Ilmu Al-Qur'an

Qira’at Sab’ah: Kenapa Harus 7 Imam Qira’at?

Sab, 30 Oktober 2021 | 14:30 WIB

Qira’at Sab’ah: Kenapa Harus 7 Imam Qira’at?

Qira’at Sab’ah: Kenapa Harus 7 Imam Qira’at?

Al-Qur’an adalah kalam Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan “tujuh huruf” sebagai rahmat dan kemudahan bagi umatnya. Turunnya perintah membaca dengan tujuh huruf ini tidak datang secara tiba-tiba, namun dilakukan dengan usaha dan negosiasi.

 

Pada mulanya, Al-Qur’an diturunkan dengan satu huruf, kemudian Nabi Muhammad memohon kepada Allah melalui Jibril agar diberi keringanan dapat membaca Al-Qur’an menggunakan lebih dari satu huruf. Nabi mengajukan alasan bahwa umatnya sangat beragam; mereka terdiri dari kaum ummi (tidak bisa membaca dan menulis), berasal dari berbagai kabilah yang masing-masing memiliki karakter pengucapan dan dialek yang khas, dan terdapat kalangan orang tua dan anak-anak yang tidak bisa mengucapkan lafadz dengan baik. Jika mereka dipaksa untuk membaca dengan dialek tertentu, maka akan menimbulkan kesukaran dan kesulitan, sehingga bisa jadi malah akan mengabaikan Al-Qur’an sebagai menu spiritual mereka. Sebab seseorang yang sudah terbiasa menggunakan dialek tertentu, maka akan kesulitan jika harus menggunakan dialek yang lain.

 

Permohonan keringanan bacaan ini juga diperkuat dengan kesadaran Nabi bahwa suatu saat, bangsa selain Arab akan masuk Islam. Mereka akan bersinggungan secara langsung dengan Al-Qur’an, baik dalam pembacaan maupun isi kandungannya. Sebab Al-Qur’an merupakan menu rohani dan spiritual bagi umat Islam.

 

Permohonan ini kemudian dikabulkan oleh Allah sebagai rahmat terhadap umat Nabi Muhammad saw. Hal ini dipertegas oleh ucapan Jibril kepada Nabi Muhammad atas perintah Tuhannya.

 

يَا مُحَمَّدُ إِنَّ القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

 

Artinya: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf”.

 

Perkembangan selanjutnya, setelah Nabi wafat, para sahabat terpencar ke berbagai pelosok negeri untuk mengajarkan Al-Qur’an dan Islam kepada warga setempat, seperti Abdullah bin Mas’ud yang bermukim di Kufa, Abu Musa al-Asy’ari bermukim di Bashrah, dan Abu Darda’ bermukim di Syam.

 

Masa Kodifikasi Qira’at

Pada masa perkembangan berikutnya, lahirlah sebuah komunitas ahli Al-Qur’an dari kalangan tabi’in seperti Said bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lainya di Madinah. Atha’, Ubaid bin Umair dan Thawus, Di Makkah. Aswad bin Yazid, al-Qamah, Masruq dan lain-lain di Kufah. Amir bin Abd Qais, Yahya bin Ya’mur, Nashr bin Ashim dan lain-lain Di Bashrah. Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi, Khulaid bin saad dan lain-lain Di Syam. (Al Zurqani, Manahil al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an/415).

 

Pada abad kedua dan ketiga hijriyah, ulama yang kompeten dalam bidang Al-Qur’an sangatlah banyak dan tak terhitung jumlahnya. Ragam bacaan pun tak terhitung. Banyak perbedaan bacaan muncul di tengah-tengah masyarakat hingga tidak bisa dibedakan antara bacaan yang shahih dan yang tidak shahih.

 

Oleh karena itu, para ulama berupaya melakukan penelitian dan menghimpun qira’at yang sesuai dengan penulisan mushaf, mudah dihafalkan, dan tepat bacaannya. Dari hasil penelitian tersebut, para ulama sepakat menetapkan kriteria dalam memilih ulama sebagai berikut; (1) masyhur ke-dlabith-annya, (2) amanah, (3) agamis, (4) sempurna ilmunya, (5) panjang umurnya (lama berkecimpung dalam dunia pengajaran ilmu qira’at), (6) masyhur ketokohannya, (7) adil dan tsiqah (terpercaya) dalam periwayatannya, (8) bacaan/qira’atnya sesuai dengan mushaf yang dikirim oleh Sayyidinah Utsman ke seluruh penjuru negara Islam. (Makki, al-Ibanah an Ma’ani al-Qira’at/86).

 

Kemudian dari sinilah terpilih para imam yang memenuhi syarat di atas sebagai berikut;

 

Pertama, Imam Nafi’ bin Abdurrahman (w. 169 H). Kedua, Imam Abdullah bin Katsir (w. 120 H). Ketiga, Imam Abu Amr, Zabban bin Al-Ala’ Al-Bashriy (w. 154 H). Keempat, Imam Abdullah Ibnu AmirAl-Syamiy (w. 118 H). Kelima, Imam Ashim bin Abi Al-Najud Al-Kufiy (w. 128 H). Keenam, Imam Hamzah bin Al-Zayyat (w. 156 H). Ketujuh, Imam Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 189 H).

 

 

Ibnu Mujahid (w. 324 H) adalah orang yang pertama kali menghimpun tujuh bacaan imam qira’at. Penelitian yang dilakukannya ini tertuang dalam karyanya “Kitab al-Sab’ah fi al-Qira’at”.

 

Imam al-Sakhawi (w. 643 H) mengatakan bahwa Abu Bakar, Ahmad bin Musa bin Mujahid adalah orang yang pertama kali memilih tujuh imam qira’at dan menyusun sebuah kitab tentang bacaan mereka. Adapun generasi setelahnya, mengikuti apa yang dilakukan oleh Ibnu Mujahid dan tidak ada seorang pun yang mendahuluinya dalam menulis karya bacaan tujuh imam qira’at tersebut. (Al Sakhawi, Jamal al-Qurra’ wa Kamal al-Iqra’/ 511).

 

DR. Abdul Qayyum as-Sanadi mengatakan bahwa Ibnu Mujahid tidak memilih tujuh imam, dan tidak menghimpunya kecuali dengan ijtihad yang panjang dan penelitian yang mendalam tanpa menyia-nyiakan waktu. (al-Sanadi, Shafahat fi Ulum Al-Qur’an/53).

 

Alasan di Balik Pemilihan Tujuh Imam

Pertanyaan yang mendasar adalah, “kenapa harus tujuh imam qira’at padahal pada saat itu dijumpai para imam qira’at yang kompeten dan jumlahnya sangat banyak? Apakah pemilihan tujuh imam qira’at tersebut karena faktor politik alias karena kedekatan Imam Ibnu Mujahid dengan penguasa pada saat itu?”

 

Imam Makki bin Abi Thalib (w. 437 H) dalam kitab “Al-Ibanah ‘an Ma’ni al-Qira’at” menyatakan bahwa terdapat dua alasan menjawab pertanyaan di atas.

 

 

Pertama, Pemilihan jumlah ini terinspirasi dari jumlah mushaf yang dikirimkan ke tujuh negara Islam. Seperti diketahui bahwa penulisan mushaf pada masa Utsman berjumlah tujuh naskah yang kemudian dikirim ke tujuh negara Islam. Maka dari itu, jumlah ahli qira’at sesuai dengan jumlah mushaf tersebut.

 

Pendapat di atas diperkuat oleh Ibnu Hatim as-Sijistani (w. 250 H), beliau mengatakan bahwa mushaf yang ditulis oleh Utsman berjumlah tujuh naskah dan dikirimkan ke berbagai belahan negara: Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan disimpan di Madinah sebagai dokumentasi (Al Qatthan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an/134).

 

Kedua, pemilihan jumlah tujuh imam Qira’at ini juga didasarkan pada jumlah huruf yang diditurunkan kepada Nabi Muhammad saw. Meskipun pada hakikatnya para perawi dan para ahli qira’at melebihi jumlah tersebut dan bahkan tak terhitung. (Makki, al-Ibanah an Ma’ani al-Qira’at/90).

 

Hal ini diperkuat oleh hadits Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) bahwa Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf.

 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا الحَسَنُ بْنُ مُوسَى قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: لَقِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: يَا جِبْرِيلُ إِنِّي بُعِثْتُ إِلَى أُمَّةٍ أُمِّيِّينَ: مِنْهُمُ العَجُوزُ، وَالشَّيْخُ الكَبِيرُ، وَالغُلَامُ، وَالجَارِيَةُ، وَالرَّجُلُ الَّذِي لَمْ يَقْرَأْ كِتَابًا قَطُّ، قَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ. رواه الترمذي.

 

Artinya: “Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw, berjumpa dengan Jibril. Nabi menyampaikan; “Wahai Jibril, sesungguhnya aku diutus kepada umat yang ummi; sebagian mereka orang tua renta, orang yang sudah berumur, anak kecil, budak dan orang yang tidak bisa membaca tulisan sama sekali”. Jibril menimpali: “ Wahai Muhammad, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf”. (HR. Turmudzi/194).

 

Pernyataan Makki bin Abi Thalib ini dibenarkan dan diamini oleh al-Sakhawi. Beliau mengatakan bahwa Ibnu Mujahid berpandangan bahwa pemilihan tujuh imam ini karena terinspirasi dari jumlah mushaf yang dikirim Utsman dan sabda Nabi: “ Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf”. (Al Sakhawi, Jamal al-Qurra’ wa Kamal al-Iqra’/ 510-511).

 

Berbeda dengan pendapat Makki dan al-Sakhawi, Syaikh Manna’ al-Qaththan mengatakan bahwa pemilihan tujuh imam qira’at ini karena kebetulan dan tanpa disengaja. Ibnu Mujahid menetapkan ketentuan pada dirinya untuk tidak meriwayatkan (sebuah bacaan) kecuali dari para imam yang telah dikenal kredibilitasnya, amanah, panjang umur (lama berkecimpung dalam ilmu qira’at), dan para ulama sepakat untuk mengambil riwayatnya dan talaqqi kepadanya. Kriteria tersebut tidak dijumpai kecuali pada tujuh imam qira’at tersebut (qira'at sab'ah). (Al Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an/417).

 

Dari sini dapat dipahami bahwa persoalan pemilihan tujuh imam qira’at atau  qira'at sab'ah​​​​​​ ini tidak hanya karena terinspirasi dari jumlah mushaf dan hadis Nabi tentang tujuh huruf semata, namun pada hakikatnya yang menjadi standarisasi pemilihan jumlah tujuh tersebut berdasarkan kriteria tertentu yang diterima oleh mayoritas ulama. Di antaranya adalah seorang perawi harus memiliki kredibilitas, tsiqah, amanah, agamis, sempurna ilmunya, panjang umurnya, masyhur ketokohannya, dan disepakati ke adilannya.

 

Imam al-Syatibi mengatakan:

 

تَخَيَّرَهُمْ نُقَّادُهُمْ كُلَّ بَارِعٍ *** وَلَيْسَ عَلَى قُرْآنِهِ مُتَأَكِّلَا

 

Artinya: “Para ulama memilih mereka (tujuh imam qira’at) karena keutamaan ilmu dan amalnya serta kezuhudannya. Mereka tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sarana/ sandaran untuk mencari harta.”

 

Belakangan muncul anggapan bahwa tujuh imam qira’at  (qira'at sab'ah) ini adalah representasi dari ahruf sab’ah (tujuh huruf). Anggapan ini adalah anggapan yang keliru dan tidak memiliki dasar yang kuat.

 

Untuk menghilangkan anggapan di atas, ulama menulis sebuah karya melebihi jumlah tujuh imam qira’at; sebagian ada yang menulis qira’at tsaman (delapan), sebagian ada yang menulis qira’at asyrah (sepuluh) sebagaimana yang dilakukan oleh al-Jazari (w. 833 H) dalam kitabnya “al-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr”.

 

Imam al-Jazari mengatakan bahwa sebagian ulama menulis qira’at delapan, sebagian yang lain menulis qira’at asyrah, menambahi jumlah yang disusun oleh Ibnu Mujahid dengan tujuan untuk meredam anggapan di atas. (an-Nasyr fi Qira’at al-Asyr/43). Wallahu ta’ala a‘lam.

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, founder kajian Al-Qur’an Khairu Jalis