Ilmu Tauhid

Keramat Para Wali dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

Jum, 4 Januari 2019 | 08:30 WIB

Masalah keramat para wali hampir selalu memicu diskusi yang berkepanjangan. Sebagian kecil orang memahami kepercayaan atas keramat para wali sebagai kemusyrikan. Sementara sebagian orang lainnya mempercayai keramat para wali sebagai bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka. 

Kelompok Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) seperti yang dianut oleh warga NU termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu mereka yang mempercayai keramat para wali. Kelompok Aswaja meyakini bahwa berkat keramat para wali sesuatu yang diharapkan atau dikehendaki dapat terjadi tanpa mencederai tauhid karena semuanya dipercaya terjadi karena Allah.

Bagi kalangan Aswaja, kepercayaan seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai kemusyrikan seperti yang dituduhkan oleh kelompok pertama. Pasalnya, mereka tetap meyakini bahwa sesuatu terjadi karena Allah semata, bukan karena keramat para wali sebagaimana penjelesan Syekh Ihsan Jampes Kediri berikut ini.

وهذا معنى قول بعضهم إن لهم التصرف فالتصرف الحقيقي الذي هو التأثير والخلق والإيجاد لله تعالى وحده لا شريك له، ولا تأثير للولي ولا غيره في شيء قط لا حيا ولا ميتا. فمن اعتقد أن للولي أو غيره تأثيرا في شيء فهو كافر باالله تعالى فأهل البرزخ من الأولياء في حضرة الله، فمن توجه إليهم وتوسل بهم فإنهم يتوجهون إلى الله تعالى في حصول مطلوبه فالتصرف الحاصل منهم هو توجههم بأرواحهم إلى الله تعالى والتصرف الحقيقي لله وحده

Artinya, “Ini pengertian ucapan sebagian ulama bahwa para wali dapat berbuat sesuatu. Perbuatan sejati yaitu memberikan dampak, menciptakan, dan mengadakan sesuatu hanya dilakukan oleh Allah yang esa, tanpa sekutu. Wali dan orang bukan wali tidak memberi dampak sedikit pun terhadap sesuatu baik ketika hidup maupun setelah wafat. Siapa saja yang meyakini bahwa wali dan orang bukan wali memberi dampak pada sesuatu, maka ia telah kufur terhadap Allah. Para wali di alam barzakh berada di hadirat Allah. Siapa saja yang mengarah kepada mereka dan bertawassul melalui mereka, maka sungguh mereka mengarah kepada Allah dalam  mewujudkan permintaan tersebut. Perbuatan para wali yang terwujud hakikatnya adalah tawajuh mereka kepada Allah sehingga perbuatan hakiki dilakukan oleh Allah sendiri,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 466-467).

Bagi kalangan Aswaja, keramat para wali dipahami sebagai sebab adat yang tidak berpengaruh seperti hubungan makanan-kenyang, obat-kesembuhan, dan hubungan sebab-akibat lainnya. Sebab hakiki, bagi kalangan Aswaja, adalah Allah sehingga dalam keyakinan mereka Allah pemberi rasa kenyang dan Allah pemberi kesembuhan.

فالواقع منهم من جملة الأسباب العادية التي لا تأثير لها وإنما يوجد الأمر عندها لا بهاعلى حسب ما أجراه الله تعالى من العوائد ولا تغتر بالشبهات التى تمسك بها الوهابية في منع التوسل والزيارة فإنها حجة باطلة 

Artinya, “Sesuatu yang terjadi dari para wali itu hanya sebab adat (sabab adi) yang tidak memiliki dampak. Sesuatu terjadi hanya berdampingan dengan sebab, bukan karena dipengaruhi oleh sebab tersebut sesuai dengan hukum kebiasaan yang diberlakukan oleh Allah. Jangan tertipu oleh propaganda kelompok wahabi untuk membuat ragu dalam menolak tawasul dan ziarah karena propaganda mereka adalah hujah yang batil,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 466-467).

Adapun sebagian kelompok melancarkan propaganda batil yang bertujuan membuat ragu kalangan Aswaja. Propaganda sebagian kelompok ini kemudian diuji dan dipatahkan oleh seorang mufti Syafi’iyah di Mekkah pada abad ke-19 M, yaitu Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

وقد بسط الكلام على ردها العلامة السيد أحمد دحلان في كتاب خلاصة الكلام في بيان أمراء البلد الحرام ونقله العلامة يوسف النبهاني في كتاب شواهد الحق فانظره فإنه مهم  

Artinya, “Sayyid Ahmad Zaini Dahlan telah membuat ulasan panjang perihal kelemahan hujah propaganda wahabi dalam karyanya Khulashatul Kalam fi Bayani Umara’il Baladil Haram. Penjelasan Syekh Ahmad Zaini Dahlan ini dikutip oleh Syekh Yusuf An-Nabhani dalam Kitab Syawahidul Haq. Perhatikan ulasan tersebut karena ini pasal penting,” (Lihat Syekh Ihsan M Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin ala Minhajil Abidin, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 466-467).

Perbedaan pandangan soal praktik tawasul dan keramat para wali ini seharusnya disikapi secara bijaksana. Pendukung kedua kelompok yang berbeda ini seharusnya saling menghargai, bukan saling mencaci. Wallahu a ‘lam. (Alhafiz K)