Ilmu Tauhid

Ulama Salaf Pantang Mengafirkan Muslim Lain

Kam, 27 September 2018 | 08:00 WIB

Di antara musibah besar yang menimpa umat Islam adalah adanya orang-orang yang mudah mengafirkan Muslim lainnya. Hal ini membuat perpecahan serius di tubuh umat ini, apalagi bila ada yang mengarah pada penghalalan darah sesama Muslim. Alasan pengafiran ini beragam, namun  lumrahnya karena ketidaksepakatan dalam menyikapi suatu hal yang berhubungan dengan aqidah. Namun ada juga pihak yang begitu mudahnya menjatuhkan vonis kafir sebab perbedaan pandangan di tataran fiqih semata, ini adalah ekstremisme yang sangat berbahaya.
 
Tengok saja misalnya pola dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab, penggagas paham Wahabiyah yang mengilhami beberapa kelompok “puritan” di era selanjutnya. Ia tak segan-segan mengafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya sebab ia merasa sudah mempunyai dalil Al-Qur’an dan hadits sehingga dirinya merasa bahwa menyelisihinya berarti sama saja dengan menyelisihi Al-Qur’an dan hadits. Ketika membahas tentang orang-orang yang bertawassul dengan para Nabi dan orang salih yang telah meninggal di kubur mereka, ia mengatakan:
 
كلهم كفار مرتدون عن الإسلام؛ ومن جادل عنهم، أو أنكر على من كفرهم، أو زعم أن فعلهم هذا، لو كان باطلا فلا يخرجهم إلى الكفر، فأقل أحوال هذا المجادل، أنه فاسق لا يقبل خطه ولا شهادته، ولا يصلى خلفه. بل لا يصح دين الإسلام، إلا بالبراءة من هؤلاء وتكفيرهم
 
“Mereka semua kafir, murtad dari Islam. Siapa yang berdebat membela mereka atau mengingkari kekafiran mereka atau menyangka bahwa tindakan mereka ini meskipun batil tetapi tidak berakibat kekafiran, maka derajat minimal bagi pembela ini adalah ia fasiq, tidak diterima pernyataan dan persaksiannya, tidak boleh salat menjadi makmumnya. Bahkan tidak sah agama Islam kecuali dengan berlepas diri dari orang-orang itu dan mengafirkan mereka.” (Abdurrahman al-‘Ashimi, ed, al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyah, juz X, halaman 53)
 
Dengan pola pikir sedemikian, ia telah menjadi seorang penganut monisme sejati yang memonopoli kebenaran dan merasa bahwa hanya penafsirannya terhadap Al-Qur’an dan hadits yang benar. Padahal sebenarnya tawassul hanyalah soal ragam redaksi dalam berdoa semata, intinya tetap saja para pelaku tawassul hanya berdoa kepada Allah saja tanpa bermaksud menyekutukan-Nya dengan apa pun.
 
Bandingkan dengan pernyataan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Syekh Ibnu Taymiyah yang juga didukung sepenuhnya oleh Adz-Dhahabi, periwayatnya, berikut ini:
 
رَأَيْتُ لِلأَشعرِيّ كلمَة أَعجبتَنِي وَهِيَ ثَابِتَة رَوَاهَا البَيْهَقِيّ، سَمِعْتُ أَبَا حَازِم العَبْدَوِيَّ، سَمِعْتُ زَاهِر بن أَحْمَدَ السَّرَخْسِيّ يَقُوْلُ: لَمَّا قَرُبَ حُضُوْرُ أَجل أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِيِّ فِي دَارِي بِبَغْدَادَ، دعَانِي فَأَتَيْتُه، فَقَالَ: اشهدْ عليَّ أَنِّي لاَ أَكفِّر أَحَداً مِنْ أَهْلِ القِبْلَة، لأَنَّ الكلَّ يُشيَرَوْنَ إِلَى معبودٍ وَاحِد، وَإِنَّمَا هَذَا كُلُّه اخْتِلاَف العِبَارَات. قُلْتُ: وَبنحو هَذَا أَدين، وَكَذَا كَانَ شَيْخُنَا ابْنُ تيمِيَّة فِي أَوَاخِرِ أَيَّامه يَقُوْلُ: أَنَا لاَ أَكفر أَحَداً مِنَ الأُمَّة، وَيَقُوْلُ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: لاَ يُحَافِظُ عَلى الْوضُوء إِلاَّ مُؤْمِنٌ فَمَنْ لاَزَمَ الصَّلَوَاتِ بوضوءٍ فَهُوَ مُسْلِم.
 
“Saya melihat satu kalimat dari al-Asy’ari yang membuat saya kagum, yaitu kalimat yang valid diriwayatkan oleh al-Baihaqi: Aku mendengar dari Abu Hazim al-Abdawi, Aku mendengar Zahir bin Ahmad as-Sarakhsi berkata: Ketika sudah dekat datangnya ajal Abu Hasan al-Asy’ari di rumahku di Baghdad, dia memanggilku lalu berkata: “Saksikanlah aku bahwa aku tak mengafirkan seorang pun dari Ahli Kiblat sebab sesungguhnya semua merujuk pada satu sesembahan yang sama. Yang berbeda hanyalah ungkapan semata.” Aku (adz-Dzahabi) berpendapat bahwa dengan yang semacam inilah aku beragama. Demikian juga guru kami, Ibnu Taymiyah di akhir-akhir hayatnya berkata: “Aku tak mengafirkan seorang pun dari umat ini”. Dia berkata: “Nabi Muhammad ﷺ bersabda: Tidaklah menjaga wudhu kecuali seorang mukmin, maka barangsiapa yang selalu shalat disertai wudhu, maka dia adalah orang Islam.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, juz XV, halaman 88).
 
Demikianlah pernyataan terakhir dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Syekh Ibnu Taymiyah. Meskipun keduanya sering dikesankan berseberangan, namun di akhir hayatnya keduanya sepakat untuk berpantang dari menjatuhkan vonis kafir secara gegabah terhadap muslim lain. Perbedaan di antara kaum muslimin umumnya hanya semata perbedaan redaksi untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Itulah teologi damai yang diyakini mayoritas umat ini (Aswaja). Teologi damai inilah yang harus selalu dipromosikan serta dilestarikan dari waktu ke waktu. Wallahu a'lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.