Home Bahtsul Masail Shalawat/Wirid Ramadhan Ilmu Hadits Khutbah Tasawuf/Akhlak Sirah Nabawiyah Doa Tafsir Hikmah Tafsir Mimpi Nikah/Keluarga Ilmu Tauhid Doa Lainnya

Menyoal Terjemahan Kemenag atas Kata 'Istawa' dalam Al-Qur’an

Menentukan Makna Dhahir Kata Istawa

Sebagian pihak mengatakan bahwa makna dhahir dari istawa memang duduk bersemayam. Makna dhahir yang dimaksud di sini adalah makna yang jelas dapat dipahami orang secara umum ketika kata ini didengar. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar sebab makna dhahir sangat ditentukan oleh objek yang dibahas dan bagaimana konteks kalimat yang membahasnya. Misalnya kata istawa dalam ayat Al-Fath: 29   فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ,  sepintas saja orang yang mengerti bahasa arab tahu bahwa maksud ayat itu adalah tunas yang menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya tanpa ada makna duduk di sana. Demikian juga dalam kalimat اِسْتَوَى الفاكِهَةُ , pembaca akan paham bahwa maknanya adalah buahnya telah masak. Apabila konteksnya adalah kedewasaan seperti dalam kalimat اسْتَوَى فلانٌ, maka pembaca akan paham bahwa maksudnya adalah Si Fulan telah sempurna masa mudanya.

 

Adapun apabila objek yang dibahas adalah manusia dan konteksnya adalah menaiki sesuatu, maka makna istawa memang duduk atau bersemayam. Makna duduk atau bersemayam ini dapat dilihat dengan jelas dalam hadits berikut ini:

 

عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ شَهِدْتُ عَلِيًّا أُتِيَ بِدَابَّةٍ لِيَرْكَبَهَا فَلَمَّا وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الرِّكَابِ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ ثَلَاثًا فَلَمَّا اسْتَوَى عَلَى ظَهْرِهَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ


“Dari Abu Ishaq dari Ali bin Rabi'ah, ia berkata: Aku menyaksikan Ali diberi hewan untuk ia tunggangi, kemudian tatkala ia telah meletakkan kakinya di dalam sanggurdi, ia mengucapkan: Bismillâh tiga kali, dan ketika telah duduk/bersemayam di atas punggungnya ia mengucapkan: al-hamdu lillâh.” (HR. Tirmidzi)

 

Karena itulah, maka wajar apabila az-Zurqani berkata:

 

فأول ما اتفقوا عليه صرفها عن ظواهرها المستحيلة واعتقاد أن هذه الظواهر غير مرادة للشارع قطعا كيف وهذه الظواهر باطلة بالأدلة القاطعة وبما هو معروف عن الشارع نفسه في محكماته؟

 

"Yang pertama disepakati para ulama adalah memalingkannya dari makna lahiriahnya (dhahir) yang mustahil bagi Allah dan meyakini bahwa secara pasti makna-makna dhahir ini tidak dikehendaki oleh Syari’ (Allah dan Rasulullah). Bagaimana tidak, makna-makna dhahir ini batil dengan dalil-dalil yang pasti dan dengan apa yang telah diketahui dari Syari’ sendiri dalam ayat-ayat muhkamatnya.” (az-Zurqani, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, II, 286)

 

Yang ia maksud dengan pernyataan itu adalah makna dhahiristawa” yang berlaku pada manusia tidaklah dimaksudkan berlaku juga pada Allah sebab itu mustahil, dan ini merupakan kesepakatan ulama. Dengan kata lain, karena makna dhahiristawa” bagi manusia adalah duduk atau bersemayam, maka makna istawa bagi Allah bukanlah duduk, bertempat atau bersemayam. Ia juga mustahil disebut sebagai fase kematangan Tuhan sebab tak mungkin Tuhan mempunyai fase-fase. Seluruh dhahir semacam ini tertolak karena Allah tidak serupa dengan apa pun (laisa kamitslihi syai’).

 

Adapun makna dhahir yang sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah sebagaimana dibahas sebelumnya, maka makna-makna tersebut dapat diterima. Imam az-Zarkasyi sebagai berikut:

 

أن كل ما ورد في الكتاب والسنة الصحيحة من الصفات اللائقة بجلاله، نعتقد ظاهر المعنى

 

"Keterangan yang shahih dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang sifat-sifat Allah yang layak bagi-Nya, kita meyakini dhahir maknanya.” (az- Zarkasyi, Tasynîf al-Masâmi’ Bi Jam’i al-Jawâmi’, IV, 676).

 

Karena itulah, Adz-Dhahabi mengatakan bahwa kata zâhir mempunyai dua makna yang berbeda:

 

قُلْتُ: قَدْ صَارَ الظَّاهِرُ اليَوْم ظَاهِرَيْنِ: أَحَدُهُمَا حق، والثاني باطل، فالحق أن يَقُوْلَ: إِنَّهُ سمِيْع بَصِيْر، مُرِيْدٌ متكلّم، حَيٌّ عَلِيْم، كُلّ شَيْء هَالك إلَّا وَجهَهُ، خلق آدَمَ بِيَدِهِ، وَكلَّم مُوْسَى تَكليماً، وَاتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَأَمثَال ذَلِكَ، فَنُمِرُّه عَلَى مَا جَاءَ، وَنَفهَمُ مِنْهُ دلاَلَةَ الخِطَابِ كَمَا يَليق بِهِ تَعَالَى، وَلاَ نَقُوْلُ: لَهُ تَأْويلٌ يُخَالِفُ ذَلِكَ. وَالظَّاهِرُ الآخر وَهُوَ البَاطِل، وَالضَّلاَل: أَنْ تَعتَقِدَ قيَاس الغَائِب عَلَى الشَّاهد، وَتُمَثِّلَ البَارِئ بِخلقه، تَعَالَى الله عَنْ ذَلِكَ، بَلْ صفَاتُهُ كَذَاته، فَلاَ عِدْلَ لَهُ، وَلاَ ضِدَّ لَهُ، وَلاَ نظير له، ولا مثيل لَهُ، وَلاَ شبيهَ لَهُ، وَلَيْسَ كَمثله شَيْء، لاَ فِي ذَاته، وَلاَ فِي صفَاته، وَهَذَا أمرٌ يَسْتَوِي فِيْهِ الفَقِيْهُ وَالعَامِيُّ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

 

“Saya berpendapat bahwa kata zâhir hari ini ada dua macam, yang pertama adalah benar dan yang kedua adalah batil. Yang benar adalah berkata bahwa Allah Maha Mendengar, Melihat, Berkehendak, Berfirman, Hidup, Mengetahui, segala sesuatu akan hancur kecuali Wajh-Nya, Allah menciptakan Adam dengan Yad-Nya, berfirman pada Musa dengan firman sebenarnya, menjadikan Ibrahim sebagai kekasih, dan yang semisal itu. Maka kita membiarkan saja sebagaimana redaksi aslinya dan kita memahaminya sesuai dengan apa yang layak bagi Allah Ta’ala. Dan, kita tak berkata bahwa itu punya takwil yang menyelisihi itu. Adapun zâhir lainnya adalah yang batil dan sesat yaitu meyakini analogi hal yang ghaib (sifat Allah) terhadap yang terlihat dan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Allah Mahasuci dari hal itu. Tetapi sifat-sifatnya seperti halnya Dzat-Nya, sehingga tidak mempunyai saingan, tidak mempunyai lawan, tidak mempunyai perbandingan, tidak mempunyai hal yang mirip, dan tidak mempunyai keserupaan. Dan, tak ada satu pun yang sama dengan-Nya, tidak di dalam Dzat-Nya atau sifat-sifatnya. Ini adalah perkara yang sama antara orang yang terpelajar dan orang bodoh. Wallahu a’lam.” (adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, XIV, 332).

 

Dengan pemahaman yang tepat terhadap Allah, maka tidak ada satu pun makna dhahir dari kalamullah yang akan bermakna yang tidak-tidak. Kaum muslimin secara umum ketika mendengar ungkapan bahwa Allah ghadliba (murka) atau rahima (mengasihi) terhadap suatu kaum, mereka akan memahaminya dengan jelas tanpa terbesit dalam pikirannya makna emosi atau perubahan hormon dalam diri Allah; Ketika mendengar ungkapan bahwa Allah nasiya (melupakan) suatu kaum, maka mereka akan memahaminya sebagai Allah mengabaikan mereka atau tidak memberikan rahmat kepada mereka, tanpa terbesit makna hilang ingatan; Demikian pula ketika mereka mendengar ungkapan bahwa Allah istawa (menguasai/Mahatinggi), maka mereka akan memahaminya dengan jelas sebagai kekuasaan atau dominasi mutlak Allah atas seluruh makhluk tanpa ada yang terbesit dalam pikirannya bahwa Allah berperang terlebih dahulu dengan Arasy hingga menang atau berpikir bahwa Allah sedang duduk atau bertempat tinggal (bersemayam) di lokasi yang ada di atas Arasy. Mereka pun tidak akan memahaminya sebagai ketinggian Allah secara fisik di atas benda fisik lainnya yang bernama Arasy.

 

Sebab itulah, Imam Abul Hasan al-Asy’ari pernah berkata:

 

لأن القرآن على ظاهره، ولا يزول عن ظاهره إلا بحجة، فوجدنا حجة أزلنا بها ذكر الأيدي عن الظاهر إلى ظاهر آخر، ووجب أن يكون الظاهر الآخر على حقيقته لا يزول عنها إلا بحجة

 

“Sebab Al-Qur’an seluruhnya atas makna dhahir-nya. Makna dhahir tersebut tidak hilang kecuali dengan hujjah. Maka kita dapati suatu hujjah yang dengannya kita menghilangkan makna al-aydi (tangan-tangan) menuju makna dhahir lainnya. Makna dhahir lainnya itu pun sesuai hakikatnya, tidak berpindah dari makna hakikat tersebut kecuali dengan hujjah lainnya.” (Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibânah, halaman 138)

 

Dengan demikian, mereka yang mengatakan bahwa makna dhahir istawa adalah bersemayam sebetulnya sedang berpikir yang tidak-tidak tentang Allah sehingga makna inilah yang muncul pertama kali di benaknya. Apabila ia membuang jauh-jauh pikiran yang tidak-tidak ini, maka makna ini pun tidak akan muncul sejak awal sebab berbicara tentang Allah berbeda jauh dengan berbicara tentang manusia sehingga makna dhahir dalam seluruh ungkapan tentang Allah juga berbeda sepenuhnya dengan makna dhahir dalam ungkapan tentang manusia.

 

Maksud Benar Tetapi Salah Diksi

Sebagai akhir, penulis sama sekali tidak hendak berkata ataupun menyampaikan kesan bahwa para penerjemah Al-Qur’an secara umum beraqidah tidak benar atau menjadi Mujassimah sebab menerjemah istawa sebagai bersemayam, sama sekali tidak. Sebaliknya, penulis meyakini mereka semua adalah orang-orang yang beraqidah lurus serta berjasa besar dalam penerjemahan mushaf ke dalam Bahasa Indonesia sehingga dapat dipahami secara luas. Apalagi edisi penyempurnaan 2019 secara umum mempunyai kecermatan dan ketelitian di atas terjemahan versi sebelumnya. Akan tetapi masalahnya hanya pada level pemilihan diksi yang kurang tepat untuk mengungkapkan keyakinan yang benar itu.

 

Dalam pembahasan aqidah, hal semacam ini kerap terjadi. Beberapa orang awam biasa berkata bahwa Allah di mana-mana, secara aqidah ungkapan bernuansa ala Jahmiyah ini bermasalah akan tetapi pengucapnya ketika ditanya ternyata bermaksud pada pengawasan dan ilmu Allah ada di mana-mana. Tentu saja maksud tersebut benar meskipun diksi yang ia pilih bermasalah. Sebagian lagi biasa berkata bahwa Allah berada di atas langit, secara aqidah ungkapan bernuansa ala Mujassimah ini juga bermasalah, akan tetapi ternyata ketika ditanya ternyata maksudnya bukan Allah bertempat atau mempunyai batasan fisik/jismiyah melainkan ungkapan sifat kemahatinggian Allah (sifat ‘uluw). Maksud ini pun benar meskipun sepintas diksi yang ia gunakan bermasalah.

 

Hal semacam ini bukan hanya terjadi pada orang awam, beberapa tokoh Hanabilah tercatat memaknai istawa sebagai istiqrâr. Kata istiqrâr bermakna berkediaman, menetap atau tinggal. Kata ini setara dengan terjemahan bersemayam yang dikritik dalam tulisan ini. Syekh Ibrahim bin Hasan al-Kaurani menolak kritik para ulama Syafi’iyah atas pemaknaan Hanabilah tersebut. Menurutnya, istiqrâr (bersemayam) bagi Allah bukanlah istiqrâr bagi makhluk sebab Allah bukanlah jisim sehingga istiqrâr-nya  juga bukan istiqrâr-nya satu jisim di atas jisim lain. Konsekuensinya, ia mengatakan bahwa istiqrâr-nya Allah tidak dapat diartikan yang tidak-tidak. (Mahmud Syukri al-Alusi, Ghâyat al-Amânî Fi ar-Raddi ‘ala an-Nabhânî, II, 123). Penulis yakin bahwa kasus yang dibahas sekarang sama seperti ini; Tidak ada penerjemah Al-Qur’an tersebut yang berpikir yang tidak-tidak ketika mereka memilih diksi bersemayam tersebut. Dan, dalam Webinar yang penulis ikuti bersama tim penerjemah tersebut memang dikonfirmasi bahwa maksud mereka bukanlah makna yang tidak-tidak tersebut. Namun masalahnya, kenapa memilih diksi tersebut ketika sudah nyata bahwa diksi itu bukan satu-satunya diksi yang tersedia dan jelas bahwa syariat tidak datang dengan diksi tersebut? Bukankah lebih baik memilih diksi yang tidak problematik daripada mempertahankan diksi yang berpotensi menyebabkan pembaca salah paham?

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak alasan yang betul-betul kuat untuk mempertahankan tradisi menerjemah istawa ‘ala dengan kata bersemayam. Sudah waktunya Al-Qur’an terjemah berbahasa Indonesia memakai diksi yang aman dari îhâm (potensi kesalahpahaman) dan menjadi poin kesepakatan. Wallahu a’lam.

 

 

Abdul Wahab Ahmad, Peneliti Bidang aqidah di PW Aswaja NU Center Jawa Timur



Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

Terkait

Ilmu Tauhid Lainnya

Rekomendasi

topik

Berita Lainnya

×