Resmi Cerai di Atas Kertas Setelah Bertahun-Tahun Pisah: Iddah Masih Berlaku?
NU Online · Jumat, 1 Agustus 2025 | 19:00 WIB
M. Ryan Romadhon
Kolomnis
Sebagaimana diketahui, jika seorang perempuan menjanda lantaran ditalak (cerai talak) ataupun ditinggal wafat suaminya, maka perempuan tersebut tidak diperkenankan menikah lagi ketika dalam masa iddah.
Sebagaimana dikutip dari kitab Fathul Qarib karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, definisi iddah adalah sebagaimana berikut:
وهي لغة الاسم من اعتَدَّ، وشرعا ترَبُّص المرأة مدةً يعرف فيها براءة رحمها بأقراء أو أشهر أو وضع حمل
Artinya: “Iddah secara etimologi adalah kalimat isim dari fi’il madhi “i’tadda.” Sedangkan secara terminologi syariah iddah adalah penantian seorang perempuan dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih, dengan beberapa masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 252)
Hikmah adanya masa iddah selain untuk memastikan kekosongan rahim istri dari sperma suami lama sebelum menikah dengan laki-laki baru, juga untuk memberikan rasa penyesalan dan keinginan memperbaiki hubungan suami-istri selama proses iddah.
Dengan kata lain, iddah memberikan kesempatan bagi suami untuk memikirkan keadaan dan nasib istrinya, apakah baik dan menguntungkan jika kehidupan pernikahan dikembalikan lagi, sehingga suami dapat merujuknya sebelum masa iddah selesai, atau justru perceraian memang jalan terbaik, sehingga ia memilih untuk meninggalkan istri. (Syekh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid. IX, hlm. 434)
Pasangan Lama Berpisah, Baru Tercatat Cerai oleh Negara: Apakah Iddah Masih Berlaku?
Dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, sebuah perceraian baru dianggap sah dan memiliki konsekuensi hukum, termasuk kewajiban iddah, setelah adanya putusan cerai dari Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Perpisahan fisik saja, meskipun berlangsung lama, tidak secara otomatis mengakhiri ikatan perkawinan secara hukum.
Terdapat beberapa dasar hukum yang mengatur tentang masa iddah setelah perceraian di Indonesia, baik dari sisi hukum Islam maupun hukum positif (peraturan perundang-undangan). Berikut adalah penjelasannya:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
Meskipun tidak secara rinci menyebutkan "iddah", UU ini mengatur mengenai putusnya perkawinan dan konsekuensinya. Konsep "waktu tunggu" dalam UU ini pada dasarnya merujuk pada masa iddah.
- Pasal 39 ayat (1) dan (2) mengatur alasan-alasan perceraian dan asas mempersukar perceraian.
- Pasal 45 mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975)
PP ini lebih merinci pelaksanaan dari UU Perkawinan, termasuk mengenai ‘waktu tunggu’ (masa iddah).
- Pasal 34 ayat (2) menjelaskan bahwa suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Pasal 39 ayat (1) sampai (3) mengatur tentang lamanya masa iddah (waktu tunggu) bagi janda, yang sejalan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam.
3. Pasal 153 KHI
- Ayat (1): "Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau Iddah, kecuali qobla al-dukhul (belum pernah berhubungan suami istri) dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami."
- Ayat (2): Menjelaskan durasi waktu tunggu (iddah) secara rinci:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al-dukhul, waktu tunggu ditetapkan empat bulan sepuluh hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari.
c) Dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
d) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
4. Pasal 146 ayat (2) KHI
Pasal tersebut menyatakan bahwa suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun suami istri telah lama berpisah secara fisik, masa iddah tetap baru dimulai sejak keluarnya putusan cerai dari pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya, perpisahan tanpa pencatatan resmi tidak menggugurkan kewajiban iddah. Seorang perempuan yang ditalak tetap wajib menjalani masa iddah setelah putusan talak ditetapkan secara sah oleh pengadilan.
Dari dasar hukum di atas, jelas bahwa penetapan masa iddah dalam hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam, sangat merujuk pada ketentuan syariat dan dihitung sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
4
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Badan
6
Tuntutan Tak Diakomodasi, Sopir Truk Pasang Bendera One Piece di Momen Agustusan Nanti
Terkini
Lihat Semua