Ilmu Hadits

Mengurai Takfiri atau Mengafirkan Sesama Muslim dalam Perspektif Hadits

Rab, 21 Desember 2022 | 17:00 WIB

Mengurai Takfiri atau Mengafirkan Sesama Muslim dalam Perspektif Hadits

Teologi takfiri memiliki dasar di dalam khazanah Islam. (Ilustrasi: freepik).

Sering kali kita dengar ada orang atau sekelompok orang muslim yang sengaja mengafirkan (takfîr) terhadap sesamanya yang muslim atau mengatakan kepadanya sebagai musuh Allah ataupun musuh Islam. Masalah takfîr (takfiri) ini sangat membahayakan, karena bisa menjadi pintu masuk bagi tindakan intoleransi dan aksi tidak berperikemanusiaan, terorisme, hingga bom bunuh diri. 


Bagaimana sejatinya masalah takfîr itu? Masalah takfîr setidaknya dapat dikaji dari perspektif hadits. Paling kurang ada tiga redaksi hadits yang berkaitan dengan takfîr. Semuanya terdapat dalam Kitab Shahîh Muslim bagian Kitâb al-Îmân, Bab ke-26: Bâb Bayân Hâl Îmân Man Qâla li-Akhîhi al-Muslim: Yâ Kâfir (Bab Penjelasan tentang Keadaan Imannya Orang yang Mengatakan kepada Saudaranya yang Muslim: ”Hai Kafir”). Pertama:


إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا


Artinya, “Apabila seseorang mengafirkan saudaranya maka sungguh  salah satu dari keduanya kembali kepada kekafiran sebab perkataan tersebut.” (HR. Muslim, hadits nomor 111). 


Kedua, dalam redaksi lain, berbunyi:


أَيُّمَا امْرِىءٍ قَالَ لِأَخِيْهِ كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ


Artinya, “Siapapun orang yang berkata kepada saudaranya kafir, maka sungguh sebab perkataan tersebut salah satu dari keduanya itu menjadi kafir, bila ia sebagaimana apa yang dikatakan orang itu, tetapi bila tidak demikian, maka hal kafir itu kembali padanya,” (HR Muslim, hadits nomor 111).


Ketiga, dalam riwayat lain, berbunyi:


لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ، إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ.


Artinya, “Bukanlah seseorang yang mengaku (menasabkan hubungan sebagai bapak) kepada selain bapaknya, padahal ia mengetahuinya –orang lain itu bukanlah bapaknya, kecuali ia menjadi kafir, dan barang siapa yang mengaku sesuatu yang bukan miliknya, maka ia tidak termasuk golongan kami [tidak dalam petunjuk kami dan indahnya jalan kami], dan hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka, dan barang siapa yang memanggil seseorang dengan kekafiran, atau ia berkata musuh Allah, dan padahal ia tidaklah sebagaimana yang dikatakan itu, kecuali hal kekafiran itu kembali (menimpa)  atasnya.” (HR Muslim, hadits nomor 112).


Hadits yang kedua tersebut, dengan redaksi yang mirip dan lebih singkat, juga diriwayatkan Al-Tirmidzî, dalam Sunan al-Tirmîdzî, pada Abwâb al-Îmân, bab ke-16, Bâb Man Ramâ Akhâhu bi-Kufr, nomor 2774 (Tuhfat al-Ahwadzî bi-Syarh Jâmi‘ al-Tirmîdzî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, jilid VII, halaman 326), dan Abȗ Dawud dalam Sunan Abî Dâwud, Kitâb al-Sunnah, Bab ke-15, Bâb al-Dalîl ‘alâ Ziyâdat al-Îmân wa-Nuqshânihi [Bab Dalil atas Bertambah dan Berkurangnya Iman], hadits nomor 4673 (‘Aun al-Ma‘bȗd Syarh Sunan Abî Dâwud, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998, Cet. ke-1, jilid VI, Juz XII, hlm. 288).


Syaikhul Islam Muhy al-Din Syaraf al-Nawawî, terkenal sebagai Imam Nawawi (631-676 H/1233-1277 M), ulama terkemuka mazhab Syafi’i, dalam kitabnya Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, menjelaskan hadits tersebut dengan mengatakan bahwa hadits ini oleh sebagian ulama dipandang termasuk persoalan yang problematik (musykilât) dari segi bahwa makna harfiah hadits itu bukanlah yang dimaksud. Hal ini karena mazhab ahli hak (peneguh kebenaran) menyatakan bahwa seorang muslim tidaklah menjadi kafir sebab (melakukan) kemaksiatan-kemaksiatan seperti membunuh dan berzina, demikian juga perkataannya terhadap saudaranya “kafir” tanpa menyakini batalnya agama Islam, dan bila apa (penjelasan) yang kami kemukakan tersebut telah diketahui (dipahami), maka dikatakan dalam ta’wil (interpretasi) hadits tersebut ada beberapa pendapat berikut: 


Pertama, bahwa hadits itu diberlakukan terhadap orang yang mustahil (tidak mungkin) melakukan kekafiran itu, dan sebab hal inilah (perkataan yang mengafirkan itu) seseorang yang mengatakannya itu menjadi kafir, maka atas dasar inilah makna “bā’a bihā”, yakni sebab perkataan kafir, dan demikian ini kata “hāra ‘alaih”, dan itulah makna “raja‘at ‘alaih,” yakni kembali padanya kekufuran, maka kata “bā’a,” “hāra,” dan “raja‘at” adalah satu makna (sinonim). 


Kedua, maknanya adalah “raja‘at ‘alaihi naqîshatuhu li akhīhi wa ma‘shiyyatu takfīrihi”, kembali atasnya suatu kekurangannya yang (dikatakan) kepada saudaranya, dan kemaksiatan mengafirkannya.


Ketiga, bahwa hadits tersebut diterapkan terhadap kelompok Khawarij yang mengafirkan orang-orang mukmin. Perspektif (pendapat) ini dikutip oleh al-Qâdhî ‘Iyâdh rahimahullâhu, dari Imam Mâlik bin Anas, dan itu (pendapat) lemah, karena mazhab yang benar dan dipilih yang dikemukakan oleh mayoritas ulama dan ulama muhaqqîq (yakni ulama mumpuni pada suatu bidang ilmu, ahli mengurai perbedaan para ahli di bidang tersebut, mengumpulkan dalil-dalil, menguji dan membandingkannya, sehingga mampu mentarjih atau mengunggulkan dalil yang lebih unggul, serta membangun dalil-dalil bagi keunggulannya, dan dalil-dalil ketidakunggulan yang lainnya) adalah bahwa kelompok Khawarij tidaklah kafir sebagaimana seluruh pelaku bid’ah (ahlul bida‘).


Keempat, makna hadits itu bahwa hal tersebut ditakwilkan (diinterpretasikan) artinya kepada kekufuran, dan hal itu karena kemaksiatan –sebagaimana mereka katakan–dikehendaki artinya sebagai kekufuran, dan dikhawatirkan terhadap orang yang sering melakukannya, bahwa akhir hayatnya adalah kembali kepada kekufuran.


Pendapat ini dikuatkan oleh keterangan dalam riwayat Abȗ ‘Uwânah al-Isfarâyînî dalam kitabnya al-Makhraj ‘alâ Shahîh Muslim: Maka jika orang tersebut demikian adanya sebagaimana yang dikatakannya –maka yang mengatakan itu tidaklah menjadi kafir, –akan tetapi bila orang tersebut tidak sebagaimana yang dikatakannya, maka dialah justru yang menjadi kafir, sebab perkataan mengafirkan–saudaranya yang muslim tersebut. Dalam suatu riwayat: “Idzā qāla li akhīhi ‘yā kāfir’ wajaba al-kufru ‘alā ahadihimā”, apabila ia mengatakan kepada saudaranya “hai kafir,” maka kekafiran itu wajib (menimpa) atas salah satu dari keduanya.


Kelima, maknanya hadits adalah maka sungguh pengafiran itu kembali terhadapnya; maka pendapat yang unggul (rājih) bukanlah tentang hakikat kufur itu melainkan tentang mengafirkan (takfir), karena dia menjadikan saudaranya yang mukmin sebagai kafir (nonmuslim), maka seolah-olah dia mengafirkan dirinya sendiri, ada kalanya karena ia mengafirkan seseorang yang semacamnya, dan ada kalanya ia mengafirkan seseorang yang tidak dikafirkan kecuali oleh orang kafir (nonmuslim) yang meyakini batalnya agama Islam. Wallâhu a‘lam.


Kemudian mengenai sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang mengaku-aku –menasabkan dan menjadikan sebagai bapaknya-- terhadap selain bapaknya, padahal ia mengetahui bahwa orang tersebut bukanlah bapaknya: maka menjadi kafir”, maka dikatakan dalam masalah ini ada dua penjelasan (takwil). Pertama, bahwa hal itu dalam hal yang mustahil. Dan kedua, bahwa hal itu merupakan pengingkaran terhadap nikmat dan perbuatan baik (kufr al-ni‘mat wa al-ihsân), terhadap hak Allah Taala dan hak bapaknya, dan bukanlah berarti kufur (kafir) yang mengeluarkannya dari agama Islam. (al-Nawawî, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî, Kairo: Dâr al-Hadits, 2001, Cet. ke-4, juz I, halaman 326).


Oleh karena itu, janganlah sampai seorang muslim mengafirkan sesama muslim maupun mengatakannya sebagai musuh Allah ataupun musuh Islam, karena menurut pendapat yang paling ringan (pendapat keempat dari lima pendapat) di atas, dikhawatirkan orang yang sering takfîr tersebut matinya su’ul khatimah (menjadi kufur, nonmuslim). Na‘ûdzubillâh min dzâlik. Wallâhu a‘lam bish shawwâb.


Ustadz Ahmad Ali MD, Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang, Dosen Tetap Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ) Jakarta.