Nikah/Keluarga

Suami Istri Non-Muslim Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? (1)

Rabu, 13 Februari 2019 | 05:30 WIB

Suami Istri Non-Muslim Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? (1)

Ilustrasi (via fwords.gr)

Setiap agama memiliki aturan tersendiri di dalam ajaran-ajarannya yang mesti diikuti oleh para pemeluknya. Pun di dalam hal pernikahan setiap agama memiliki aturan yang menentukan keabsahan pernikahan yang dilakukan oleh masing-masing pemeluknya. Aturan pernikahan di dalam Islam sudah barang tentu berbeda dengan aturan pernikahan di dalam agama Kristen, Hindu, Budha dan agama lainnya.

Salah satu permasalahan yang terjadi dan menjadi problem di masyarakat adalah ketika sepasang suami istri non-Muslim menikah dengan aturan agamanya dan di kemudian hari pasangan suami istri ini memeluk agam Islam (menjadi mualaf) apakah pernikahan yang telah dilakukan dengan aturan non-Islam dianggap tidak sah dan batal sehingga keduanya harus mengulangi lagi akad nikah secara Islam?
Dalam hal ini para ulama fiqih mengulasnya dan membedakan hukumnya dalam dua keadaan, yakni bila pasangan suami istri menjadi mualaf secara bersamaan dan bila pasangan suami istri menjadi mualaf secara tidak bersamaan. Dalam tulisan ini kedua hal tersebut akan dibahas dalam dua bagian terpisah, insya Allah.

Suami-Istri Mualaf secara Bersamaan

Di dalam berbagai literatur fiqih bisa kita dapati banyak keterangan yang menyatakan bahwa pernikahan yang terjadi di antara sesama orang non-Muslim adalah dianggap sebagai pernikahan yang sah di dalam Islam. Karenanya, sepasang suami istri non-Muslim yang menikah dengan tata cara agama mereka bila di kemudian hari keduanya sama-sama memeluk agama Islam maka pernikahan yang dilakukan oleh keduanya pada saat sebelum memeluk Islam tetap dianggap sah dan tidak diperlukan melakukan pernikahan ulang setelah memeluk Islam.

Imam Ibnu Rusyd di dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid menuliskan:

وَأَمَّا الْأَنْكِحَةُ الَّتِي انْعَقَدَتْ قَبْلَ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامُ، فَإِنَّهُمُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْإِسْلَامَ إِذَا كَانَ مِنْهُمَا مَعًا - أَعْنِي: مِنَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ -، وَقَدْ كَانَ عَقْدُ النِّكَاحِ عَلَى مَنْ يَصِحُّ ابْتِدَاءً الْعَقْدُ عَلَيْهَا فِي الْإِسْلَامِ أَنَّ الْإِسْلَامَ يُصَحِّحُ ذَلِكَ

Artinya: “Adapun pernikahan yang terjadi sebelum Islam, kemudian Islam datang pada pernikahan tersebut, para ulama bersepakat bahwa apabila Islam ada pada keduanya, yakni suami istri (masuk Islam) secara bersamaan, sedangkan akad nikah yang terjadi dahulu terjadi pada orang yang sah akadnya menurut Islam, maka Islam membenarkan pernikahan yang demikian.” (Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz II, hal. 39)

Sementara di dalam kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan:

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ - الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الصَّحِيحِ وَالْحَنَابِلَةُ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ - إِلَى أَنَّ نِكَاحَ الْكُفَّارِ غَيْرِ الْمُرْتَدِّينَ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ صَحِيحٌ

Artinya: “Jumhur fuqaha—ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah menurut pendapat yang sahih, ulama Hanabilah, dan sebuah pendapat dalam kalangan ulama Malikiyah—berpendapat bahwa pernikahan orang-orang kafir selain orang-orang yang murtad adalah sah.” (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, [Kuwait: Kementerian Wakaf dan Islam, 1983], juz XXXXI, hal. 319)

Ditetapkannya pernikahan sebelum Islam sebagai pernikahan yang sah didasarkan kepada berbagai dalil di antaranya firman Allah:

وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ

Artinya: “dan istri Fir’aun berkata.” (QS. Al-Qashash:9)

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Artinya: “dan istri Abu Lahab, pembawa kayu bakar.” (QS. Al-Lahab: 4)

Di dalam kedua ayat tersebut Allah menyebut istri Fir’aun dan Abu Lahab sebagai “istri”. Bila pernikahan kedua pasangan tersebut dianggap tidak sah maka tentunya kedua perempuan itu tidak disebut sebagai “istri” dalam dua ayat tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan sebelum Islam dianggap sah oleh Islam.

Juga bisa mengambil dalil dari sahabat Ghailan dan lainnya yang ketika masuk Islam mereka memiliki istri lebih dari empat orang. Maka kemudian Rasulullah memerintahkan untuk tetap memegang empat orang istri dan menceraikan lainnya. Pada saat bersamaan Rasulullah juga tidak menanyakan perihal persyaratan nikah yang dahulu dilakukan sebelum masuk Islam (Muhammad Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtâj, [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz III, hal. 247-248). Ini semua menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui keabsahan pernikahan yang telah terjadi sbeelum masuk Islam.

Hanya saja yang dianggap sah oleh Islam adalah apabila pernikahan tersebut dilakukan oleh orang (suami istri) yang oleh Islam dianggap sah melakukan pernikahan itu. Umpamanya, sepasang pengantin non-Muslim menikah dan di antara keduanya tidak ada hubungan mahram sebagaimana diatur di dalam Islam, maka ketika keduanya masuk Islam pernikahannya itu dianggap sah oleh Islam. Sebaliknya, bila seorang laki-laki non-Muslim menikah dengan seorang perempuan non-Muslim yang notabene perempuan itu adalah keponakan atau anak dari saudara kandungnya sendiri. Di dalam Islam hal ini dilarang dan pernikahannya tidak sah. Maka apabila pasangan suami istri ini masuk Islam pernikahannya yang telah lalu itu tetap dianggap tidak sah.

Kiranya inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan kalimat “akad nikah yang terjadi dahulu terjadi pada orang yang sah akadnya menurut Islam” sebagaimana kutipan di atas.

Maka jelaslah bahwa sepasang suami istri non-Muslim yang masuk Islam secara bersamaan tidak perlu mengulang lagi pernikahannya, karena Islam menganggap pernikahan yang telah dilakukan pada saat sebelum masuk Islam sebagai pernikahan yang sah. Wallâhu a’alm.


Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal