Ramadhan

Fiqih Puasa: Driver Ojek Online Apakah Wajib Puasa?

Sab, 16 Maret 2024 | 21:00 WIB

Fiqih Puasa: Driver Ojek Online Apakah Wajib Puasa?

Ilustrasi: Warga NU konvoi motor di Bondowoso 2017.

Salah satu kewajiban umat Islam adalah puasa selama sebulan Ramadhan. Kewajiban ini merupakan tanggungjawab yang harus dilakukan oleh setiap muslim ketika semua syarat-syarat wajibnya sudah terpenuhi, seperti sudah mukalaf, baligh, mempunyai akal, tidak dalam keadaan menstruasi dan nifas bagi wanita, dan lain sebagainya.

Diwajibkannya puasa tidak lain selain agar orang-orang yang berpuasa bisa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan dirinya kepada Allah swt, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
 

‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).
 

Lantas, bagaimana dengan driver ojek online, apakah mereka masih mendapatkan tuntutan untuk berpuasa di sela-sela pekerjaannya yang sangat berat itu? 
 

Pada dasarnya, puasa diwajibkan bagi semua umat Islam yang sudah memenuhi syarat-syarat wajibnya sebagaimana yang telah disebutkan. Namun ada beberapa orang yang diperbolehkan tidak berpuasa dalam kondisi-kondisi tertentu. Misal di antaranya adalah orang sakit yang bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatannya ketika puasa, maka ia diperbolehkan tidak puasa. Ada juga misalnya musafir, yaitu orang yang bepergian jauh dengan jarak boleh mengqashar shalat, maka ia juga dibolehkan untuk tidak puasa.
 

Penjelasan di atas sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
 

‎وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
 

Artinya, “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah: 185).
 

Dari dua alasan di atas, driver ojek online memiliki kemungkinan untuk digolongkan pada golongan musafir, mengingat jarak tempuh dan perjalanannya yang biasanya cukup panjang. Hanya saja, sudah tepatkah menempatkan driver ojek online pada golongan musafir menurut perspektif fiqih? 
 

Merujuk penjelasan Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab I’anah at-Thalibin, kebolehan tidak puasa Ramadhan bagi musafir dalam ayat adalah jika memenuhi tiga syarat berikut, yaitu:

  1. perjalanan yang panjang minimal 2 marhalah/16 farsakh (80,64 km);
  2. bukan untuk bermaksiat; dan
  3. bepergiannya sejak sebelum terbitnya fajar.
     

Jika tidak memenuhi tiga syarat tersebut, maka musafir tetap harus berpuasa. (Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz II, halaman 267).
 

Dengan berpedoman penjelasan di atas, maka umumnya driver ojek online tidak memenuhi syarat tersebut, sehingga ia digolongkan musafir yang tetap wajib berpuasa. Pendapat ini sebagaimana dijelaskan oleh salah satu ulama kontemporer yang pendapatnya banyak dikutip dalam beberapa bahtsul masail NU, yaitu Syekh Muhammad Hasan Hitou, dalam karyanya ia mengatakan:
 

‎وَأَمَّا الْأَصِحَّاءُ: اَلَّذِيْنَ يَقْدِرُوْنَ عَلىَ الصَّوْمِ اِلاَّ أَنَّ أَعْمَالَهُمْ شَاقَةٌ، كَالَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الطُّرُقَاتِ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ أَوْ فِي الْمنَاجِمِ مَثَلاً، فَأُوْلَئِكَ لاَ يَجُوْزُ لَهُمْ الفِطْرُ بِحَالٍ، لِأَنَّ اللهَ أَنَاطَ الْفِطْرَ بِالسَّفَرِ أَوِ الْمَرَضِ وَلَمْ ينْطِهِ بِالْمَشَقَّةِ فَيَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَنَوُّوْا الصِّيَامَ
 

Artinya, “Adapun orang-orang sehat yang mampu untuk berpuasa, hanya saja pekerjaannya berat, seperti orang yang bekerja di jalan yang cuacanya sangat panas, atau di pertambangan misalnya, maka tidak boleh bagi mereka untuk tidak berpuasa, karena Allah membolehkan tidak puasa hanya kepada orang yang sakit dan musafir, bukan pada pekerja berat, sehingga mereka tetap wajib untuk niat puasa (di malam harinya).” (Hasan Hitou, Fiqhus Shiyam, [Darul Basyair al-Islamiyah: tt], halaman 125).
 

Ulama kelahiran 1943 di Damaskus menjelaskan, andaikan di pertengahan puasa seorang pekerja berat merasakan kepayahan yang bisa berbahaya jika tetap melanjutkan puasa, maka boleh baginya untuk berbuka dan membatalkan puasanya. Beliau kemudian mengutip dua firman Allah swt dalam Al-Qur’an, yaitu:
 

‎وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
 

Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadaMu.” (QS An-Nisa’: 29).
 

‎وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
 

Artinya, “Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” (QS Al-Baqarah: 195).
 

Sementara itu, Syekh Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili dalam salah satu kitab Al-Fiqhul Islami, mengutip Abu Bakar Al-Ajuri yang memerinci hukum boleh dan tidaknya puasa bagi pekerja berat. Menurut Al-Ajuri, jika pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan dan jika tetap berpuasa bisa berbahaya pada tubuhnya, maka ia boleh untuk tidak puasa dan wajib untuk menggantinya (qadha puasa). Namun jika meninggalkan pekerjaannya tidak berkonsekuensi apa-apa, maka membatalkan puasa tidak diperbolehkan:
 

‎مَنْ صَنْعَتُهُ شَاقَةٌ فَإِنْ خَافَ بِالصَّوْمِ تَلفاً أَفْطَرَ وَقَضَى إِنْ ضَرَّهُ تَرْكُ الصَّنْعَةِ فَإِنْ لَمْ يَضُرُّهُ تَرْكُهَا أَثِمَ بْالْفِطْرِ
 

Artinya, “Orang yang memiliki pekerjaan berat, jika ia khawatir dengan puasa pada kebahayaan, maka boleh untuk tidak puasa dan wajib untuk menggantinya (qadha), hal ini jika pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan. Namun jika pekerjaannya bisa ditinggalkan, maka berdosa apabila tidak puasa.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 79).
 

Simpulan Hukum

Dari uraian di atas dapat dipahami, secara umum driver ojek online tetap diwajibkan berpuasa sepanjang masyaqqah (kepyahan) yang dialaminya biasa-biasa saja. Namun apabila kepayahannya sudah melebihi batas wajar, maka boleh baginya tidak berpuasa, namun tetap wajib untuk menggantinya (qadha). Wallahu a’lam.

 


​​​​Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.