Ilmu Al-Qur'an

Perbedaan Tafsir dan Takwil

Rab, 22 September 2021 | 11:00 WIB

Perbedaan Tafsir dan Takwil

Perbedaan tafsir dan takwil. (Ilustrasi)

Dalam memahami ilmu Al-Qur’an, kita akan menemui banyak ungkapan asing di telinga kita. Di antara yang paling masyhur digunakan adalah ungkapan tafsir dan takwil. Sekilas ungkapan tafsir dan takwil memiliki makna yang serupa. Namun, ketika kita tinjau lebih dalam dari sudut pandang ilmu tafsir maka kita akan menjumpai perbedaan yang sangat jelas di antara keduanya.

 

Makna Tafsir secara Bahasa dan Istilah

Mari kita tinjau makna tafsir dan takwil dari segi bahasa. Menurut Muhammad asy-Syairazi dalam al-Qamus al-Muhith, tafsir secara bahasa bermakna menyingkap sesuatu secara mendalam. Dalam kosakata Arab, lafadz “Tafsirah” bermakna meneliti penyakit hewan ternak ataupun manusia dari tinja yang dikeluarkan. Sedangkan menurut Abu Hayyan dalam tafsir al-Muhith, makna tafsir adalah ilmu yang membahas tata cara pengucapan lafadz Al-Qur’an, makna dan kandungan yang ditunjukkan dari setiap lafadz ataupun setiap susunan kata (at-tarkib) dalam Al-Qur’an.
 

Sebagian ulama berpendapat “Tafsir adalah ilmu yang tak dapat dibatasi cakupannya. Hal ini dikarenakan tafsir tidak memiliki kaedah baku ataupun cabangan dari kaedahnya sebagaimana disiplin ilmu yang lain. Dan cukup kita simpulkan bahwa tafsir adalah ilmu untuk menjelaskan kalam Allah atau ilmu untuk memahami lafadz Al-Qur’an”. (Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, [Kairo: Maktabah Wahbah], 2007, vol.1 hal. 12).
 

Imam az-Zarkasyi berpendapat, “Tafsir adalah ilmu untuk memahami Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan alat untuk membedah makna Al-Qur’an serta alat untuk mendalami kandungan hukum dan hikmah dalam Al-Qur’an”. Abu Ubaidah dan para ulama lainnya dari periode awal hijriah berpendapat, “Tafsir dan takwil memiliki definisi yang sama”.

 

 

Makna Takwil secara Bahasa dan Istilah

Sedangkan takwil secara bahasa bermakna kembali atau meninjau kembali sebuah permasalahan. Ada kalanya takwil juga bermakna tempat kembali sebagaimana dalam sebuah ayat Al-Qur’an “..Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik tempat kembalinya” (QS An-Nisa: 59). Dalam praktiknya takwil adalah upaya mengarahkan suatu lafadz yang abstrak kepada satu makna yang paling sesuai menurut hasil ijtihad yang dilakukan oleh seorang ahli tafsir. ( Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, [Kairo: Darul Kutub al-Ilmiyyah], 2011, vol. 2 hal. 173).
 

Menurut ulama salaf (periode awal hijriah) takwil memiliki makna yang sama dengan tafsir yaitu sebagai disiplin ilmu untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hal ini diperkuat dengan dasar komentar Ibnu Jarir at-Thabari, Mujahid dan para ulama periode awal dalam karya tafsir mereka yang menyebut ulama tafsir sebagai ahlu takwil.
 

Sedangkan menurut ulama mutaakhirin (ulama kurun abad pertengahan) takwil adalah memakai makna yang samar dan jarang dipakai untuk lafadz yang masyhur dengan landasan dalil yang kuat. Syekh Tajudin as-Subuki berkomentar “Takwil adalah berpindah dari makna yang masyhur menuju makna yang jarang dipakai (al-Muhtamil al-Marjuh), apabila takwil dilandasi alasan yang kuat maka disebut takwil yang benar (shahih), sedangkan apabila takwil dilandasi prasangka sebab kasuistik yang terjadi maka disebut takwil yang rusak (fasid)” (Syekh Tajudin as-Subuki, Jam’ul Jawami’ , 2007, [Beirut: Darul Kutub al-Islamiyyah], vol.2 hal. 57).
 

Dalam hal ini, para ulama banyak berkomentar mengenai perbedaan takwil dan tafsir. Rupanya hal ini juga dipicu oleh komentar Ibnu Habib an-Naisabur “Di zaman kita ini tersebar di mana-mana para ahli tafsir yang kurang berkompeten, terbukti mereka tidak mampu membedakan antara takwil dan tafsir”.
 

Abu Manshur Al-Maturidi berkomentar, “Tafsir adalah memastikan makna sebuah lafadz yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Apabila disertai dalil yang kuat (dalil qath’i) maka disebut tafsir yang benar (shahih). Dan apabila tidak disertai dalil yang kuat maka disebut tafsir nalar (tafsir bi ar-ra’yi) yang terlarang. Sedangkan takwil adalah mengunggulkan salah satu makna yang dikandung dalam lafadz Al-Qur’an tanpa memakai dalil yang kuat (dalil qath’i)”. Pendapat Abu Manshur al-Maturidi ini juga didukung oleh banyak ulama yang sezaman dengannya.
 

Dari sudut pandang yang lain, Syekh Muhammad al-Bajali berpendapat “Tafsir bersumber dari periwayatan (riwayah) yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan takwil bersumber dari analogi keilmuan (dirayah) yang bersumber dari analisa seorang ahli tafsir. Tafsir dan takwil dihasilkan dari meneliti bacaan Al-Qur’an serta runtutan ayat di dalamnya”. (Syekh Muhammad az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, 2005, Beirut: Darul Fikr, vol. 2, hal. 150).

 

 

Perdebatan para ulama mengenai perbedaan tafsir dan takwil juga menjadi kajian Syekh Mahmud al-Alusi dalam pembukaan tafsir Ruh al-Ma’ani. Syekh Mahmud al-Alusi berkomentar “Perdebatan mengenai perbedaan tafsir dan takwil yang disampaikan ulama tidaklah relevan di zaman sekarang. Telah diketahui bahwa takwil bersumber bersumber dari petunjuk dari Allah (isyarah qudsiyyah) bagi para sufi untuk mengungkap makna tersembunyi dari ayat Al-Qur’an. Sedangkan tafsir adalah suatu hal yang berbeda dengan takwil”.

 

Walhasil, dari penjabaran ini kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa tafsir adalah memahami makna Al-Qur’an yang telah dijelaskan oleh Rasulullah kepada para sahabat dan diriwayatkan hingga sampai kepada kita. Sedangkan takwil adalah usaha untuk menyingkap makna yang tersembunyi dari ayat Al-Qur’an dan hanya dapat dilakukan oleh ulama yang mendapatkan petunjuk dari Allah.
 

Oleh karena itu, tafsir memiliki cakupan yang terbatas karena tafsir harus bersumber dari penafsiran Rasulullah dan para sahabat ahli tafsir. Sedangkan, takwil memiliki cakupan yang sangat luas bahkan setiap generasi ulama ahli tafsir dari setiap zaman memiliki penakwilan yang beragam dari setiap ayat Al-Qur’an. Sebagaimana Abu Nashr al-Qusyairi juga berpendapat “Tafsir yang benar bersumber dari mengikuti dan meriwayatkan penafsiran yang berasal dari Rasulullah. Sedangkan takwil bersumber dari usaha menggali (al-istinbath) atas makna yang samar yang dilakukan oleh para ulama ahli tafsir” Abdul Fattah al-‘Awwari, Dirasat fi Manahij al-Mufassirin, [Kairo: Maktabah al-Aiman], 2017, hal. 25).
 

Luasnya cakupan takwil juga berdasarkan dalil doa Rasulullah untuk sahabat Nabi, Ibnu Abbas:

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى كَتِفِى ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ


Diriwayatkan dari shahabat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah menaruh tangannya di atas bahunya seraya berdoaوYa Allah, berilah ia kepahaman agama serta ajarkan kepadanya takwil” (HR.Ahmad)

Dalam doa ini, Rasulullah mendoakan Ibnu Abbas agar diberikan petunjuk oleh Allah sehingga mampu memahami makna yang tersembunyi dari Al-Qur’an dengan metode takwil. Seandainya menyingkap makna yang tersembunyi dari Al-Qur’an dengan metode takwil dilarang niscaya Rasulullah tidak akan mendoakan sahabat Nabi, Ibnu Abbas, agar mampu memahami takwil Al-Qur’an.


 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo