Nasional

Di Warung, Makan Dulu Baru Bayar, Bagaimana Hukumnya?

Ahad, 7 Januari 2024 | 15:00 WIB

Jakarta, NU Online
Sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat kita saat makan di rumah makan tidak melakukan akad jual beli. Pembeli langsung masuk rumah makan dan memesan makanan untuk dinikmati kemudian membayar makanan tersebut setelah selesai menyantapnya.

 

Padahal dalam Islam, muamalah jual beli memiliki rukun dan aturan yang harus dipenuhi seperti adanya penjual dan pembeli, barang yang diperjualbelikan, dan akad jual beli. Dalam kasus makan dulu baru bayar di rumah makan, sering tidak ada sighat atau kalimat dari pembeli yang menyatakan pembelian dan tidak ada qabul atau jawaban dari sang penjual se bagai tanda menerimanya.


Terkait dengan hal ini, Pengurus Wilayah Lembaga Bahtsul Masa’il NU Jawa Timur KH Zahro Wardi menjelaskan bahwa dalam fenomena makan dulu baru membayar di warung makan, rukun jual beli sudah terpenuhi kecuali sighat atau kalimat akad.


"Yang tidak ada adalah sighat atau bahasa komunikasi di antara kedua belah pihak," jelasnya dalam penjelasan di Kanal Youtube NU Online yang diakses pada Ahad (8/1/2023).


Menurutnya, dalam hukum memang terdapat akad yang tidak disertai dengan sighat atau bahasa transaksi. Ulama berbeda pendapat terkait sah tidaknya akad tanpa disertai sighat. Namun pendapat yang kuat menegaskan bahwa akad tersebut termasuk sah.


Hubungannya dengan kebiasaan makan dulu baru bayar ini bisa dihukumi sebagai orang yang bertanggung jawab karena telah menghilangkan atau merusakkan barang orang lain berupa makanan yang dimakan. Orang yang makan bertanggung jawab karena telah menghilangkan dan merusakkan harta orang lain (berupa makanan), serta orang yang memilikinya ikhlas maka diperbolehkan.


"Saya kira semua pemilik warung mesti ikhlas (pada makanannya). Ini artinya pertama kali dia berbuat ini sudah halal. Karena dia (pembeli) menduga bahwa yang punya itu ikhlas," jelasnya.


Kemudian yang memakan makanan tersebut juga punya dugaan jika tidak dibayar maka si pemilik tidak ikhlas. Apalagi harga makanan sudah tertera di rumah makan tersebut, maka tindakan tersebut menjadi tindakan yang halalan thayiban.


"Jual beli kata kuncinya antaradin (ridha). karena orang bertransaksi itu yang penting adalah bagaimana kedua belah pihak ini ada ridha," tegasnya.


Akan berbeda lanjutnya, si pemilik warung memiliki niat lain seperti ingin memalak pembeli dengan memberi harga di atas rata-rata, maka itu tidak ada ridha sehingga dihukumi tidak sah dan haram. Karena pembeli memang memiliki tujuan yang tidak baik dengan memalak pembeli.


Lebih jelas dalam artikel NU Online berjudul Fiqih Jual Beeli Syarat Sah dan Macam-macamnya, disebutkan syarat sah penjual atau pembeli.


Dilihat dari sisi orang yang melakukan akad (muta’âqidain), maka syarat sah jual beli ada dua yakni pertama, kedua pihak penjual dan pembeli sama-sama ahli dalam jual beli. 


Maksud dari ahli di sini adalah bukan seorang anak kecil (shabiy), tidak gila (majnun), dan tidak bodoh (safîh). Jika melihat ketiga unsur ini maka pada dasarnya, jual beli itu sah bila pelaku adalah seorang yang berakal. Ketika kedua penjual dan pembeli dalam kondisi sedang terkena musibah sehingga kehilangan akal untuk sementara, maka jual belinya tidak sah. 


Apabila proses hilangnya akal ini disebabkan karena faktor kebiasaan buruk, misalnya seperti pemabuk, maka jual beli yang dilakukan oleh ahli sakran (pemabuk) dalam kondisi mabuknya, hukumnya tetap sah. Kedua muta’âqidain memiliki hak memilih (khiyar). Maka tidak sah jual belinya orang yang dipaksa/terpaksa (mukrah), kecuali bila dipaksa oleh hakim dengan alasan yang benar. Contohnya, terpaksa menjual barang yang menjadi haknya untuk melunasi utangnya sendiri. Maka, meskipun terpaksa dalam menjualnya (kepepet),  maka hukumnya adalah sah. 


Contoh lain, seorang hakim memaksa agar orang membeli barang yang dirusaknya—membeli dalam rangka menebus atau bertanggung jawab atas risiko dari ulahnya. Hukum jual beli semacam ini hukumnya adalah boleh.