Ilmu Tauhid

Bagaimana Perasaan Menyembah Tuhan yang Tak Bertempat?

NU Online  ·  Ahad, 16 September 2018 | 08:30 WIB

Bagaimana Perasaan Menyembah Tuhan yang Tak Bertempat?

Ilustrasi (islamveateizm)

Penganut teologi Hasyawiyah (golongan yang meyakini bahwa Tuhan juga mempunyai karakter fisikal) biasanya tak mampu menjangkau bagaimana rasanya menyembah Tuhan yang tak bertempat. Bagi nalar mereka, sosok yang tak bertempat di ruang mana pun berarti sosok yang tak wujud alias sama sekali tak ada. Nalar mereka membayangkan bahwa Tuhan sekalipun harus ada dalam batasan arah atau ruang sehingga kita bisa menghadap padanya dan bisa menunjuk jari terhadap lokasinya. Jadi tak heran apabila mereka sibuk menyanggah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) yang malah menafikan adanya ruang dan waktu bagi Tuhan sebab Tuhan memang telah ada sebelum waktu dan tempat ada.
 
Kali ini saya akan berusaha menjelaskan bagaimana rasanya menyembah Tuhan yang wujudnya tak berada di dalam ruang tertentu di semesta alam ini sehingga dengan sendirinya juga berada di luar putaran waktu. Tentu usaha ini hanya dalam batasan makna yang dapat dijangkau sebuah kata. Pada hakikatnya, keberadaan Allah tak bisa diungkapkan dengan kata apa pun. Keberadaan-Nya lebih jelas dari apa pun, lebih nyata dari apa pun, dan lebih kuat getarannya dalam hati dari rasa apa pun, tetapi dalam waktu yang sama Dia juga lebih misterius dari apa pun. Maha Suci Allah dari segala batasan sifat yang dapat digambarkan atau dilukiskan oleh keterbatasan manusia.
 
1. Dengan meyakini bahwa Tuhan tak bertempat, rasanya kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang tak terbatas apa pun, yang keberadaannya sepenuhnya tak tergantung pada apa pun, seperti firman-Nya: فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ, Allah Maha-tak butuh apa pun selain diri-Nya (QS. Ali Imran: 97), termasuk ruang dan waktu sekalipun. Dia ada tanpa sekat jarak, sekat arah, sekat ruang, sekat batasan fisikal. Kita hanya akan tenggelam dalam pesona kebesaran-Nya, kehebatan-Nya, kekuasaan-Nya, kedekatan-Nya, pengawasan-Nya tanpa batasan apa pun yang mengganggu pikiran.
 
2. Ketika kita shalat menghadapnya, kita bisa merasa bahwa Dia ada bersama kita, seperti Firman-Nya:  وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ, Dia bersama kalian di mana pun kalian berada (QS. Al-Hadid: 4) dan mengetahui semua gerakan badan dan hati kita, seperti firman-Nya: يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ , Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kalian tampakkan dan kalian sembunyikan. Allah Maha mengetahui isi hati (QS. At-Taghabun: 4), tanpa pernah terbesit di pikiran bahwa Dia ada di atas dan sedang melihat dari arah kepala kita saja. 
 
3. Ketika kita sujud, kita bisa menghayati betul sabda Rasul bahwa kita sedang dalam posisi terdekat kita dengan Allah, seperti sabda Nabi: أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ، وَهُوَ سَاجِدٌ, posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika sujud (HR. Muslim) tanpa terganggu dengan pikiran bahwa jangan-jangan Tuhan berada di bawah lantai.
 
4. Ketika kita menghadap ke arah mana pun, kita akan merasa bahwa kita sedang menghadap "wajah"-Nya seperti firman-Nya: فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ, ke mana pun kalian menghadap maka di sanalah "wajah" Allah (QS. Al-Baqarah: 115) tanpa terganggu pikiran bahwa Dia hanya ada di arah tertentu saja sehingga kita dapat berpaling menyembunyikan wajah kita dari-Nya.
 
5. Ketika kita bermunajat sendirian di tengah belantara antah berantah, kita dengan mantap meyakini bahwa kita tak perlu berteriak memanggil-Nya sebab kita tahu bahwa Dia selalu mendengar dengan amat jelas di mana pun, seperti firman-Nya: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ, ketika hamba-Ku menanyakan tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku menjawab panggilan orang yang memanggilku (QS. Al-Baqarah: 186) tanpa pernah terbesit pikiran bahwa kita sendirian.
 
6. Ketika kita menaiki kuda atau kendaraan apa pun, kita bisa dengan mudah menyadari bahwa Tuhan lebih dekat kepada kita daripada ujung depan kendaraan kita sendiri, seperti sabda Rasul: وَالَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ, Tuhan yang kalian sembah lebih dekat pada kalian daripada leher hewan tunggangan kalian (HR. Muslim).
 
7. Ketika kita melihat ke atas sana, melihat jauh ke batas terluar galaksi kita hingga ke milyaran galaksi lain yang kini bisa dijangkau teleskop manusia, kita akan melihat kekuasaan Tuhan mencakup seluruh jagad raya bahkan Arasy sekalipun tak mampu kita lihat, seperti firman-Nya: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ, Dia Maha berkuasa penuh atas hamba-hambanya (QS. Al-An’am: 18); الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى, Yang Maha Pengasih istawa atas Arasy (QS. Thaha: 5) tanpa sedikit pun merasa kontradiktif dengan kesadaran bahwa kita dapat merasakan-Nya di dekat kita bersama kita setiap waktu, baik kita di sedang di ruang terdalam planet ini atau sedang menjelajah di luar angkasa sana bersama para astronot.
 
8. Ketika kita berada di dasar lembah atau di lantas dasar gedung pencakar langit, kita tak perlu merasa lebih jauh dari Tuhan dibanding mereka yang berdiri di puncak gunung atau berada di lantas atas kita, seperti yang  dibayangkan oleh Syaikh Utsman ad-Darimy dalam kitabnya yang menjadi rujukan para pendaku salafi saat ini.
 
9. Ketika ada orang bertanya bagaimana bisa Tuhan ada di atas sekaligus bersama kita? Kita tak perlu repot mencontohkan keberadaan Tuhan seperti matahari atau bulan yang ada di atas tapi sekaligus ikut kemana pun langkah kita, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taymiyah, sebab orang itu akan menggugat keheranan "bukankah matahari atau bulan itu jauh? Apakah bisa dibilang Tuhan itu jauh juga?". 
 
10. Kita pun tak perlu repot berapologetik tentang fitrah seolah memahami tempat Tuhan di atas sana memang  fitrah manusia sebab itu tak sesuai realitas. Realitasnya, keyakinan seperti itu adalah "fitrahnya" para Mujassimah dari berbagai agama saja. Adapun "fitrahnya" para Jahmiyah adalah menganggap Tuhan di mana-mana. Lain lagi dengan "fitrahnya" ateis yang menganggap Tuhan sama sekali tak ada. Ketika bangun tidur, ketika senang, ketika susah, ketika apa pun juga semua pihak ini akan merujuk pada "fitrahnya" masing-masing. Inilah realitanya. Saya sengaja menulis kata fitrah dalam tanda kutip sebab yang demikian itu bukanlah fitrah yang sesungguhnya. Fitrah manusia yang sejati adalah meyakini adanya Tuhan tetapi bersih polos dari keyakinan tambahan apa pun tentangnya. Lingkungannyalah yang membentuk berbagai keyakinan tambahan tersebut di kemudian hari.
 
11. Kita pun akan terbebas dari pertanyaan kontradiksi yang ditujukan pada kaum Jahmiyah "Firman Allah yang mana atau hadits Nabi yang mana yang membuat anda mentakwil semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di atas tetapi memahami semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di bawah sesuai makna literal?". Di saat yang sama kita juga akan terbebas dari pertanyaan kontradiksi yang ditujukan pada kaum Mujassimah "Firman Allah yang mana atau hadits Nabi yang mana yang membuat anda mentakwil semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di bumi tetapi memahami semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di langit sesuai makna literal?". 
 
12. Kita tak perlu juga bertindak bodoh seperti Fir'aun ketika mengingkari keberadaan Tuhannya Nabi Musa. Ketika raja yang mengaku sebagai Tuhan ini menyadari bahwa Tuhannya Nabi Musa tak terlihat ada di sekitarnya dan bahkan di tempat mana pun di bumi, maka dia berkesimpulan bahwa Tuhannya itu pasti berada di langit sehingga dia membangun bangunan sangat tinggi sebagai pembuktian. Dengan itu, Fir'aun berusaha membuktikan pada masyarakatnya bahwa Nabi Musa berbohong mengenai keberadaan Tuhan sebab di atas sana juga tak terlihat apa pun.
 
13. Semua pertanyaan yang mungkin terbesit dalam hati dan bahkan diperdebatkan sepanjang sejarah manusia semisal: Bagaimana bisa Tuhan mengetahui segala kejadian yang terjadi di ujung dunia mana pun?. Bagaimana bisa Tuhan mengetahui masa lalu, masa kini dan masa depan?. Bagaimana bisa Tuhan mengetahui apa yang berada dalam hati? Bagaimana bisa secara bersamaan Dia digambarkan di atas Arasy, sekaligus bersama kita, sekaligus lebih dekat dari urat leher, sekaligus berada di mana pun kita menghadap, sekaligus di langit dunia tiap akhir malam (yang berarti setiap saat sebab tiap detik selalu ada wilayah yang mengalami akhir malam), sekaligus menjadi pihak keempat dari tiga orang yang sedang menjalin kerja sama?  Semua pertanyaan itu akan mudah terjawab bila tahu bahwa sejatinya Allah ada di luar ruang dan waktu (tak bertempat). 
 
Demikianlah, segala pikiran yang aneh tentang Allah akan mudah sirna bila kita meyakini Allah ada tanpa tempat. Kita hanya akan fokus untuk beribadah kepadanya dan merasakan kemahakuasaan Allah setiap waktu. Wallahu a'lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti Aswaja NU Center Jember.