4 Ketentuan Rujuk dalam Hukum Pernikahan di Indonesia
NU Online · Selasa, 15 Juli 2025 | 16:00 WIB
Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Rujuk merupakan salah satu mekanisme yang diatur secara jelas dalam hukum pernikahan Islam dan telah diakomodasi oleh hukum positif di Indonesia yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan rujuk memiliki dasar yang kuat dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228:
وَبُعُولَتُهُنَ أَحَقُ بِرَدِّهُنَ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Artinya, “Dan para suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa tersebut jika mereka menghendaki kebaikan.”
Berikut ini adalah 4 ketentuan rujuk menurut peraturan yang berlaku di Indonesia dan perbandingannya dengan penjelasan para ulama.
1. Dalam Masa Iddah
Salah satu syarat utama untuk melaksanakan rujuk adalah bahwa rujuk tersebut harus dilakukan selama masa iddah istri. Hal ini tercantum dalam Pasal 163 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menegaskan bahwa masa iddah menjadi waktu yang ditetapkan untuk mempertimbangkan keberlanjutan pernikahan. Pasal tersebut berbunyi:
"Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah."
Ketentuan tersebut sesuai dengan fiqih. Dalam fiqih syafi'iyah juga dijelaskan bahwa rujuk hanya bisa dilakukan selama masa iddah belum rampung. Salah satu yang memberi penjelasan adalah Imam Ar-Rauyani. Beliau menjelaskan:
فَأَمَّا الرَّجْعَةُ، فَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّةُ الطَّلَاقِ، وَهُوَ إِلَى انْقِضَاءِ الْقُرْءِ
Artinya, "Adapun rujuk, seorang suami berhak merujuk istrinya selama masa iddah talak belum berakhir, yaitu hingga selesai masa quru' (suci dari haid)." (Bahrul Mazhab fi Furuʿil Mazhab asy-Syafiʿi, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 2009 M], juz X, cet. I, hal. 183)
2. Belum Talak Tiga
Selain harus berada dalam masa iddah, aturan rujuk di Indonesia mensyaratkan bahwa talak yang melatarbelakangi perpisahan suami-istri belum mencapai batas maksimal. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 163 ayat (2) KHI, talak yang sudah maksimal, yakni talak tiga, menutup kemungkinan untuk rujuk. Pasal tersebut berbunyi:
“Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal: [a] putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan sebelum dukhul.”
Aturan ini sesuai dengan ketentuan fiqih yang menyatakan bahwa rujuk hanya bisa dilakukan saat perceraian masih talak satu atau talak dua. Wanita yang sudah terkena talak tiga telah dinyatakan berpisah secara total (bainunah) dengan mantan suaminya. Imam As-Syairazi menjelaskan:
إِذَا طَلَّقَ الْحُرُّ امْرَأَتَهُ طَلْقَةً أَوْ طَلْقَتَيْنِ، أَوْ طَلَّقَ الْعَبْدُ امْرَأَتَهُ بَعْدَ الدُّخُولِ طَلْقَةً، فَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا قَبْلَ انْتِهَاءِ الْعِدَّةِ
Artinya, "Jika seorang laki-laki merdeka menceraikan istrinya dengan satu atau dua talak, atau seorang budak menceraikan istrinya setelah hubungan suami-istri dengan satu talak, maka ia berhak merujuk istrinya sebelum masa iddah selesai." (Al-Muhadzdzab fi fiqihil Imam asy-Syafiʿi, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], juz III, hal. 46)
Selain itu, dalam aturan tersebut terdapat frasa "sebelum dukhul". Frasa tersebut merujuk pada situasi di mana suami belum melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Secara hukum islam, dukhul mengacu pada hubungan intim yang menjadi tanda dimulainya hubungan fisik dalam pernikahan. Jika talak dijatuhkan sebelum terjadinya dukhul, maka hak rujuk tidak berlaku, karena dalam situasi ini, pihak istri tidak wajib menjalani iddah. Oleh karena itu, keputusan talak dalam kondisi ini bersifat final, dan pasangan tidak memiliki hak untuk kembali rujuk.
Hal tersebut salah satunya dijelaskan oleh Sayyid Bakri Syatha. Beliau menjelaskan:
فَلَا يَصِحُّ الرُّجُوعُ فِي الْمُفَارَقَةِ قَبْلَ الْوَطْءِ؛ لِأَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَشَرْطُ الرَّجْعَةِ أَنْ تَكُونَ فِي عِدَّةٍ
Artinya, "Tidak sah rujuk pada wanita yang diceraikan sebelum hubungan suami-istri karena tidak ada masa iddah baginya. Syarat rujuk adalah wanita tersebut berada dalam masa iddah." (Iʿanat ath-Thalibin ʿala Hall Alfazh Fath al-Muʿin, [Beirut, Dar al-Fikr: 1418 H/1997 M], juz IV, cet. I, hal. 35)
3. Perpisahan Tidak melalui Khulu’
Ketentuan lain yang harus diperhatikan dalam proses rujuk adalah bahwa perpisahan antara suami dan istri tidak boleh dilakukan melalui mekanisme khulu’. Pasal 163 ayat (2b) KHI menjelaskan bahwa khulu’, atau perceraian atas permintaan istri dengan memberikan tebusan, menghilangkan hak rujuk bagi suami.
Pasal 163 ayat (2b) KHI menyebutkan:
“Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.”
Hal ini sejalan dengan pendapat dalam fiqih yang menyatakan bahwa perpisahan melalui khulu’ dan li'an tidak memungkinkan rujuk, sebagaimana disebutkan:
وَلَا مُفَارَقَةٌ بِدُونِ ثَلَاثٍ مَعَ عِوَضٍ كَخُلْعٍ لِبَيْنُونَتِهَا
Artinya: “Dan tidak sah rujuk dengan wanita yang dicerai di bawah tiga kali talak dengan bayaran seperti khulu’, karena itu menyebabkan bain (terputusnya hubungan pernikahan)." (Zainuddin al-Malibari, Fathul Muʿin bi Syarh Qurratil ʿAin bi Muhimmatid Din, [Beirut, Dar Ibn Hazm: t.t], juz I, cet. I, hal. 521)
4. Sepengetahuan Istri
Baca Juga
Bolehkah Rujuk Tanpa Persetujuan Istri?
Aturan rujuk di Indonesia juga memberikan perhatian khusus pada hak istri dalam menentukan statusnya. Pasal 164 dan 165 KHI menyebutkan bahwa istri berhak untuk mengajukan keberatan atas proses rujuk yang diajukan oleh suami. Bahkan, pengajuan rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan istri dapat dinyatakan tidak sah.
Pasal 164 dan 165 KHI menyebutkan:
"Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi."
"Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama."
Terdapat perbedaan antara aturan yang berlaku ini dengan ijma'. Dalam konteks ketika suami telah mengucapkan kalimat rujuk, ijma para ulama menjelaskan bahwa seorang suami tidak perlu meminta persetujuan mantan istrinya. Salah satu yang menjelaskan klaim ijma tersebut adalah Imam Ibnu Qudamah. beliau menjelaskan:
وَلَا يُعْتَبَرُ فِي الرَّجْعَةِ رِضَى الْمَرْأَةِ؛ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا﴾ [البقرة: ٢٢٨]. فَجَعَلَ الْحَقَّ لَهُمْ... وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى هَذَا
Artinya: "Rujuk tidak mensyaratkan keridhaan wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala: Dan para suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu jika mereka menginginkan perbaikan. (QS. Al-Baqarah: 228). Dengan demikian, hak itu diberikan kepada para suami … dan para 'Ulama sepakat akan hal itu." (Al-Mughni, [Kairo, Maktabah al-Qahirah: 1388 H/1968 M], juz VII, cet I, hal. 519)
Imam an-Naisaburi sebelumnya memberi penjelasan yang sama. Beliau menjelaskan:
وَأَجْمَعُوا أَنَّ الرَّجْعَةَ إِلَى الرَّجُلِ مَا دَامَتْ فِي الْعِدَّةِ، وَإِنْ كَرِهَتْ ذَلِكَ الْمَرْأَةُ
Artinya: "Para ulama sepakat bahwa hak rujuk ada pada suami selama masa iddah, meskipun istri tidak menyukai hal tersebut." (Al-Ijmaʿ, [Riyadh, Dar al-Muslim: 1425 H/2004 M], cet. I, hal. 94)
Aturan rujuk di Indonesia yang tertuang dalam KHI mencerminkan banyak kesesuaian dengan literatur fiqih, seperti syarat rujuk dilakukan dalam masa iddah, hanya berlaku untuk talak satu atau dua, dan tidak sah jika perpisahan melalui khulu’. Namun ada sedikit perbedaan signifikan, seperti kewajiban persetujuan istri yang diatur dalam KHI, hal ini berbeda dengan ijma ulama yang menyatakan bahwa rujuk merupakan hak suami tanpa memerlukan keridhaan istri. Wallahu a'lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Inalillahi, Tokoh NU, Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia KH Imam Aziz Wafat
2
Santri Kecil di Tuban Hilang Sejak Kamis Lalu, Hingga Kini Belum Ditemukan
3
Mas Imam Aziz, Gus Dur, dan Purnama Muharramnya
4
Gus Yahya: Sanad adalah Tulang Punggung Keilmuan Pesantren dan NU
5
Kupas Tuntas Nalar Fiqih di Balik Fatwa Haram Sound Horeg
6
Sound Horeg: Menakar Untung-Rugi Kebisingan
Terkini
Lihat Semua