Ilmu Al-Qur'an

Qira’at Imam Ibnu Amir yang Disoal Ulama Nahwu

Jum, 26 Maret 2021 | 11:30 WIB

Qira’at Imam Ibnu Amir yang Disoal Ulama Nahwu

Apa yang dituduhkan ulama Nahwu klan Bashrah terhadap qira’at Imam Ibnu Amir rupanya menuai banyak kritikan pula dari berbagai kalangan.

Salah satu tolok ukur kesahihan qira’at Al-Qur’an adalah sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Karena tidak dijumpai satu pun qira’at Al-Qur’an yang keluar dan menyalahi kaidah bahasa Arab.

 

Namun demikian, terdapat sebagian ulama nahwu dari klan Bashrah yang menentang beberapa qira’at Al-Qur’an karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Seperti dalam salah satu wajah dari qira’at Imam Ibnu Amir al-Syami pada surat al-An’am: 137.

 

وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

 

Artinya: “Dan demikianlah berhala-berhala mereka (setan) menjadikan terasa indah bagi banyak orang-orang musyrik membunuh anak-anak mereka, untuk membinasakan mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan”.

 

 

Dalam ayat di atas, Imam Ibnu Amir (w. 118 H) membaca lafal (زَيَّنَ) dengan men-dhammah-kan huruf zay dan meng-kasrah-kan huruf ya’ (Naib al-Fail) kemudian membaca dhammah pada lafal (قَتْلُ) serta memisahkan antara mudhaf (قَتْلُ) dan mudhaf ilaih (شُرَكَاءِهِمْ) dengan maf’ul bih (أَوْلَادَهُمْ). (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi Al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah: 111). Sehingga, bacaannya menjadi seperti di bawah ini:

 

وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلُ أَوْلَادَهُمْ شُرَكَائِهِمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

 

Menurut ulama Nahwu klan Bashrah, bacaan di atas bertentangan dengan kaidah bahasa Arab karena memisahkan antara mudhaf dan mudhaf ilaih dengan maf’ul bih (mudhaf -maf’ul bih – mudhaf ilaih). Menurut mereka, pemisahan mudhaf dan mudhaf ilaih ini hanya boleh dilakukan ketika darurat syair.

 

Abu Ubaid berkata: “Aku tidak suka qira’at ini karena di dalamnya terdapat pemaksaan. Menurut kami bacaan yang benar adalah bacaan yang pertama (selain bacaan Ibnu Amir) karena terdapat kesepakatan ulama Haramain dan dua negara di Iraq” (Ahmad bin Yusuf al-Halabi, al-Durr al-Mashun fi Ulum al-Kitab al-Maknun/5/164).

 

Abu Ja’far al-Nahhas (w. 949 H) mengatakan bahwa para ulama nahwu memperbolehkan pemisahan antara mudhaf dan mudhaf ilaih dengan menggunakan isim dharaf. Hal ini dikarenakan bila dipisah dengan isim dharaf, ia seakan-akan tidak terputus. Sementara bila dipisah dengan isim yang lain adalah suatu kesalahan. (al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 7:92).

 

Senada dengan pendapat di atas, Imam Makki mengatakan bahwa dalam qira’at ini terdapat kelemahan yaitu pemisahan antara mudhaf dan mudhaf ilaih. Sesunguhnya yang diperbolehkan dalam pemisahan seperti ini dalam bentuk syair adalah dengan menggunakan dharaf. Sementara pemisahan mudhaf dan mudhaf ilaih dengan maf’ul di dalam bentuk syair, jauh dari kebenaran, apalagi dalam qira’at tentu saja sangat jauh (dari kebenaran).

 

 

Imam Abu Ghanim Ahmad bin Hamdan al-Nahwi mengatakan bahwa qira’at Ibnu Amir ini tidak bisa dibenarkan dalam bahasa Arab. Qira’at ini merupakan suatu kekeliruan dari seorang yang alim. Apabila seorang yang alim keliru dalam berucap, maka tidak boleh diikuti dan ucapannya harus dibandingkan dengan ijma’. Termasuk wajib menolak orang yang salah ucap dari kalangan mereka, atau orang yang lupa terhadap ijma’, sebab itu adalah lebih baik daripada terus menerus berada di jalan yang salah. (al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 7:93).

 

Apa yang dituduhkan ulama Nahwu klan Bashrah terhadap qira’at Imam Ibnu Amir ini menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Kritikan itu dapat dipetakan sebagaimana berikut:

 

Pertama. Dalam bahasa Arab dapat dijumpai pemisahan antara mudhaf dan mudhaf ilaih, baik dalam bentuk prosa maupun syair.

 

Hal ini diperkuat oleh kritikan yang disampaikan oleh Imam al-Halabi;

 

Ungkapan dan tuduhan yang dilontarkan kepada Imam Ibnu Amir dan bacaan ini tidak perlu digubris meskipun keluar dari ulama besar, karena sejatinya ia mencela bacaan yang mutawatir. Dan pula, terdapat para ulama yang membela bacaan ini, berargumen dari lisan Arab, baik berbentuk prosa maupun syair atas kebenaran dan kesahihan bacaan ini secara bahasa. Salah satunya adalah Abu Bakar ibn al-Anbari;

 

قال أبو بكر ابن الأ نباري:» هذه قراءة صحيحة، وإذا كانت العرب قد فَصَلَتْ بين المتضايفين بالجملة في قولهم: «هو غلامُ إن شاء الله أخيك» يريدون: هو غلام أخيك فأنْ يُفْصَل بالمفرد أسهل. انتهى

 

Ibnu al-Anbari berkata: “Qira’at ini shahih, jika orang Arab memisahkan dua mudhaf dengan jumlah, sebagaimana perkataan mereka (هو غلامُ إن شاء الله أخيك) mereka menghendaki (هو غلام أخيك), karena jika dipisah dengan mufrad menjadi lebih mudah. (Ahmad bin Yusuf al-Halabi, al-Durr al-Mashun fi Ulum al-Kitab al-Maknun, 5:166).

 

Kedua. Mushaf yang dikirim Khalifah Ustman ke Negara Syam tertulis ya’ pada lafal (شُرَكَائِهِمْ).

 

Imam al-Syatibi mengutarakan lewat bait nadhamnya:

 

في شركاؤهم *** وفي مصحف الشّامين بالياء مثّلا

 

Hal ini diperkuat oleh ungkapan Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya;

 

Ibnu Asyur menjelaskan bahwa dalam mushaf Utsmani yang ada di Negara Syam (meliputi; Syiria, Jordan dan Lebanon) ditulis demikian “شُرَكائِهِمْ” (dengan huruf ya’) dan ini menunjukkan bahwa sahabat-sahabat yang menulis dengan demikian (شُرَكائِهِمْ) dalam rangka menjaga dan memelihara bacaan (شُرَكائِهِمْ) dengan kasrah. Mereka (para penulis itu) termasuk dari kalangan yang fashih dan kapabel dalam sanad qira’at. Dengan demikian, jika lafal (شُرَكائِهِمْ) ditulis dengan huruf ya’ setelah alif, maka itu menunjukkan bahwa hamzah itu dibaca kasrah.

 

Lebih lanjut Ibnu Asyur mengatakan:

 

Dalam qira’at ini tidak ada yang merusak kefasihan kalam, karena I’rabnya menjelaskan makna-makna kalimat dan posisi-posisinya, perubahan i’rab ini (sudah jelas) mulai dari rafa’, nashab dan jer, sehingga tidak ada keserupaan. Susunan kalimatnya jelas, maka dari itu, susunan ini tidak terbilang susunan kalimat yang rumit, yang dapat merusak kefasihan kalam.

 

Pernyataan di atas didukung oleh Imam al-Halabi (w. 756 H) yang menyatakan bahwa mayoritas ulama qira’at membaca ayat di atas dengan susunan yang rapi dan makna yang jelas.

 

Dari perubahan susunan harakat dan posisi I’rabnya, berdampak pada perubahan maknanya. Namun perubahan ini tidak merubah esensi makna yang dikehendaki oleh Allah Swt,.

 

Berikut perubahan I’rab dan maknanya:

 

وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلُ أَوْلَادَهُمْ شُرَكَائِهِمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ 

 

Artinya: “Demikianlah bagi orang-orang musyrik berhala-hala mereka membunuh anak-anak mereka dan mengacakan agama mereka sendiri. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan”.

 

Abdul Fattah al-Qadhi (w.1403 H) menjelaskan bahwa ulama nahwu yang ingkar terhadap qira’at ini terbagi dua kelompok; Pertama. Inkar karena menyimpang dari kaidah bahasa Arab dan kalam yang fasih. Kedua. Ingkar karena karena kebodohannya dan tidak mengenal pribadi sang qari’, yakni Ibnu Amir. Kedua kelompok ini tidak bagus karena ingkar terhadap qira’at yang mutawatirah. Meskipun kelompok yang pertama lebih baik daripada kelompok kedua. Sebab mereka sampai mencela imam qira’at umat muslim yang telah disepakati keluhuran derajatnya dan kesempunaan ilmunya.

 

Terdapat dua hal yang mendukung (keshahihan) qira’at Ibnu Amir; Pertama, pada mushaf negara Syam, lafal (شُرَكائِهِمْ) tertulis huruf ya’ setelah alif yang berimplikasi pada bacaan kasrah. Kedua, syair yang disenandungkan oleh al-Akhfasy;

 

فَزَجَجْتُهَا بِمِزَجَّةٍ *** زَجَّ الْقُلُوصَ أَبِي مَزَادَةَ

 

Dalam syair di atas, lafal (زَجَّ) merupakan mudhaf dan lafal (أَبِي مَزَادَةَ) adalah mudhaf ilaih, sedangkan lafal (الْقُلُوصَ) merupakan maf’ul bih yang menjadi pemisah antara mudhaf dan mudhaf ilain. (al Qadhi, al-Wafi fi Syarh Matn al-Syatihibiyah fi al-Qira’at al-Sab’i/ 267).

 

Bila hal tersebut dijumpai pada ungkapan orang Arab, baik berupa prosa mapun syair, lantas kenapa qira’at Ibnu Amir dianggap menyimpang dari kaidah bahasa Arab?, Padahal qira’at Ibnu Amir memiliki transmisi sanad yang paling tinggi diantara qira’at yang lain. Beliau belajar langsung kepada Abu Darda’, Watsilah bin al-Asqa’ dan Fudhalah bin Ubair dan Muawiyah bin Abi Sufyan dan al-Mughirah al-Makhzumi.

 

Qira’at Ibnu Amir adalah qira’at yang paten dan mutawatir. Apabila sebuah qira’at ditetapkan sebagai qira’at yang mutawatir, maka tidak butuh menyandarkannya pada ucapan orang Arab tetapi ia menjadi hujjah dan menjadi dalil ucapan orang Arab.

 

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, penulis buku “Mengarungi Samudra kemuliaan 10 Imam Qira’at”; dan pegiat ilmu qira’at “Al-Qur’an Khairu Jalis”.