Ilmu Al-Qur'an

Hujjah Qira’at, Ilmu Bacaan Al-Qur’an yang Jarang Dijamah

Kam, 8 Oktober 2020 | 13:00 WIB

Hujjah Qira’at, Ilmu Bacaan Al-Qur’an yang Jarang Dijamah

Ulama yang pertama kali menulis karya tentang hujjah qira’at adalah Abu Bakar Muhammad bin al-Sari (w. 316 H).

Secara umum, ilmu qira’at dapat dipetakan dalam dua kategori; riwayah dan dirayah. Dari sisi periwayatan, ilmu qira’at menguraikan tentang perbedaan bacaan yang dinisbatkan kepada salah satu imam qira’at. Sedangkan dari sisi dirayah, ilmu qira’at menjelaskan tentang berbagai macam aspek yang terkait dengan ilmu qira’at salah satunya adalah dari aspek argumentasi kebenaran qira’at Al-Qur’an atau yang dikenal kemudian dengan nama hujjah qira’at.


Pada hakikatnya, ilmu ini merupakan ilmu yang mandiri selayaknya ilmu yang lain, hanya saja tidak setenar dan masih jarang diajarkan di berbagai majelis ilmu. Ilmu ini sangat berkaitan dengan aspek kebahasaan, dialek Arab, pemaknaan dan perbedaan aspek hukum dari perbedaan bacaan dan lain-lain.


Hujjah secara bahasa berarti dalil, pedoman, dan argumentasi. Sedangkan secara istilah, hujjah qira’at adalah ilmu yang menjelaskan argumentasi ulama tentang perbedaan bacaan qira’at Al-Qur’an. Nama lain dari hujjah qira’at adalah: taujih al-qira’at, ilal al-qira’at, wujuh al-qira’at, ihtijaj al-qira’at, ma’ani al-qira’at, i’rab al-qira’at, al-intishar li al-qira’at, nukat al-qira’at, dan takhrij al-qira’at.


Pada sekitar abad ketiga, Ibnu Mujahid (w. 324 H) melakukan penetapan qira’at sab’ah mutawatirah dengan memilih 7 imam qira’at yang mewakili setiap negara Islam. Di saat yang bersamaan, banyak ulama yang berlomba-lomba mengulas tentang argumentasi kesahihan qira’at. Mereka membuktikan kebenaran qira’at Al-Qur’an dengan menggunakan berbagai analisis dalam menguraikannya sebagai bukti keabsahan qira’at yang sahih. Di samping itu juga untuk menjawab tuduhan orang-orang yang ragu terhadap keabsahah qira’at.


Siapakah ulama yang pertama kali menulis tentang hujjah qira’at?


Ulama yang pertama kali menulis karya tentang hujjah qira’at adalah Abu Bakar Muhammad bin al-Sari (w. 316 H). Beliau hidup semasa dengan Ibnu Mujahid. Namun karya ini belum sampai rampung ditulis, hanya sampai pada surat Al-Fatihah dan sebagian surat al-Baqarah. 


Menurut Ibnu al-Nadim, orang yang pertama kali menulis karya tentang hujjah qira’at adalah Muhammad bin al-Mubarrad (w. 285 H). Beliau menulis sebuah karya Kitab Ihtijaj al-Qira’ah, yang kemudian diikuti oleh kedua muridnya; Ibnu al-Siradj (w. 313 H) dan Ibnu Durustawaih (w. 330 H).


Karya Ibnu al-Siradj adalah Kitab Ihtijaj al-Qira’ah, sedangkan karya Ibnu Durustawaih adalah Ihtijaj al-Qurra’.


Berikut ulama yang menulis tentang hujjah qira’at adalah :

 

  • Muhammad bin Hasan al-Anshari (w. 351 H). beliau menulis sebuah karya “Kitab al-Sab’ah bi Ilaliha al-Kabir”.
     
  • Abu Bakar Muhammad bin Hasan bin Miqsam al-Atthar (w. 362 H). Beliau menulis beberapa karya, diantaranya adalah : “Kitab Ihtijaj al-Qira’at” “Kitab al-Sa’ah bi ilaliha al-Kabir” “Kitab al-Sab’ah al-Ausath” “Kitab al-Ausath” dan “Kitab al-Ashghar” yang dikenal dengan nama “Syifa’ al-Sudur”.
     
  • Al-Husain bin Ahmad bin al-Khalawaih (w. 370 H). Beliau menulis karya “al-Hujjah fi Ilal al-Qira’at al-Sab’I”.
     
  • Abu Ali al-Farisi (w. 377 H). Karyanya adalah “Al-Hujjah fi al-Ihtijaj li al-Qira’at al-Sab’I”.
     
  • Abu Zur’ah Abdurrahman bin Muhammad bin Zanjalah, karyanya adalah “Hujjat al-Qira’at”.
  • Makki bin Abi Thalib (w.437 H). karyanya adalah “al-Kasyfi An Wujuh al-Qira’at al-Sab’I wa ilaliha wa Hujajiha”.
     

Ulama kontemporer yang menulis tentang hujjah qira’at adalah :

  • Muhammad Salim Muhaisin dengan karyanya “al-Mughni fi Taujih al-Qira’at al-Asyr al-Mutawatirah”. 
     
  • Qasim Ahmad al-Dujawi dan Muhammad Shadiq Qamhawi, karyanya “Qalaid al-Fikr fi Taujih al-Qira’at”. 


Abdul Hadi al-Fadli memberi catatan bahwa penulisan tentang hujjah qira’at memang bukan diawali pada masa Ibnu Mujahid dan Muhammad al-Sari, akan tetapi tenarnya penulisan tentang hujjah ini pada masa kedua ulama tersebut.


Bagaimana pola ulama menguraikan hujjah qira’at?


Para ulama memiliki pola dan cara yang berbeda dalam menguraikan hujjah qira’at, di antaranya adalah:


Pertama, berhujjah dengan ayat yang lain. Seperti yang dilakukan oleh Abu Ali al-Farisi (w. 377 H) dalam mengungkapkan hujjah qira’at Abu Amr; 


لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ


Dalam riwayat Imam Abu Amr (w. 154 H) huruf fa’nya dibaca sukun dan huruf ta’ kedua tanpa tasydid (تُفْتَحُ). Argumentasi bacaan ini didasarkan pada ayat lain surat al-Hujarat ayat 14 yang dibaca takhfif;


وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا


Pada ayat di atas, para ulama qira’at sepakat membaca takhfif.


Kedua, berhujjah dengan asbab nuzul, seperti firman Allah:


 وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى


Pada ayat di atas, sebagian ulama qira’at membaca kasrah kha’ yang bermakna perintah. Argumentasi bacaan ini didasarkan pada hadis yang disampaikan oleh Imam Bukhari dari sahabat Umar. Beliau berkata: Tiga hal pendapatku yang sesuai dengan Firman Tuhanku. Salah satunya adalah aku menyampaikan kepada Nabi: “Ya Rasulallah, Alangkah baiknya kita menggunakan maqam Ibrahim ini sebagai tempat shalat: maka turunlah ayat:


 وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى


Ketiga, berhujjah dengan Rasm Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Khalawaih (w. 370 H) dalam hal menetapkan atau membuang huruf ya’ dalam surat al-Ankabut:


 يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ (٥٦)


Argumentasi ulama yang membaca sukun ya’ (pada kata ‘ibaadiy) dan membuangnya secara lafadz karena menganggap cukup dengan harakat kasrah pada huruf dal dan meniadakan huruf ya’, sebab mabni dari I’rab nida’ adalah membuang huruf.


Imam Khalawaih berkata: Pilihan ulama yang membaca huruf ya’ dengan fathah adalah ketika pembaca berhenti pada huruf ya’, karena menurut kebanyakan ulama huruf ya’ itu masih tetap. Jika huruf ya’ dibuang maka pembaca berhenti pada huruf dal. 


Keempat, berhujjah dengan riwayat dan sanad. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Maryam (w. 525 H) dalam kitabnya “Al-Mudhah fi Wujuh al-Qira’at wa Ilaliha” dalam persoalan bacaan imalah. Beliau berkata bahwa tidak ada celaan bagi orang yang berpegang terhadap bacaan asal (tahqiq) dan meninggalkan imalah meskipun bacaan imalah dianggap baik. Sebab jika imalah itu baik maka bukan berarti bacaan asal (tahqiq) dianggap jelek, oleh karenanya, maka wajib harus mengikuti atsar dalam persoalan ilmu qira’at”.


Ilmu qira’at secara riwayat, wajib didasarkan pada periwayatan dan transmisi yang jelas. Imam al-Syatibi mengatakan:


وما لقياس في القراءة مدخل


Artinya, dalam qira’at tidak ada intervensi bacaan maupun analogi bacaan. Sebab semua perbedaan wajah-wajah qira’at berpedoman pada penukilan yang mutawatir, talaqqi secara sah yang diterima dari para imam qira’at.


Kelima, berhujjah dengan analogi bahasa, seperti dalam firman Allah :


بِرُوحِ الْقُدُسِ


Imam Ibnu Katsir (w. 120 H) membaca sukun huruf dal (الْقُدُسِ). Menurut Imam Khalawaih (w. 370 H) hal tersebut menghindari berkumpulnya harakat dhammah secara berurutan dan bersamaan. Maka dari itu, huruf dal dibaca sukun untuk meringankan pengucapan. Di samping itu membaca sukun huruf dal itu adalah bagian dari dialek sebuah kabilah. Sementara hujjah yang membaca dhammah huruf dal adalah membaca sebuah lafadz sesuai asalnya.


Ustadz Moh. Fathurrozi, penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at”, dan pengajar ilmu qira’at.