Ilmu Tauhid

Kisah Aneh Bingungnya Imam al-Haramain soal Aqidah

Rab, 12 September 2018 | 06:30 WIB

Imam al-Haramain (478 H) bernama lengkap Abul Ma'ali Abdul Malik bin Abdillah Al-Juwaini An-Naisaburi, atau dikenal secara luas sebagai Imam al-Juwaini atau Imam dua tanah suci (al-Haramain). Beliau adalah gurunya Imam al-Ghazali (505 H) sang Hujjatul Islam. Imam al-Haramain mempunyai kedudukan yang sangat tingi dalam keilmuan Ahlussunnah wal Jama’ah. 
 
Dalam bidang fiqih, beliau adalah orang yang pertama kali merangkum seluruh ragam pendapat ulama Syafi’iyah di masanya dalam satu kitab fenomenal yang bernama Nihayat al-Mathlab. Dari ringkasan dan komentar terhadap kitab inilah kemudian hampir seluruh kitab induk mazhab Syafi’i sejak abad ke-5 Hijriah lahir. Dalam bidang aqidah, beliau adalah salah satu tokoh yang mengembangkan pondasi berpikir manhaj aqidah Asy’ariyah.
 
Dengan reputasi yang sulit ditandingi siapa pun itu, level keilmuan Imam al-Haramain tak bisa diragukan sedikit pun. Namun demikian, ada sebuah kisah tak masuk akal tentang imam besar ini yang dikatakan bingung menjawab pertanyaan amat sederhana dari seseorang bernama al-Hamadani. Berikut ini terjemah kisahnya yang diceritakan oleh Adz-Dhahabi:
 
“Aku mendengar Abu al-Ma’ali al-Juwaini ditanya tentang firman Allah, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (Yang Maha Pengasih istawa atas ‘Arsy). Ia berkata: ‘Allah telah ada tanpa adanya ‘Arsy” dan mulai berbicara dengan pembicaraan yang kacau.’ Aku berkata, ‘Wahai Guru, kami telah paham apa yang engkau maksudkan. Tapi apakah engkau memiliki jawaban untuk kemestian-kemestian yang terjadi itu?’
 
Al-Juwaini berkata, ‘Apa yang engkau inginkan dengan ucapanmu dan apa yang engkau maksudkan?’ Aku berkata: ‘Tidaklah seseorang berdoa dengan mengucapkan Ya Rabb sebelum ia menggerakkan lisannya, keluarlah dari batinnya satu kehendak yang tidak akan menoleh ke kanan dan ke kiri, namun dia mengarah ke atas. Apakah engkau memiliki jawaban untuk sebuah kehendak dan tujuan yang mesti terjadi seperti ini? Beritakanlah kepada kami agar kami terlepas dari persoalan (Allah berada) di atas atau di bawah.’ Aku pun menangis, dan orang-orang pun menangis.
 
Sang Guru pun memukulkan lengannya ke kursinya dan berteriak: ‘Oohh... Alangkah membingungkan hal ini.’ Ia pun menyobek apa yang ada di atas kursi dan [seolah] terjadi kiamat di masjid kemudian Ia pun turun dan tidak menjawab pertanyaanku kecuali mengatakan: ‘Oh, Kekasihku (Allah), membingungkan… membingungkan…’ Setelahnya aku mendengar sahabat-sahabatnya mengatakan, ‘Kami mendengar ia berkata, al-Hamadani telah membuat aku bingung’.” (Adz-Dzahabi, al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffâr, halaman 259).
 
Kisah tersebut dikutip berulang kali oleh para pengkritik manhaj Asy’ariyah sebagai bukti bahwa imam mereka kebingungan dan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana tentang tempat Tuhan. Benarkah benar demikian? Mari kita kaji rantai riwayat (sanad) dan konten redaksi (matan) cerita itu.
 
Baca juga:
• Bolehkah Mengatakan Allah Bersemayam di Atas Arasy?
• Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits Bahwa Allah Tak Bertempat
 
Kajian Sanad
 
Riwayat itu diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dengan cara ijazah dari satu tokoh ke tokoh lainnya; dari Abu Mansur bin al-Walid al-Harimi dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada Abu Sa’id az-Zanjani. Sudah maklum bahwa Adz-Dhahabi yang lahir pada tahun 673 H tidak bertemu langsung dengan periwayat pertama kisah itu, yakni Abu Mansur bin al-Walid al-Harimi yang wafat pada tahun 643 H. Demikian juga ada keanehan bila al-Harimi konon mengirimkan risalah kisah ini ke Abu Sa’id az-Zanjani yang hidup pada tahun 380-471 H. Keanehan ini dinyatakan dalam penelitian Syekh Ghaits al-Ghalibi dalam bukunya yang berjudul Durar al-Alfâdz al-‘Awâli.
 
Di sisi lain jauh sebelum al-Ghalibi melakukan penelitian, Imam as-Subki mengomentari sanad kisah ini sebagai berikut:
 
قد تكلّف لهَذِهِ الْحِكَايَة وأسندها بِإِجَازَة على إجَازَة مَعَ مَا فِي إسنادها مِمَّن لَا يخفى محاطة على الْأَشْعَرِيّ وَعدم مَعْرفَته بِعلم الْكَلَام
 
“Adz-Dzahabi memaksakan cerita ini dan menyandarkannya pada ijazah atas ijazah lain serta di sanadnya sudah jelas ada orang yang tidak mengerti [aqidah] Asy’ary dan tidak tahu ilmu kalam.” (as-Subki, Thabaqât as-Syâfi’iyah, juz V, halaman 190).
 
Kesimpulan akhir dari penelitian Syekh al-Ghalibi, sanad di atas ia katakan sebagai versi periwayatan ijazah yang paling lemah. (Ghaits al-Ghalibi, Durar al-Alfâdz al-‘Awâli, halaman 89).
 
Versi lain sanad kisah ini adalah dari jalur Muhammad bin Thahir dari Abu Jakfar. Jalur ini disebut oleh Imam as-Subki di kitab yang sama sebagai: لَا يقبل نَقله (tidak diterima penukilannya). Pernyataan as-Subki ini juga senada dengan pengakuan Adz-Dzahabi sendiri dalam kitab Mîzân al-I’tidâl yang mengatakan bahwa Muhammad bin Thahir al-Maqdisi adalah:
 
 ليس بالقوى، فإنه له أوهام كثيرة في تواليفه
 
“Lemah, tidak kuat. Sesungguhnya dia punya banyak salah paham (wahm) dalam karya-karyanya”.  (Adz-Dzahabi, Mîzân al-I’tidâl, juz III, halaman 587(.
 
Kajian Matan
 
Secara matan atau konten redaksi kisah tersebut, tidak masuk akal apabila profil sehebat Imam al-Haramain memukulkan lengannya ke kursi dan berteriak di masjid: “Ooh.. Alangkah membingungkan hal ini” lalu menyobek barang-barang hingga seolah terjadi kiamat di masjid. Orang-orang pun menangis dan beliau turun tanpa memberi jawaban dan malah mengatakan: “Oh kekasihku (Allah), membingungkan… membingungkan…”.  Siapakah yang bisa percaya cerita ini? Bahkan orang bodoh pun takkan melakukan hal semacam itu di masjid, apalagi selevel Imam al-Haramain.
 
Sama seperti seluruh orang yang berpikiran rasional lainnya, Imam as-Subki menolak keras matan kisah ini dan bahkan mengkritik balik adz-Dzahabi, periwayatnya. Beliau berkata: “Bagaimanakah keadaan adz-Dzahabi dan orang sepertinya apabila yang seperti imam al-Haramain saja bisa bingung?”. (as-Subki, Thabaqât as-Syâfi’iyah, juz 5 halaman 191). 
 
Padahal jawaban dari pertanyaan al-Hamadani tersebut sangat mudah dan sudah ada sejak jauh sebelumnya; di era Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Ahmad (241 H), at-Thahawi (321 H), dan tentu saja Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (324 H), pendiri manhaj Asy’ariyah. Jawaban itu kemudian diteruskan di masa al-Baqillani (403 H), Ibnu Furak (406 H), al-Baihaqi (458 H) dan tertulis di kitab-kitab mereka. 
 
Jawaban pertanyaan al-Hamadani itu adalah ketinggian yang dimiliki Allah yang ada dalam hati setiap muslim adalah ketinggian mutlak (sifat al-‘Uluw), bukan ketinggian dalam arti arah atau susunan fisikal antara sesutu yang secara fisik berada di bawah dengan sesuatu yang secara fisik ada di atasnya sebab ini adalah sifat jismiyah yang mustahil bagi Allah. Di sisi lain, langit memang kiblat bagi doa sehingga wajar saja bila ketika seseorang berdoa lalu hatinya mengingat langit tempat ia menengadahkan tangannya seperti halnya wajar pula ketika orang hendak salat, maka hatinya akan mengingat ka’bah tempat ia harus menghadapkan tubuhnya. Baik langit atau ka’bah, keduanya bukan tempat bagi Dzat Allah melainkan tempat hamba-Nya mengarah dan menghadap. Dalil bagi hal ini sangat banyak dan diyakini oleh para ulama yang tak terhitung jumlahnya selama seribu tahun terakhir ini. Wallahu A’lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center Jember