Ilmu Tauhid

Salaf sebagai Realitas dan Fiksi (2-Habis)

Sab, 29 September 2018 | 13:30 WIB

Salaf sebagai Realitas dan Fiksi (2-Habis)

Ilustrasi (The Independent)

Salaf sebagai Sebuah Fiksi
 
Makna lain dari kata “salaf” adalah salaf yang tidak jelas siapa tokohnya dan bagaimana pendapatnya serta bagaimana bangunan argumennya secara utuh dalam berbagai hal. Dengan kata lain, salaf dalam arti kedua ini adalah tokoh fiksi. Hanya saja selalu diklaim bahwa “salaf” ini hidup di era yang mulia (tiga kurun pertama) hijriah. 
 
Salaf dalam arti kedua ini biasanya dianggap sebagai sebuah manhaj yang menjadi kesepakatan (ijmak) seluruh generasi terbaik umat Islam. Karenanya, salaf dalam pengertian ini selalu diklaim sebagai satu-satunya representasi kebenaran dan tidak mengandung perbedaan pendapat. Akibatnya, seluruh pendapat yang ternyata berbeda dari "salaf" ini akan otomatis dianggap menyimpang  dari kebenaran. Dalam praktiknya, salaf dalam makna kedua ini tidak punya tokoh rujukan definitif yang hidup di masa salaf sehingga tidak jelas bangunan pendapat yang dirujuk dari “salaf” tersebut. 
 
 
Para pengikut “salaf” yang fiksi ini biasanya bersikap eklektik, kadang mengikuti imam A dan menyerang pendapat imam B, tetapi kadang memilih imam B dan menyerang pendapat imam A. Di satu sisi mereka beralasan bahwa para imam salaf harus diikuti sebab mereka pasti benar, tapi di sisi lain mereka mengatakan bahwa semuanya harus kembali pada dalil sedangkan para Imam itu hanyalah sosok yang tak terjaga dari salah. Ini adalah sebuah kontradiksi yang nyata dari golongan ini.
 
Bila dilihat secara objektif, mereka sama sekali tak mengikuti ulama salaf mana pun, tetapi mengikuti hasil pendapatnya sendiri yang dipakainya untuk “menghakimi” pendapat ulama salaf. Hanya saja, pendapat ulama klasik yang cocok dengan mereka lantas dilabeli sebagai “pendapat salaf” sedangkan pendapat yang kebetulan tidak sesuai dengan penalaran mereka lantas dilabeli dengan “menyalahi dalil.” Dari ciri-cirinya, konsep pemikiran ini lebih tepat disebut sebagai sebuah mazhab baru daripada sebuah manhaj yang konsisten. Syekh Ibnu Taymiyah (661-728 H) dikenal sebagai salah satu konseptor "mazhab” salaf ini. 
 
Sebagai contoh, dalam hal akidah para pengikut salaf dalam arti kedua ini selalu mengklaim bahwa sifat khabariyah Allah haram ditakwil dan ini adalah kesepakatan seluruh ulama salaf. Mereka yang menakwil sifat khabariyah itu biasanya divonis sebagai ahli bid'ah sebab dianggap berbeda dengan manhaj salaf dalam memperlakukan sifat Allah. Untuk memperkuat argumennya, biasanya mereka menukil pendapat Imam Malik yang populer berikut:
 
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
 
"Istiwa' itu sudah diketahui, kaifiyahnya tidak diketahui dan mengimaninya adalah wajib.  Sedangkan bertanya tentang itu adalah bid'ah.” 
 
Selain itu, mereka juga menukil pendapat beberapa tokoh salaf yang menolak bahkan mencela takwil. Meskipun benar bahwa para tokoh ulama yang dinukil itu menolak takwil, namun apakah seluruh tokoh salaf sepakat menolaknya? Tentu saja tidak demikian sebab sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada juga ulama salaf yang menakwil sifat khabariyah yang salah satunya justru Imam Malik itu sendiri. Dari sini menjadi jelas bahwa mereka tak sepenuhnya mengikuti Imam Malik.
 
Contoh lainnya adalah dalam pembahasan makna istiwa'. Pendapat "mazhab salaf" ini adalah dilarang menakwil dan wajib dimaknai secara literal (dhâhir). Untuk mendukung pendapatnya, maka biasanya mereka menukil pernyataan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya yang mengatakan:
 
ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة , وانما جهلوا كيفية الاستواء
 
"Tak ada satu pun dari Salafus Shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa di atas arahnya secara hakikat. Mereka hanya tidak mengetahui tata cara istiwa’-nya saja.” (al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, juz VII, halaman 219).
 
Tetapi di waktu yang sama, mereka mengingkari sebuah kaidah dari Imam al-Qurthubi sendiri yang beliau pakai ketika membahas ayat-ayat yang menyebutkan istiwa' atau "di langit" seperti berikut:
 
يستحيل على الله أن يكون في السماء أو في الأرض، إذ لو كان في شيء لكان محصورا أو محدودا ، ولو كان ذلك لكان محدثا ، وهذا مذهب أهل الحق والتحقيق
 
"Mustahil atas Allah untuk berada [secara fisik] di langit atau di bumi karena apabila ia berada dalam sesuatu maka berarti ia dikepung atau terbatasi. Apabila itu terjadi berarti Allah itu bersifat baru (dan ini mustahil).  Ini adalah mazhab orang-orang yang benar dan ahli tahqiq." (al-Qurthubi, at-Tadzkâr fî Afdlal al-Adzkâr, 18).
 
Pendapat Imam al-Qurthubi yang menyatakan ulama salaf tidak mengingkari makna istiwa' secara hakikat diambil secara literal sebab dianggap sesuai dengan mazhab mereka, namun kaidah beliau yang menafikan adanya tempat bagi Allah ditolak mentah-mentah sebab berlawanan dengan mazhab mereka. Padahal seharusnya semua pernyataan itu dikompromikan menjadi satu kesatuan utuh bila memang berniat mengikuti Imam al-Qurthubi. Bila pernyataan beliau dikompromikan maka akan diketahui bahwa maksud beliau tak lain adalah Allah istiwa' di atas arasy secara hakikat yang hanya diketahui Allah, namun bukan dalam makna bertempat secara fisik di atas Arasy. Ini adalah ungkapan lain dari tafwîdh yang menjadi pilihan mayoritas ulama salaf yang riil. 
 
Dalam masalah fikih, ketika pengikut salaf dalam kategori kedua ini membahas qunut subuh, maka banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa qunut subuh itu bid'ah. Sepertinya sama sekali tak ada peluang kebenaran bagi siapapun yang mengatakan bahwa qunut subuh itu sunnah sebab seluruh dalilnya menurut mereka lemah. Para ulama salaf seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i yang menyunnahkannya dianggap tergelincir dalam kesalahan dan pendapatnya harus dilempar ke tembok sebab dianggap menyelisihi sunnah sebagaimana yang mereka pahami. Pernyataan seperti ini bertebaran di internet. 
 
Dari sini terlihat jelas adanya inkonsistensi dalam klaim mengikuti salaf dalam arti kedua ini. Dalam makna ini, kata “salaf” tidak lagi konkrit sebab pendapat para tokoh salaf itu sendiri dipilih sebagian yang dianggap cocok dengan pemikirannya lalu sisanya dibuang, bahkan tanpa ragu dianggap menyimpang dari kebenaran (baca: menyelisihi sunnah). 
 
Bila memang konsisten dengan klaimnya untuk mengikuti ulama salaf dalam arti para Sahabat Rasul, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in, maka tentu seluruh perbedaan pendapat di kalangan mereka akan diakomodir dan tidak dipertentangkan secara diametral sebagai benar (baca: mengikuti sunnah) dan sesat (baca: menyelisihi sunnah) sebab pada realitanya semua perbedaan pendapat itu muncul dari ijtihad dalam memahami sunnah Rasulullah. Inkonsistensi ini seringkali menyebabkan adanya satu ulama dirujuk dalam satu kasus secara berlebihan sebagai representasi salaf yang sejati namun di kasus yang berbeda ulama yang dimaksud malah ditolak dan dianggap menyelisihi sunnah. Wallahu a'lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember