Nikah/Keluarga

Kewajiban Iddah di Tengah Peran Ganda Perempuan

NU Online  ·  Senin, 28 Juli 2025 | 19:00 WIB

Kewajiban Iddah di Tengah Peran Ganda Perempuan

Ilustrasi perempuan bekerja. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam masa iddah, salah satu ketentuan yang diberlakukan bagi perempuan adalah tinggal di rumah tempat ia diceraikan atau ditinggal wafat oleh suaminya. Namun, realitas kehidupan tak selalu sederhana. Ada perempuan yang memikul peran ganda: sebagai ibu sekaligus pencari nafkah utama, yang menjadikan kewajiban tinggal di rumah selama iddah sulit untuk dilaksanakan. 


Dalam kondisi seperti ini, keluar rumah bukanlah pilihan pribadi semata, melainkan tuntutan kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap kewajiban tinggal di rumah selama masa iddah bagi perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga?


Penjelasan Singkat tentang Iddah

Iddah merupakan salah satu ketentuan syariat yang berlaku bagi perempuan yang mengalami perpisahan dengan suaminya, baik karena perceraian maupun kematian. Selain sebagai bentuk ibadah (ta’abbudi), iddah memiliki fungsi sosial dan biologis, seperti memastikan rahim dalam keadaan kosong agar tidak terjadi percampuran nasab, serta memberi ruang bagi pasangan untuk mempertimbangkan kemungkinan rujuk jika perpisahan terjadi melalui talak raj’i (talak pertama atau kedua).


Jenis-jenis iddah dibedakan berdasarkan kondisi perempuan saat berpisah. Pertama, masa iddah selama tiga quru', yakni tiga kali suci menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, atau tiga kali haid menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, bagi perempuan yang diceraikan dalam keadaan tidak hamil dan bukan karena kematian.


Kedua, masa iddah selama empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang ditinggal wafat oleh suami, yang juga disertai masa ihdad atau berkabung. Ketiga, masa iddah sampai melahirkan bagi perempuan yang berpisah saat sedang hamil, baik karena cerai maupun ditinggal wafat. (Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, hlm. 523–526)


Ketika masa iddah, perempuan diharuskan untuk tinggal di rumah. Sebagaimana yang termaktub di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 240:


وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا وَصِيَّةٗ لِّأَزۡوَٰجِهِم مَّتَٰعًا ‌إِلَى ‌ٱلۡحَوۡلِ غَيۡرَ إِخۡرَاجٖۚ فَإِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِي مَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعۡرُوفٖۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ


Artinya, “Orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Akan tetapi, jika mereka keluar (sendiri), tidak ada dosa bagimu mengenai hal-hal yang patut yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”


Ayat tentang masa iddah di atas sejatinya ditujukan kepada perempuan yang ditinggal wafat suaminya. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa perempuan berhak menjalani masa iddah selama satu tahun dan mendapatkan nafkah dari harta suami. Namun ayat ini telah dinasakh dengan QS. Al-Baqarah [2]: 234, yang menetapkan bahwa masa iddah perempuan yang ditinggal wafat suaminya adalah selama empat bulan sepuluh hari, bukan satu tahun. 


Demikian pula ketentuan nafkah dari harta suami digantikan oleh ketentuan waris yang diberikan kepada istri. Akan tetapi, mengenai kewajiban tinggal di rumah, para ulama tidak menemukan adanya nas yang menganulir ketentuan tersebut. Oleh karena itu, kewajiban tinggal di rumah selama masa iddah tetap berlaku. (Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1994], Jilid I, hlm. 501)


Menurut Syekh Zainuddin al-Malibary, kewajiban tinggal di rumah tidak hanya berlaku bagi perempuan yang ditinggal wafat, tetapi juga bagi perempuan yang mengalami talak ba’in atau perpisahan karena fasakh. Adapun perempuan yang ditalak raj’i, boleh atau tidaknya keluar rumah bergantung pada izin suami dan kondisi darurat yang mendesak. (Fathul Mu’in, [Dar Ibn Hazm, 1431H], hlm. 527).


Namun, dalam realitas kontemporer, banyak perempuan yang memikul peran ganda: sebagai ibu sekaligus pencari nafkah. Dalam kondisi seperti ini, kewajiban tinggal di rumah menjadi tantangan tersendiri, apalagi jika masa iddah terjadi karena wafatnya suami. Perempuan bukan hanya bertanggung jawab atas pengasuhan anak, tetapi juga menjadi penopang utama keberlangsungan hidup keluarga. Dalam konteks ini, keluar rumah bukan semata kemauan, melainkan kebutuhan yang sangat penting dan tidak bisa dihindari.


Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin hadir dengan ajaran yang memadukan nilai prinsip dan kelenturan hukum. Dalam hal ini, syariat memberikan ruang fleksibilitas bagi perempuan yang menghadapi kondisi darurat atau kebutuhan mendesak. Tujuan utama dari anjuran tinggal di rumah selama masa iddah bukan untuk membatasi gerak perempuan, tetapi untuk menjaga kehormatan dan kemaslahatan pascapernikahan.


Ibnu Qudamah menjelaskan:


وللمُعْتَدَّةِ ‌الخروجُ ‌في ‌حوائِجِها ‌نَهارًا، سَواءٌ كانت مُطَلَّقةً أو مُتَوفًّى عنها


Artinya, "Perempuan yang menjalani masa iddah boleh keluar rumah pada siang hari karena ada kebutuhan, baik karena diceraikan maupun karena ditinggal wafat suaminya." (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Saudi Arabia: Dar Alim al-Kutub, 1997], Jilid XI, hlm. 297)


Syekh Zainuddin al-Malibary juga menyatakan bahwa perempuan yang sedang menjalani iddah diperbolehkan keluar rumah pada siang hari untuk memenuhi kebutuhan mendasar, seperti membeli makanan atau melakukan transaksi jual beli. Ia juga dibolehkan mengunjungi tetangga terdekat untuk berbincang, selama tidak berlebihan dan tidak menginap. (Fathul Mu’in, hlm. 527)


Dengan demikian, dalam kondisi tertentu, khususnya bagi perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, diperbolehkan keluar rumah selama masa iddah, selama tetap menjaga adab, batasan syar’i, dan dilakukan untuk keperluan yang benar-benar mendesak seperti bekerja mencari nafkah. Islam memandang kondisi ini dengan bijaksana, tidak memaksa di luar batas kemampuan, dan tetap mengedepankan prinsip maslahat serta kemuliaan perempuan. Wallahu a'lam.


Ustadzah Siti Amiratul Adibah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Alumnus Pondok Pesantren As'ad Jambi dan Ma'had Aly Situbondo.