Apakah Test Pack dan USG Kehamilan Bisa Menggugurkan Kewajiban Iddah?
NU Online · Selasa, 22 Juli 2025 | 17:00 WIB
Tuti Lutfiah Hidayah
Kolomnis
Masa iddah adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan yang berpisah dari suaminya, baik karena perceraian maupun kematian. Tujuan utama dari proses ini adalah menjaga kemurnian nasab dengan memastikan tidak adanya kehamilan dari suami sebelumnya. Hal ini sangat penting dalam hukum Islam yang menekankan kejelasan nasab dalam urusan waris, perwalian, dan lainnya.
Namun, seiring dengan kemajuan teknologi medis, seperti ultrasonografi (USG) dan alat deteksi kehamilan (test pack), muncul pertanyaan baru: Apakah pemeriksaan medis yang cepat dan akurat tersebut dapat menggantikan kewajiban menjalani masa iddah?
Ketentuan masa iddah sendiri dalam Al-Qur’an berbeda-beda tergantung pada kondisi perempuan yang bersangkutan. Secara umum, rincian masa iddah adalah sebagai berikut:
1. Iddah karena wafatnya suami
Masa iddah karena sebab wafatnya suami adalah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 234. Ketentuan ini berlaku bagi semua perempuan yang telah berhubungan badan suami-istri, tanpa memandang usia atau status haid, baik yang masih mengalami haid, tidak haid karena usia lanjut (menopause), maupun masih muda.
2. Iddah karena perceraian atau fasakh
- Perempuan yang tidak haid, baik karena belum baligh atau telah menopause, menjalani masa iddah selama tiga bulan, berdasarkan QS. At-Talaq [65]: 4.
- Perempuan yang masih mengalami haid, menjalani masa iddah selama tiga quru’, yang dipahami sebagian ulama sebagai tiga kali haid, dan oleh sebagian lainnya sebagai tiga kali suci, mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 228.
- Perempuan yang sedang hamil saat ditinggal suami, baik karena perceraian maupun kematian, maka masa iddahnya berakhir ketika melahirkan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Talaq [65]: 4.
- Perempuan yang belum berhubungan badan sama sekali, ketika terjadi perceraian, tidak diwajibkan menjalani masa iddah, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ahzab [33]: 49.
Dari ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa masa iddah adalah kewajiban yang bersifat syar‘i dan ditetapkan langsung oleh Al-Qur’an. Tidak ada perselisihan ulama tentang kewajibannya. Adapun alasan dari kewajiban ini juga telah dijelaskan oleh para fuqaha, salah satunya Abu Ishaq asy-Syirazi dalam kitabnya:
وَلِأَنَّ الْعِدَّةَ تَجِبُ لِبَرَاءَةِ الرَّحِمِ
Artinya, "Karena iddah diwajibkan untuk memastikan kosongnya rahim (dari kehamilan)," (al-Muhadzdzab, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz III, hlm. 118).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa di antara hikmah utama dari masa iddah adalah penegasan status rahim, agar tidak terjadi kerancuan nasab antara suami sebelumnya dengan laki-laki lain yang mungkin menikahi perempuan tersebut setelah iddah.
Di sisi lain, kemajuan teknologi kedokteran telah berkembang pesat, salah satunya adalah penggunaan USG (ultrasonografi). USG merupakan alat yang digunakan untuk memeriksa organ dalam tubuh manusia dengan gelombang ultrasonik berfrekuensi tinggi. Alat ini dapat menggambarkan kondisi janin secara detail. Begitu juga test pack, merupakan alat yang dapat mendeteksi kehamilan sejak dini melalui hormon hCG dalam urine, meski tingkat akurasinya lebih rendah dari USG.
Dalam perspektif fiqih dan hukum Islam, perintah Allah terhadap kewajiban perempuan menjalani iddah merupakan suatu ibadah yang harus dijalani (ta'abbudi). Sebagaimana yang disampaikan Abu ‘Abbas dalam kitabnya:
Baca Juga
Eksistensi USG Gugurkan Masa 'Iddah
وَإِنَّمَا وَجَبَتِ الْعِدَّةُ وَإِنْ عَلِمَتْ بَرَاءَةَ الرَّحِمِ وَلَمْ يَجِبِ الِاسْتِبْرَاءُ إِلَّا إِذَا لَمْ تُعْلَمْ بَرَاءَةُ الرَّحِمِ، لِأَنَّ الِاسْتِبْرَاءَ مَعْقُولُ الْمَعْنَى، مَا شُرِعَ إِلَّا لِتَحْصِيلِ بَرَاءَةِ الرَّحِمِ، فَإِذَا حَصَلَ فَأَيُّ حَاجَةٍ إِلَى الِاسْتِبْرَاءِ؟! بِخِلَافِ الْعِدَّةِ، فَإِنَّ فِيهَا مَعْنًى تَعَبُّدِيًّا، فَالْمَرْأَةُ الْمُعْتَدَّةُ وَإِنْ عَلِمَتْ بَرَاءَةَ رَحِمِهَا، لَا بُدَّ لَهَا مِنَ الْعِدَّةِ لِلْمَعْنَى التَّعَبُّدِيِّ الَّذِي فِيهَا، وَإِنْ كَانَتْ فِي الْجُمْلَةِ شُرِعَتْ لِبَرَاءَةِ الرَّحِمِ وَعَدَمِ اخْتِلَاطِ الْأَنْسَابِ، فَهِيَ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ كَالِاسْتِبْرَاءِ، وَلَكِنَّهَا لَمْ تَخْلُ مِنْ شَائِبَةِ التَّعَبُّدِ، فَلِذَلِكَ افْتَرَقَا، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Artinya “Sesungguhnya masa iddah tetap diwajibkan meskipun telah diketahui bahwa rahim wanita itu kosong (tidak mengandung), sedangkan istibra’ (menunggu untuk memastikan rahim kosong) tidak diwajibkan kecuali jika tidak diketahui bahwa rahim itu kosong. Karena istibra’ adalah hukum yang dapat dipahami maknanya, tidak disyariatkan kecuali untuk memastikan kekosongan rahim. Maka jika hal itu sudah diketahui, apa gunanya lagi istibra’? Berbeda halnya dengan iddah, karena dalam iddah terdapat sisi ibadah. Maka seorang wanita tetap wajib menjalani iddah walaupun ia tahu bahwa rahimnya kosong, karena ada unsur ibadah dalam masa iddah. Meskipun pada dasarnya iddah disyariatkan untuk memastikan kekosongan rahim dan mencegah percampuran nasab, namun tetap mengandung sisi ibadah, sehingga keduanya (iddah dan istibra’) pun berbeda. Dan Allah lebih mengetahui,” (Abul ‘Abbas al-Wansyarisi, ‘Uddatul Buruq fi Jam’i Maa fil Madzhab minal Jumu’i wal Furuq, [Beirut: Darul Gharbil Islami, t.t.], halaman 317).
Masa iddah juga merupakan bentuk penghormatan terhadap sebuah pernikahan. Istri diberi waktu untuk tetap tinggal di rumah, mendoakan, mengenang suami, menunjukkan rasa duka, dan mempertimbangkan kelanjutan rumah tangga. Ini bukan hanya soal kewajiban hukum, namun juga bentuk empati dalam sebuah hubungan.
Meskipun teknologi modern seperti USG dan test pack sangat bermanfaat sebagai alat bantu dalam mendeteksi kehamilan, hal tersebut tidak serta-merta menggugurkan kewajiban syar‘i untuk menjalani masa iddah. Hukum iddah dalam Islam tidak semata-mata bertumpu pada logika medis atau rasionalitas semata (ta'aqquli), melainkan berdiri di atas dasar ta‘abbudi, yakni kepatuhan dan penghambaan kepada ketentuan Allah yang bersifat sakral. Sebab iddah bukan hanya soal memastikan kekosongan rahim, tetapi juga mengandung nilai-nilai ibadah, kehormatan, dan penghormatan terhadap hubungan pernikahan yang telah berakhir. Wallahu A‘lam.
Ustadzah Tuti Lutfiah Hidayah, Alumnus Farmasi UIN Jakarta, dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.
Terpopuler
1
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
2
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
3
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
4
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
5
Kurangi Ketergantungan Gadget, Menteri PPPA Ajak Anak Hidupkan Permainan Tradisional
6
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
Terkini
Lihat Semua