Ilmu Hadits

Memahami Hadits Larangan Menulis Sabda Rasulullah

Ahad, 17 Maret 2024 | 22:00 WIB

Memahami Hadits Larangan Menulis Sabda Rasulullah

Ilustrasi kajian memahami larangan menulis hadits Nabi saw (via muis.org.my).

Kitab-kitab hadits dengan segala jenisnya yang dapat kita temui sekarang berjumlah ratusan bahkan ribuan. Itu semua adalah hasil jerih payah para ulama terutama tiga generasi awal: sahabat Nabi saw, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Merekalah yang pertama kali menginisiasi kerja intelektual bidang hadits. Kemudian semangat itu diwarisi oleh para ulama generasi setelahnya secara berkelanjutan.
 

Berkaitan dengan hal itu, penting sekali mengetahui apa sebenarnya hukum menulis hadits. Pertanyaan ini memang terasa klise dan bisa dijawab mudah secara logis. Sederhananya, jika menulis hadits adalah perbuatan terlarang (haram), tentu sekarang tidak akan kita jumpai berbagai kitab hadits tersebut. Tapi bagaimana penjelasannya secara ilmiah? 
 

Tema hukum menulis hadits hampir selalu disajikan dalam mayoritas kitab ilmu hadits. Ini menjadi bukti bahwa tema tersebut penting untuk diketahui. Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan hadits larangan menulis sabda Rasulullah saw
 

لَا تَكْتُبُوا  عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
 

Artinya, "Jangan tulis apapun dari ucapanku. Siapapun yang menulis dari ucapanku selain Al-Qur'an, maka hapuslah." (HR Muslim). (Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, [Beirut: Dar Thuqin Najah, 2012], juz VIII, halaman 229).
 

Hadits ini menjelaskan bagaimana Rasulullah saw melarang para sahabat menulis apa yang beliau sampaikan, kecuali Al-Qur'an. Namun, hadits ini bukanlah satu-satunya yang berbicara tentang boleh atau tidaknya menulis sabda Rasulullah.
 

Setidaknya ada dua hadits lain dengan tema sama. Pertama, hadits riwayat Imam Abu Dawud:
 

عن عبدِ الله بن عمرو، قال : كنتُ أَكْتبُ كلَّ شيءٍ أسمعُهُ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أريدُ حفظَهُ فنَهَتني قُرَيْشٌ عن ذلِكَ وقالوا : تَكْتُبُ ورسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يقولُ في الغضَبِ والرِّضا فأمسَكْتُ حتَّى ذَكَرتُ ذلِكَ لرَسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فقالَ : اكتُب فوالَّذي نَفسي بيدِهِ ما خرجَ منهُ إلَّا حقٌّ
 

Artinya, "Dari Abdullah bin 'Amr, ia bercerita: "Dulu aku menulis apapun yang kudengar dari Rasulullah saw untuk kemudian kuhafalkan. Lalu orang Quraisy melarangku. Kata mereka: "Apakah kau menulisnya sedangkan Rasulullah saw (terkadang) bersabda dalam keadaan marah dan (terkadang) bersabda pula dalam suasana hati yang baik?" Lalu aku berhenti menulis, hingga aku ceritakan itu semua kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: "Tulislah. Demi Tuhan yang nyawaku berada dalan kekuasaan-Nya, tidaklah keluar dari lisanku kecuali ucapan yang haq (benar)." (HR. Abu Dawud). (Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats, Sunan Abi Dawud, [Beirut: Darur Risalah Al-'Alamiyyah], juz V, halaman 490).
 

Kedua, hadits riwayat Imam Al-Bukhari. Pada saat pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah), Rasulullah berorasi di hadapan para sahabat. Di penghujung orasi, salah satu sahabat bernama Abu Syah menyela:
 

اكْتُبْ لي يا رَسولَ اللَّهِ. فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: اكْتُبُوا لأبِي شَاهٍ
 

Artinya, "Tulislkan (pidato ini) untukku, wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda: Tulislah (pidato ini) untuk Abu Syah." (HR Al-Bukhari). (Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Cairo: Darut Ta'shil, 2012], juz III, halaman 373).
 

Dalam dua hadits terakhir justru Rasulullah mengabulkan permohonan sahabat yang meminta izin untuk menulis hadits. Bertolak belakang dengan hadits pertama. Kondisi seperti ini dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah "mukhtalaful ahadits" yang berarti hadits-hadits yang bertentangan.
 

Lalu bagaimana cara mengambil kesimpulan hukum dari hadits-hadits di atas? Al-Hafizh Ibnu Hajar memberi beberapa opsi:

  1. Larangan menulis hadits berlaku ketika transmisi Al-Qur'an pada Rasulullah belum selesai. Setelah semua ayat Al-Qur'an disampaikan pada beliau, larangan tersebut tidak lagi berlaku.
  2. Maksud dari larangan tersebut adalah menulis hadits pada media yang sama dengan Al-Qur'an. Misalnya hadits dan Al-Qur'an ditulis dalam satu papan. Karena rawan terjadi pencampuran.
  3. Terjadi naskh. Awalnya memang Rasulullah melarang menulis sabda beliau. Kemudian setelah Al-Qur'an sudah "mapan" dan tidak dikhawatirkan tercampur dengan lainnya, beliau mengizinkan. Izin ini sekaligus menganulir larangan yang pernah beliau sampaikan;
  4. Larangan tersebut berlaku khusus bagi orang yang malas menghafal.
  5. Sebagian ulama mengatakan hadits tentang larangan menulis hadits adalah hadits mauquf. Dengan kata lain bukan Rasulullah yang mengatakan hal itu, melainkan sahabat yang meriwayatkannya. Dalam kasus ini adalah Abu Sa'id Al-Khudri. (Ahmad Ibnu Hajar, Fathul Bari, [Mesir: Maktabah Salafiyyah, 1970], juz I, halaman 208).


Dari beberapa opsi di atas, Ibnu Hajar sendiri menilai opsi ketigalah yang paling kuat. Demikian penjelasan ilmiah tentang legalitas menulis sabda Rasulullah saw. Wallahu a'lam.

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo