Hikmah

Unaizah al-Baghdadi, Pelayan Wali yang Menjadi Wali

Rab, 12 Februari 2020 | 13:45 WIB

Unaizah al-Baghdadi, Pelayan Wali yang Menjadi Wali

Bagi pecinta, pengabdian bukanlah paksaan, tapi kenikmatan yang tak akan selesai dengan selesainya pengabdian.

Unaizah al-Baghdadi merupakan sufi perempuan yang dipandang memiliki kecerdasan dan keindahan jiwa di atas rata-rata. Level spiritualnya pun diakui ketinggiannya. Ia merupakan pelayan sekaligus murid seorang wali besar, Imam Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin al-Husein al-Jariri (w. 311 H). Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan:

 

خدمت أبا محمد الجرير. كانت من ظرفاء الصوفيات، ظريفة النفس، كبيرة الحال

 

Terjemah bebas: “Unaizah al-Baghdadi mengabdi kepada Abu Muhammad al-Jariri. Ia merupakan bagian dari para sufi yang cerdas. (Ia memiliki) jiwa yang indah (serta) keadaan spiritual yang tinggi” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 423).

 

Imam Abu Muhammad al-Jariri merupakan murid (ashâb) Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) dan Sahl bin Abdullah al-Tustari (w. 283 H). Ia merupakan gurunya para ulama yang menggantikan Imam Junaid al-Baghdadi di majlisnya. Imam Abdurrahman al-Sulami menyebutkan:

 

وكان من كبار أصحاب الجنيد. وصحب أيضا سهل بن عبد الله التستري. وهو من علماء مشايخ القوم. أُقعِدَ بعد الجنيد في مجلسه لتمام حاله وصحة علمه

 

Terjemah bebas: “Abu Muhammad al-Jariri merupakan bagian dari sahabat (murid) Junaid yang utama. Ia juga murid Sahl bin Abdullah al-Tustari. Ia adalah salah satu guru dari para guru-guru manusia, yang duduk setelah Junaid (al-Baghdadi) di majlisnya karena kesempurnaan keadaan spiritual dan kebenaran pengetahuannya” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 203).

 

 

Dengan pengabdiannya, Unaizah al-Baghdadi mendapatkan banyak hal. Ia mempelajari keteladanan Imam Abu Muhammad al-Jariri sekaligus mendengarkan pelajarannya secara langsung. Pengalaman ini ia bawa lebih dalam untuk menghayati kehambaannya kepada Allah, dan mengenali kenikmatan di dalamnya. Ia mengatakan:

 

من أحبه لم يتعب في خدمته بل يتلذذ بها

 

“Barangsiapa yang mencintai-Nya, ia tak akan lelah dalam mengabdi-Nya. Sebaliknya, ia akan merasakan kenikmatan dengan pengabdian itu” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 423).

 

Bagi pecinta, pengabdian bukanlah paksaan, tapi kenikmatan yang tak akan selesai dengan selesainya pengabdian. Ia akan selalu berharap untuk terus mengabdi. Apalagi yang diabdi adalah Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Pengabdian dan penghambaan, bagi pecinta seperi Unaizah al-Baghdadi, tidak meninggalkan jejak lelah sama sekali, tapi kenikmatan tiada tara dan tiada tanding.

 

Sebagai seorang sufi dan ulama perempuan, ia sering menyampaikan pelajarannya. Di satu waktu, ia menjelaskan tentang “al-‘arif” (orang yang telah sampai pada ma’rifat). Ia mengatakan:

 

العارف لا يكون واصفا ولا مخبرا

 

Terjemah bebas: “Orang ‘arif bukan orang yang mendeskripsikan (Tuhan) dan bukan pula orang yang menceritakan” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 423).

 

Untuk orang ‘arif, Tuhan itu lebih dari segala deskripsi dan penjelasan. Bahasa terlalu lemah untuk menggambarkan kekuasaannya. Andaikan ditulis yang maha-maha-maha hingga berjuta-juta triliun kali, deskripsi itu masih jauh dari kata mendekati, apalagi menggambarkan-Nya.

 

Di samping itu, perkataan Unaizah al-Baghdadi di atas, tidak bisa dipahami secara terpisah dengan perkataannya yang lain. Ia juga mengatakan:

 

العلم يورث الخشية والمعرفة تورث الهيبة

 

Terjemah bebas: “Pengetahuan menyebabkan takut, sedangkan ma’rifah menyebabkan pengagungan (atau pemuliaan)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 423).

 

 

Pengetahuan teologis, menurut Unaizah al-Baghdadi, akan mendatangkan rasa takut kepada Tuhan, yang mana harus dimiliki setiap manusia. Tapi, mengenali Tuhan secara hakiki (ma’rifah) akan mendatangkan penghormatan, pengagungan, atau khusyu’ (rasa takut karena menghormati). Ada perbedaan besar dalam dua rasa tersebut, takut karena siksa-Nya (al-‘ilm) dan mengagungkan karena kemuliaan-Nya (al-ma’rifah). Tentu, untuk mencapai ma’rifat, seseorang harus melalui fase “pengetahuan yang menyebabkan takut.” Tanpa itu, sepertinya tidak mungkin untuk mencapai ma’rifat.

 

Karena itu, dua perkataan Unaizah al-Baghdadi harus dipahami dalam dua kerangka; teoritis dan praktis. Pengetahuan tentang Tuhan secara teoritis berbicara dalam wilayah konsep, dari mulai keesaan, hukuman, sampai sifat-sifat-Nya. Sedangkan wilayah praktis, yaitu menghidupkan konsep teoritis tentang Tuhan dalam kehidupan manusia. Dengan berkontemplasi secara ketat dan istiqamah menjalankannya, perlahan-lahan manusia semakin mengenali kemaha-baikan Tuhannya, hingga ia benar-benar merasakan tiada satu pun di dunia ini yang tidak berasal dari kasih sayang-Nya. Perasaan ini kemudian meliputi seluruh relung jiwanya dan menjadi cinta. Maka, pendekatan seorang ‘arif kepada Tuhannya adalah cinta.

 

Contoh sederhananya adalah hubungan anak dan orang tua. Ketika dalam masa pertumbuhan, anak biasanya takut kepada orang tuanya. Tapi, seiring berjalannya waktu, dan bertambahnya kedewasaan, anak mulai mengerti ketegasan dan kemarahan orang tuanya dulu. Landasan ketaatannya pun berubah, yang semula karena takut atau mengharapkan imbalan, menjadi berubah karena pengagungan, penghormatan dan pemuliaan (cinta). Ia menuruti orang tuanya bukan lagi karena takut, tapi benar-benar karena perasaannya sendiri.

 

Unaizah al-Baghdadi membuktikan bahwa keadaan, kedudukan, jenis kelamin, dan profesi tidak menjadi penghalang untuk memperoleh sesuatu. Ia juga sedang mengingatkan dan menyadarkan kita, bahwa menjadi hamba Allah, dan mengabdi kepada-Nya adalah kenikmatan tiada tara.

 

Pertanyaannya, pernahkah kita merasa bahwa menjadi hamba adalah sebuah kenikmatan?

 

Wallahu a’lam bish shawwab...

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen