Ilmu Tauhid

Benarkah Pelaku Takwil dan Tafwidl adalah Musyabbih?

Kam, 8 Agustus 2019 | 08:00 WIB

Salah satu propaganda untuk menolak takwil atau tafwîdl yang notabene pilihan ulama Aswaja adalah dengan mengatakan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). (Takwil merupakan cara memaknai kata dengan makna di luar bunyi tersuratnya, sementara tafwidl merupakan cara memaknai kata dengan memasrahkan makna hakikatnya pada Allah, red).

Alasannya sebab awalnya dia membayangkan sifat Allah sama dengan manusia kemudian dia tolak bayangan itu dengan cara takwil atau tafwîdl. Andai sedari awal dia tak membayangkan adanya kesamaan sama sekali antara keduanya, maka dia tak perlu lari pada takwil atau tafwîdl.

Dari situ kemudian disimpulkan bahwa Asy'ariyah adalah musyabbih sebab Asy'ariyah memilih jalan tafwîdl atau takwil. Banyak tokoh pemikir yang berargumentasi seperti ini hingga mereka mengarang kaidah semacam ini:
 
كل مشبه معطل، وكل معطل مشبه

“Setiap musyabbih adalah mu’atthil (orang yang menolak keberadaan sifat) dan setiap mu’atthil adalah musyabbih”.

Seorang pendaku Salafi mengatakan alasan kaidah seperti itu adalah:
 
لأنَّ من يعطل صفة الله إنما عطلها فراراً من التشبيه الذي قام في نفسه

“Sebab sesungguhnya orang yang menolak sifat Allah sebenarnya tak lain melakukannya karena lari dari tasybih yang ada dalam dirinya” (Abdurrazaq bin Abdil Muhsin al-Badr, Tadzkirah al-Mu’tasi Syarh Aqîdah al-Hâfidz Abd al-Ghany al-Maqdisi, hal. 133).
Sepintas penalaran di atas berikut kaidah yang mereka buat terlihat benar tetapi sejatinya jauh dari kebenaran sebab tak sesuai dengan proses penalaran yang benar. Kesalahan pernyataan seperti di atas dapat diketahui bila proses terjadinya sebuah penalaran diurai secara mendetail sebagai di bawah ini. Bahasan ini sebetulnya adalah bahasan dasar dalam ilmu manthiq. Penulis berusaha menyajikan bahasan ini dengan bahasa semudah mungkin. Berikut ini uraiannya:
 
1. Setiap orang berakal tatkala mendengar suatu kata, maka akan terbayang di benaknya arti kata itu. Kalau mendengar kata "kursi", maka akan terbayang benda yang biasa dijadikan tempat duduk itu. Bayangan di benak ini disebut para ulama sebagai tashawwur.
 
Keberadaan tashawwur ini adalah proses otomatis yang pasti terjadi (dlarûry) pada diri semua orang berakal. Bila tak muncul tashawwur sama sekali ketika mendengar satu kata yang sudah dikenal, itu artinya akalnya rusak sehingga tak mungkin memahami apa pun. Ini berarti dia lepas dari taklif (tanggung jawab agama) sebab gila.
 
Adapun bila suatu kata yang didengar tak dikenal, maka memang tak bisa timbul tashawwur sama sekali semisal mendengar kata "Zaqwikut" yang memang tak ada artinya. Ketiadaan tashawwur dalam hal ini disebut ketidaktahuan.
 
2. Karena tashawwur adalah proses otomatis dalam kegiatan menalar, maka proses ini tak bisa dihindari dan bukan merupakan suatu tindakan yang disengaja sehingga ia berada di luar wilayah taklifi.
 
Yang berada dalam wilayah taklifi di mana seorang berakal terikat dengan hukum halal atau haram adalah tindakan selanjutnya yang dilakukan secara sengaja. Membayangkan bentuk, cara, dan sifat-sifat suatu objek yang didengar adalah kegiatan yang disengaja yang terjadi setelah proses tashawwur yang otomatis itu.

Misalnya tatkala mendengar kata "kursi", ia tashawur tentang makna kursi sebagai tempat duduk. Sampai poin ini hanya ada makna tapi kosong dari detail. Lalu ketika ia membayangkan kira-kira bentuk kursinya kotak, bahannya kayu jati, ukurannya tingginya 50 cm, warnanya coklat, dan seterusnya, maka bayangan inilah yang disengaja di mana ia memilih salah satu ciri dari berbagai kemungkinan yang ada.
 
Dengan demikian, kegiatan membayangkan secara sadar dan disengaja itu selalu muncul setelah tashawwur. Bila tak ada tashawwur, maka tak mungkin bisa membayangkan.
 
3. Ketika ada dua kata yang dikenal dan bisa ditashawwurkan bila sendiri-sendiri, tetapi tak bisa ditashawwurkan bila digabung atau dinisbatkan, maka tashawwur makna yang asal menjadi buyar dan gabungan itu menjadi susunan kata yang tak bisa dipahami.
 
Misalnya kita kenal kata "leher" dan bisa men-tashawwur-kannya sebagai anggota tubuh yang menghubungkan kepala dan badan. Kita juga kenal kata "bola" sebagai benda yang bulat itu. Namun ketika kita mendengar kata "lehernya bola", maka kita tak mampu men-tashawwur-kannya sebab bola yang dapat kita pahami itu tak punya leher. Ketika tak bisa men-tashawwur-kannya, maka otomatis mustahil kita membayangkannya.
 
4. Dalam konteks sifat khabariyah Allah yang tergolong mutasyabihat, maka proses yang sama juga terjadi. Ketika kita mendengar kata "tangan", maka kita bisa memahaminya dan timbul tashawwur sebagai organ tubuh dari bahu hingga ujung jari. Ini adalah proses otomatis yang mau tak mau akan terjadi pada siapa pun yang berakal.
 
Namun ketika kata "tangan" itu digabung dengan kata "Allah" sehingga menjadi "tangan Allah", maka sampai di sinilah orang-orang berbeda. Sebagian pihak merasa masih bisa men-tashawwur-kannya sebagai tangannya Allah dalam arti sebagai organ tubuh Allah.
Mereka inilah yang disebut mujassimah dan musyabbihah. Disebut mujassimah karena menganggap Allah adalah jism (sosok yang bervolume), dan disebut musyabbih sebab men-tashawwur-kan sifat Allah sesuai standar yang berlaku pada manusia. Semua mujassimah dan musyabbihah sepakat bahwa jism Allah tak sama dengan jism makhluk, namun demikian tetaplah mereka disebut sebagai mujassimah atau musyabbihah.
 
Mereka ini berbeda-beda levelnya; ada yang berhenti di tashawwur saja tanpa lanjut pada level membayangkannya, dan ada juga yang hingga taraf membayangkan sehingga mengatakan Dzat Allah memenuhi Arasy kecuali empat jengkal saja, memenuhi seluruh Arasy tanpa menyisakan sejengkal pun, menyentuh Adam dengan tangan-Nya, mempunyai berat badan, bergerak ke sana ke mari, mempunyai lidah, darah, daging, rambut, dan seterusnya yang tak didukung satu hadis sahih pun sebab hanya berdasar bayangan yang mereka buat sendiri di benaknya.

Sebagian pihak lain mengaku sama sekali tak bisa men-tashawwur-kan apa maksud "tangan Allah", sama seperti ketika mereka mendengar kata "leher bola" di atas. Bagi mereka tak masuk akal kata tangan dalam arti organ itu disandingkan dengan kata Allah yang mustahil berupa jism. Dari sinilah kemudian tak ada tashawwur sama sekali sehingga tak mungkin timbul kegiatan yang bernama "membayangkan" apalagi "menyerupakan". Di sinilah posisi Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah).

Karena tidak ada tashawwur di benak Aswaja, maka berarti mereka mengaku tak mengerti sama sekali tentang Dzat Allah. Inilah makna perkataan mereka bahwa puncak pengetahuan tentang Allah adalah ketidaktahuan.
 
5. Untuk menyikapi jalan buntu ketiadaan tashawwur di atas, Ahlussunnah wal Jama'ah kemudian terbagi menjadi dua; Sebagian memilih jalan tafwîdl dengan cara tetap membiarkan ketiadaan tashawwur makna itu dan membiarkan pengetahuan tentangnya cukup diketahui Allah saja. Sebagian lainnya memilih mencari makna yang lebih sesuai yang dapat dipahami dari teks sifat yang didengar itu. Langkah terakhir inilah yang disebut takwil.
 
6. Baik tafwîdl atau takwil, keduanya sama sekali tak muncul akibat proses membayangkan, apalagi menyerupakan. Keduanya muncul akibat ketidak tahuan murni akan Dzat Allah sebab ketidakmungkinan adanya tashawwur itu tadi.
 
Dengan demikian, tuduhan bahwa pelaku takwil dan tafwîdl sejatinya adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah tuduhan tak berdasar sama sekali. Bagaimana bisa menyerupakan sesuatu bila membayangkannya, bahkan memahaminya saja tidak? Adalah tak mungkin secara logika sesuatu yang tak dapat ditashawwurkan kemudian disamakan dengan sesuatu lainnya. Tuduhan semacam ini hanyalah logical fallacy yang parah. Wallahu a'lam.

 
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.