Amien Nurhakim
Penulis
Salah satu tradisi muslim Indonesia ketika memasuki bulan Muharram adalah menyantuni anak yatim. Santunan digelar dengan mengundang anak-anak yatim, kemudian para mubaligh atau penceramah diundang untuk memberikan nasihat keagamaan.
Setelah itu biasanya terdapat proses pembagian uang atau makanan kepada anak-anak yatim yang diundang, sembari para tokoh-tokoh di depan mengusap kepala anak yatim satu persatu. Menyantuni anak yatim memang tidak mesti pada bulan Muharram, akan tetapi mayoritas dilaksanakan pada bulan pertama bulan Hijriyah ini.
Tradisi keagamaan yang dilaksanakan pada waktu tertentu memang tidak selalu memiliki landasan yang valid, atau setidaknya masyhur. Dari sekian keterangan keutamaan menyantuni anak yatim di bulan Muharram, ditemukan dua informasi, pertama dari Musnad Abu Ya’la dengan riwayat yang cukup panjang, namun kutipan terkait santunan anak yatim di bulan Muharram adalah:
وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ رُفِعَتْ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ عَلَى رَأْسِهِ دَرَجَةٌ فِي الْجَنَّةِ
Artinya, “Siapa pun yang mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, maka baginya setiap helai rambut di kepala anak yatim itu akan dinaikkan satu derajat di surga.” (HR Abu Ya’la dalam Musnad Abu Ya’la, [Damaskus: Darul Ma’mun, 1984], jilid I, hal. 439).
Kemudian dalam Hasyiyah I’anatuth Thalibin, Sayid Abu Bakr juga melampirkan informasi mengenai keutamaan mengusap kepala anak yatim di hari Asyura dalam keterangan berikut:
ومن مسح فيه على رأس يتيم أو أحسن إليه فكأنما أحسن إلى أيتام ولد آدم كلهم
Baca Juga
Doa saat Menyantuni Anak Yatim
Artinya, “Siapa pun yang mengusap kepala anak yatim atau berbuat baik kepadanya, maka seolah-olah ia telah berbuat baik kepada semua anak yatim keturunan Adam.” (Sayid Abu Bakr Syatho, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, 1997], jilid II, hal. 302).
Riwayat di atas belum penulis temukan dalam kitab-kitab hadits primer maupun sekunder. Meskipun demikian, tradisi keagamaan sah-sah saja tanpa didasari sebuah dalil, sebab substansi kegiatan dalam santunan anak yatim selama berisi kebaikan tetap diperbolehkan, bahkan dianjurkan.
Salah satu yang biasanya tidak lepas dari perhatian pada acara santunan adalah saat anak yatim maju ke depan dan menerima bingkisan. Pada momen tersebut kepala anak yatim diusap oleh beberapa orang, biasanya tokoh masyarakat dan tokoh keagamaan, atau juga donatur.
Mengusap kepala memang melambangkan sebuah kasih sayang sosok yang lebih tua kepada anak kecil, sehingga dapat dimaknai bahwa salah satu rangkaian acara tersebut adalah untuk mencurahkan kasih sayang dan empati terhadap anak-anak yang ditinggal wafat ayahnya dan kehilangan penopang utama dalam hidupnya.
Kendati demikian, mengusap kepala anak yatim juga didasarkan pada hal yang bersifat ideologis, yaitu kepercayaan bahwa dengan mengusap kepala mereka akan gugur dosa-dosa dan mendapatkan pahala yang berlimpah. Keterangan ini dapat dilacak melalui riwayat dari Ahmad bin Hanbal:
عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال من مسح رأس يتيم أو يتيمة لم يمسحة الا لله كان له بكل شعرة مرت عليها يده حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو في الجنة كهاتين وقرن بين إصبعيه
Artinya, “Dari Abu Umamah, dari Nabi saw bersabda, ‘Siapa pun mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan hanya karena Allah, maka baginya setiap helai rambut yang disentuh oleh tangannya adalah satu kebaikan. Dan siapa pun yang berbuat baik kepada anak yatim laki-laki atau perempuan yang ada di sisinya, maka aku dan dia akan berada di surga seperti ini,’ beliau menggabungkan kedua jarinya’.” (HR Ahmad)
Menurut Ahmad sendiri, secara sanad hadits ini dinilai sahih oleh sebagian kritikus hadits. Hanya saja, pada bagian awal “Siapa pun yang mengusap kepala anak yatim” diragukan kesahihannya karena terdapat ‘Ali bin Yazid ad-Dimasyqi yang dinilai sangat lemah dalam periwayatan hadits (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, [Kairo: Muassasah Qurthubah, t.t.], jilid V, hal. 265).
Selanjutnya, terkait makna mengusap kepala sendiri para ulama memiliki ragam pendapat. Sebab, apabila dimaknai literal maka mau tidak mau menyantuni anak yatim harus melibatkan proses mengusap kepala tanpa terkecuali, apabila ingin mendapatkan keutamaan dan pahala.
Padahal, kalimat-kalimat dalam hadits Nabi saw adakalanya dimaknai secara lahiriah dan literal, akan tetapi tidak sedikit juga hadits-hadits yang diungkapkan dengan redaksi yang metaforis sebagaimana penjelasan Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Cara Benar Memahami Hadis.”
Jika kita melihat kepada literatur syarah hadits, menurut al-Muzhari dalam al-Mafatih fi Syarhil Mashabih mengusap pada hadits tersebut mengandung makna literal, namun disertai dengan interpretasi bahwa usapan tangan kepada kepala anak yatim merupakan bentuk berlemah lembut dan kasih sayang. (Al-Muzhari, al-Mafatih fi Syarhil Mashabih, [Kuwait: Darun Nawadir, 2012], jilid V, hal. 223).
Ath-Thibi menginterpretasikan aktivitas mengusap yang dimaksud adalah sebuah kiasan yang bermakna belas kasih dan kelembutan terhadap anak yatim. Pemaknaan secara metaforis menurutnya tidak kontradiktif dengan redaksi literal dari hadits tersebut, sehingga Nabi saw menyebutkan pada redaksi setelahnya kalimat ‘setiap helai rambut’. (Saifuddin ad-Dahlawi, al-Lama’atut Tanqih fi Syarh Misykatil Mashabih, [Damaskus: Darun Nawadir, 2014], jilid VIII, hal. 225).
Selain al-Muzhari dan ath-Thibi, Ibnu Hajar al-Haitami pernah membahas secara detail terkait pemaknaan hadits mengusap kepala anak yatim apakah diartikan literal atau secara majazi. Ia memaparkan:
والمراد من المسح في الحديث الثاني حقيقته كما بينه آخر الحديث وهو (من مسح رأس يتيم لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة تمر عليها يده عشر حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو في الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه) . وخص الرأس بذلك لأن في المسح عليه تعظيماً لصاحبه وشفقة عليه ومحبة له وجبراً لخاطره، وهذه كلها مع اليتيم تقتضي هذا الثوب الجزيل، وأما جعل ذلك كناية عن الإحسان فهو غير محتاج إليه لأن ثواب الإحسان الذي هو أعلى وأجلّ قد ذكر بعده وأين القرب منه صلى الله عليه وسلم في الجنة حتى يكونا كالأصبعين من إعطاء حسنات بعدد شعر الرأس، فشتان ما بينهما إذ الأول أكمل وأعظم
Artinya, “Yang dimaksud dengan mengusap dalam hadits kedua adalah makna hakikinya, seperti yang dijelaskan pada akhir hadits yaitu: ‘Siapa pun mengusap kepala anak yatim hanya karena Allah, maka baginya setiap helai rambut yang disentuh oleh tangannya adalah sepuluh kebaikan. Dan siapa pun yang berbuat baik kepada anak yatim laki-laki atau perempuan yang ada di sisinya, maka aku dan dia akan berada di surga seperti ini,’ beliau menggabungkan kedua jarinya.
Rasulullah khususkan kepala karena dalam mengusap kepala anak yatim terdapat penghormatan, kasih sayang, cinta, dan sesuatu yang dapat menghibur hatinya. Semua ini jika dilakukan kepada anak yatim akan mendapatkan pahala yang besar.
Menjadikannya sebagai kiasan tentang kebaikan tidak diperlukan karena pahala kebaikan yang lebih tinggi dan lebih mulia telah disebutkan pada redaksi hadits setelahnya, yaitu ‘dekat dengan Rasulullah saw di surga seperti layaknya dua jari adalah jauh lebih besar daripada mendapatkan kebaikan sebanyak jumlah rambut di kepala. Maka sangat jelas perbedaannya karena dekat dengan Rasul lebih sempurna dan agung.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyyah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid I, hal. 43).
Ringkasnya pendapat Ibnu Hajar ingin menegasikan bahwa tindakan mengusap kepala anak yatim yang disebut dalam hadits tidak perlu diinterpretasi sebagai kiasan. Alasannya, pahala kebaikan yang lebih tinggi dan lebih mulia telah disebutkan setelahnya, yaitu dekat dengan Rasulullah di surga. Bersama dengan Rasulullah di surga merupakan kondisi yang sangat didambakan setiap muslim, ia lebih besar daripada mendapatkan kebaikan sebanyak jumlah rambut di kepala anak yatim.
Kemudian sebagai penutup, baik makna kiasan ataupun makna hakiki terkait hadits yang dibahas dalam artikel ini, sudah seyogiayanya kita menyantuni anak-anak yatim sebagai bentuk dukungan emosional dan finansial untuk mereka.
Tentunya menyantuni anak yatim tidak selalu harus dengan proses mengusap kepala mereka, akan tetapi memberikan sumbangan semampu kita, mendidik mereka dengan ilmu yang kita miliki, atau menjadi donatur bagi mereka merupakan sarana terbaik untuk mendapatkan keridhaan di sisi Allah. Wallahu a’lam…
Amien Nurhakim, Penulis Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua