Ilmu Hadits

Mengenal Ilmu Living Hadits

Sel, 19 September 2023 | 21:00 WIB

Mengenal Ilmu Living Hadits

Foto Ilustrasi (NU Online)

Hadits sebagai sumber pedoman umat Islam diwarisi dari masa ke masa dengan beragam bentuknya. Dimulai dari tradisi lisan menggunakan sanad hingga kodifikasi hadits dan saat ini umat Islam bahkan dapat mengakses hadits melalui media digital. Di sisi lain, hadits juga diwarisi dalam bentuk praktik pengamalan di tengah masyarakat muslim, bahkan tingkat pengamalan ini sudah menjadi tradisi. Ada satu ilmu yang mempelajari terkait hadits yang hidup dalam suatu tradisi, yaitu ilmu Living Hadits.


Wujud dan praktik ilmu living hadits tidak berbeda dengan living Quran. Oleh karena itu, dalam hal definisi, keduanya memiliki kesamaan batasan pengertian. Ilmu living Quran dan living hadits adalah ilmu tentang al-Quran dan hadits-hadits yang hidup atau ilmu tentang menghidupkan al-Quran dan hadits, baik secara material natural, praktikal personal, maupun praktikal-komunal. Baik itu secara kognitif, maupun non-kognitif. Ia juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang gejala-gejala al-Quran dan hadits di tengah kehidupan umat manusia. (Ahmad‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Quran-hadits: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, 1st ed. Ciputat: Maktabah Darus-Sunnah, 2019, h. 29).


Objek kajian ilmu living hadits adalah artikulasi hadits di luar kitab-kitab hadits atau gejala-gejala hadits dalam kehidupan sosial budaya. Hasil yang dapat diperoleh dari ilmu ini adalah pengetahuan tentang keragaman pengamalan hadits, keragaman pola pikir dalam memahami dan mengamalkan hadits, pengetahuan tentang cara yang sangat bijak dalam pengamalan hadits Nabi, serta pengetahuan tentang pergeseran dan perubahan dalam hadits Nabi di dalam kehidupan umat manusia.


Terkait nisbah pada rumpun-rumpun ilmu lainnya, living hadits termasuk ilmu hadits secara praktis yang mengimplementasikan tentang pengamalan hadits. Dalam kajian ilmu hadits, ia dikategorikan sebagai ilmu non naskah hadits, atau ilmu hadits yang dikaji secara empiris, bukan normatif. Ia juga termasuk bagian dari ilmu sosiologi-antropologi Quran dan hadits.


Salah satu keistimewaan ilmu living hadits adalah untuk mengetahui bahwa suatu tradisi atau perilaku manusia memiliki nalar syariat, nalar keagamaan. la sangat berguna untuk para pendakwah atau para sosiolog dan antropolog Islam, khususnya ketika menghadapi beberapa problematika keumatan. Ilmu ini juga mampu mengungkap sejarah praktik hadits atau sejarah keberagamaan. Living hadits  juga mampu merumuskan konsep transformasi hadits ke dalam bentuk yang lebih hidup dan mewujud, sehingga dapat menjadi juknis ihya' al-sunnah.


Secara praktis, living hadits ditemukan oleh para ulama dakwah. para pendakwah Islam. Secara akademis, Malik bin Anas adalah yang pertama mencetuskan ilmu ini dengan konsep unggulannya dalam bidang syariah Islam, yaitu amal ahli madinah. Namun, secara fenomenologis, para sahabat atau bahkan Nabi sendiri sudah memulainya.


Pengetahuan tentang gejala hadits di tengah kehidupan manusia mula-mula dapat diperoleh melalui kegiatan takhrij lapangan (maydani). Di samping melalui ilmu takhrij hadits secara empiris (al-takhrij al-maydani li al hadith al-nabawi), ia juga dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap pemahaman dan penggunaan hadits di lapangan.


Hukum mempelajari ilmu ini adalah fardu kifayah. Artinya, ketika dalam suatu negeri muslim tidak ada yang menguasai keilmuan tentang living hadits (atau entah apa pun namanya), maka hadits itu tidak akan dihidupkan, dipraktikkan di situ. Sementara menghidupkan hadits adalah suatu keniscayaan dalam beragama Islam. Oleh karena itu jika sedikitnya ada satu orang saja yang ahli dalam bidang ini, maka sunnah Nabi pasti akan dapat lestari.


Secara garis besar, kasus-kasus yang paling memungkinkan untuk dikaji dalam bidang ini adalah di antaranya; Perwujudan hadits dalam bentuk materi atau benda; perwujudan ayat dan hadits dalam bentuk perilaku atau praktik, perwujudan. ayat atau hadits dalam bentuk lembaga dan kemasyarakatan.


Salah satu hal terpenting dalam membedakan kajian living hadits sebagai bagian dari ilmu hadits dengan kajian sosiologi antropologi adalah tahap penentuan polanya. Kajian living hadits bisa saja menjadi kajian sosiologi-antropologi murni apabila targetnya hanya sampai mendeskripsikan atau menentukan teori sosial apa yang relevan dengan fenomena penggunaan hadits tersebut.


Sebagai contoh, praktik pernikahan dini terdapat living hadits yang porsinya 100%, di sisi lain ada unsur budaya yang melatarbelakanginya 100%, dan keduanya berjalan beriringan tanpa terpisah.


Sebagai teori makro, living hadits "pernikahan dini" menunjukkan bahwa praktik tersebut benar-benar diinisiasi dan diinspirasi oleh sebuah hadits. Hadits tersebut dihidupkan oleh sebuah komunitas masyarakat dalam budaya perjodohan muda. Hadits ini juga dihidupkan bersamaan dengan "menghidupkan" hadits tentang jumlah perempuan yang lebih banyak daripada jumlah laki-laki. 


Sebagai teori mikronya, teori bias gender yang berkembang dalam ilmu sosial tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan teori yang relevan untuk membaca sebagian teori ini. Namun, teori ini bukan dijadikan sebagai teori utama.


Contoh lainnya, dalam praktik Nabi berpakaian ada tiga unsur penting berupa wahyu, budaya, dan juga wacana besar. Unsur wahyu terlihat hadits-hadits tentang keharusan menutup aurat, di mana bangsa Arab tidak memiliki aturan ini saat itu. Di sisi lain, wahyu tentang berhias, menjaga hati dan perasaan orang lain dalam hal berpenampilan sangat menginspirasi bangsa Arab dalam soal berpakaian. Itulah unsur-unsur wahyu dalam budaya berpakaian muslim pada masa Nabi.


Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah mengatakan, teori makro dalam kajian living hadits seperti gaya berpakaian tadi adalah bahwa “masyarakat muslim pada masa Nabi menjadikan al-Quran dan hadits sebagai korektor sekaligus pengembang budaya berpakaian masyarakat Arab.”


Selanjutnya adalah teori mikro yang dapat digunakan dalam contoh di atas adalah misalnya teori politik identitas, sebagaimana yang disebutkan Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah dalam bukunya. Teori sosial berupa “politik identitas” dipakai untuk menghidupkan wahyu tentang menutup aurat dan berhias dalam budaya Arab yang telah ada yaitu budaya berpakaian sehari-hari (berjubah dan bersorban). 


Living hadits dalam konteks di atas menjadi pengoreksi budaya, dalam saat yang bersamaan juga menjadi politik identitas yang dinilai urgen bagi masyarakat muslim yang kala itu adalah kelompok minoritas di tengah masyarakat Quraisy yang mayoritas kaum pagan.


Contoh satu ini memiliki wacana besar dalam misi Nabi Muhammad Saw yaitu untuk menjaga kehormatan dan harga diri (hifz al-‘irdh) melalui budaya berpakaian, sehingga di saat yang bersamaan dia juga menjaga agamanya (hifz al-din) dan menjaga dirinya (hifz al-nafs).


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences