kain wol untuk dibuat jas. 

Mbah Dullah memberikan santri tersebut contoh kain yang dimaksud agar tidak salah beli. Santri tersebut akhirnya menemukan jenis kain yang dipesan Mbah Dullah tersebut di sebuah mal di Semarang, setelah sebelumnya mencari di toko-toko kain di Kudus namun tidak menemukannya. Harganya, 3 jutaan per meter. Dia kemudian membawa kain tersebut ke salah seorang penjahit terkenal di Semarang untuk dibikin jas, sesuai dengan arahan Mbah Dullah. 

Karena kenal dengan Mbah Dullah, penjahit tersebut menawarkan diri akan mengantarkan jas tersebut ke Kajen manakala sudah jadi, sekaligus sowan ke Mbah Dullah. Singkat cerita, penjahit yang diketahui berasal dari Demak tersebut datang ke Kajen untuk mengantarkan jas Mbah Dullah yang sudah jadi. Untuk tabarrukan, penjahit tersebut tidak memungut biaya. 

Mbah Dullah kemudian menjajal jas tersebut. Bagus dan enak dipakai. Penjahit tersebut kemudian undur diri. Beberapa saat kemudian, tamu lain yang tadi ikut sowan ke Ndalem Mbah Dullah –dengan basa-basi- mengatakan kalau jas yang dikenakan Mbah Dullah bagus sekali. Mbah Dullah yang mendengar hal itu langsung bertanya apakah dia suka dengan jas tersebut. Iya, bagus sekali, kata tamu tersebut.

Jas itu dimasukkan lagi ke dalam pembungkusnya. Mbah Dullah kemudian menyerahkan jas tersebut kepada tamu tersebut. “Nek Jenengan remen, monggo Jenengan betho mawon, kangge Jenengan. (Kalau kamu suka, silahkan kamu bawa saja, buat kamu (jasnya),” kata Mbah Dullah kepada tamunya itu. Sang tamu awalnya tersipu malu, namun setelah setengah dipaksa akhirnya dia membawa jas Mbah Dullah tersebut. 

Begitulah Mbah Dullah yang begitu dermawan. Sampai-sampai barang yang baru sampai di tangannya langsung diberikan kepada orang lain yang tertarik dengan barang tersebut. Mbah Dullah meneladani Nabi Muhammad dalam hal kedermawanan. Beliau menempatkan ‘apa yang dimilikinya’ di tangannya, bukan di hati. Sehingga beliau enteng saja memberikan, menghibahkan, atau mensedekahkan barang-barangnya untuk orang lain. (Muchlishon)