Nikah/Keluarga

Hukum dan Ketentuan Ila’ dalam Fiqih Pernikahan

Sel, 7 Maret 2023 | 08:00 WIB

Hukum dan Ketentuan Ila’ dalam Fiqih Pernikahan

Ila' sumpah suami untuk menjauhi istri. (Ilustrasi: NU Online/freepik).

Secara bahasa, ila’ merupakan bentuk masdar dari kata ala-yu’li yang berarti ‘sumpah’. Kemudian, secara historis, seperti halnya zhihar, ila’ merupakan bagian dari talak yang berlaku pada zaman Jahiliyah.


Secara terminologis, ila’ adalah sumpah seorang suami yang memiliki hak talak untuk tidak menggauli istrinya, baik dalam tempo tak terbatas maupun dalam tempo empat bulan. Karena itu, mengenai syarat dan rukun sumpah ila’, berlaku syarat dan rukun sumpah pada umumnya yang menggunakan asma Allah, yaitu: (1) al-halif atau orang yang bersumpah; (2) al-mahluf bihi (yang dijadikan sumpah), yakni nama Allah; (3). al-mahluf ‘alaih atau objek sumpah, yaitu jimak; (4) muddah atau tempo waktu.


Seperti halnya ungkapan talak, ungkapan ila’ juga ada yang sharih dan ada kinayah. Ungkapan sharih misalnya, “Demi Allah, saya tidak akan menjimakmu selama lima bulan.” Sementara ungkapan ila’ berupa kinayah, “Demi Allah, saya tidak akan menyentuhmu selama satu tahun.” Namun, layaknya ungkapan kinayah harus disertai niat.


Sebelum Islam datang, orang-orang Arab kerap menggunakan ila’ dengan tujuan menyengsarakan istri. Caranya mereka bersumpah untuk tidak akan mendekati istri mereka dalam tempo satu tahun atau lebih.


Setelah Islam datang, ketetapan ila’ diubah dan diposisikan sebagai sumpah dengan tempo paling lama empat bulan. Jika seorang suami kembali lagi kepada istrinya sebelum tempo empat bulan maka ia dianggap melanggar sumpah dan wajib membayar kafarat (denda) sumpah, selama sumpahnya menggunakan nama atau sifat-sifat Allah. 


Perubahan itu sebagaimana termaktub dalam Al-Quran, “Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. al-Baqarah [2]: 226). 


Karena itu, siapa saja yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam tempo kurang dari empat bulan, maka sumpah itu tidak termasuk ila’. (Lihat: Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, halaman 7069).


Menurut jumhur ulama, hukum ila’ adalah haram karena menyengsarakan istri dan membiarkan kewajiban suami. Pasalnya, dengan ila’ suami tidak menceraikan dan tidak mencampuri istrinya. Padahal, syariat sendiri telah mengajari rujuk dan cerai dengan cara yang patut, “Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik pula,” (QS. al-Baqarah: 229).


Hal itu sejalan dengan yang diungkap Syekh Zakariya al-Anshari dalam Kitab Fathul Wahab.


هُوَ لُغَةً الْحَلِفُ وَكَانَ طَلَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَغَيَّرَ الشَّرْعُ حُكْمَهُ وَخَصَّهُ بِمَا في آية: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ}  فَهُوَ شَرْعًا حَلِفُ زَوْجٍ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْءِ زَوْجَتِهِ مُطْلَقًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَهُوَ حَرَامٌ لِلْإِيذَاءِ


Artinya, “Secara bahasa, ila’ adalah sumpah. Ia merupakan talak pada zaman Jahiliyah. Lantas, syariat mengubah dan mengkhususkan hukumnya melalui ayat, ‘Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya...’ Secara syariat, ila’ adalah sumpah seorang suami untuk menghalangi dirinya dari menjimak istrinya secara mutlak atau lebih dari tempo empat bulan. Hukumnya adalah haram karena menyakiti istri,” (Lihat: Syekh Zakariya al-Anshari, Fathul Wahab, [Beirut, Darul Fikr: 1997], juz II, halaman 109).


Berdasarkan petikan di atas, penetapan ila’ dan pembatasan tempo waktunya dalam syariat Islam lebih kepada upaya mengangkat hak-hak perempuan, bukan kebolehannya. Sebab, perempuan yang semula kerap dibiarkan suaminya dalam waktu tertentu, kemudian temponya dibatasi menjadi maksimal empat bulan.


Lebih jelasnya perihal ketentuan ila’, Syekh Musthafa al-Khin menjelaskan. Jika seorang suami bersumpah ila’ untuk tidak menggauli istrinya secara mutlak atau dalam tempo lebih dari empat bulan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:


1. Dalam tempo waktu empat bulan, si suami diberi kesempatan: apakah akan kembali kepada istrinya dan membayar kafarat, atau menalak istrinya.


2. Demikian pula halnya jika setelah empat bulan perkara itu tidak kunjung selesai lalu diadukan oleh sang istri ke pengadilan, maka hakim boleh memutuskan dua perkara. Pertama, suami dituntut menarik sumpah dan kembali kepada istrinya, disertai membayar kafarat sumpah. Kedua, hakim menuntutnya untuk menceraikan istrinya. Hanya saja, jika si suami masih bersikukuh terhadap sumpahnya, maka hakim bisa menjatuhkan putusan talak satu dengan tujuan untuk menghilangkan kemudharatan pada istri. (Lihat: Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, [Damaskus: Daul Qalam], 1992, juz IV, halaman 145).


3. Adapun bentuk kafarat ila’ yang dapat dipilih suami adalah sama dengan kafarat sumpah, yaitu memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, memerdekakan budak, atau berpuasa selama tiga hari. Kafarat ini bersifat pilihan, sehingga boleh dipilih salah satu sesuai dengan kemampuan. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.