Ramadhan

Konsekuensi Menunda Utang Puasa sampai Ramadhan Berikutnya

Sen, 18 Maret 2024 | 16:30 WIB

Konsekuensi Menunda Utang Puasa sampai Ramadhan Berikutnya

Ilustrasi menunda utang puasa sampai Ramadan berikutnya. (NU Online).

Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam. Karena puasa hukumnya wajib, bila tidak orang melakukannya, maka harus mengganti aatu mengqadhanya. Qadha puasa harus dilakukan sebelum menemui bulan Ramadan berikutnya.  Lalu, bagaimana jika orang sengaja atau lupa tidak mengganti sampai menemui Ramadan tahun berikutnya?
 

Konsekuensi Sengaja Tidak Mengganti Puasa

Jika orang yang memiliki utang puasa tidak segera mengganti puasanya hingga menemui Ramadan berikutnya, dia akan mendapatkan dosa dan wajib membayar satu mud (kurang lebih 7 ons) bahan makanan pokok untuk setiap puasa yang ditinggalkan.
 

Dalam kitab Kanzur Raghibin, Jalaluddin Al-Mahali menjelaskan:
 

وَمَنْ أَخَّرَ قَضَاءَ رَمَضَانَ مَعَ إسْكَانِهِ) بِأَنْ كَانَ مُقِيمًا صَحِيحًا (حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ آخَرُ لَزِمَهُ مَعَ الْقَضَاءِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ) وَأَثِمَ كَمَا ذَكَرَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَذَكَرَ فِيهِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْمُدُّ بِمُجَرَّدِ دُخُولِ رَمَضَانَ
 

Artinya, “(Barang siapa yang mengakhirkan qadha puasa Ramadan, sedangkan dia mampu untuk melaksanakannya) dengan gambaran dia adalah orang yang mukim dan sehat (hingga menemui Ramadan selanjutnya, maka dia wajib meng-qodo’ dan membayar satu mud di setiap harinya) dan mendapat dosa sesuai keterangan yang disampaikan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan dalam kitab tersebut, Imam Nawawi juga menjelaskan adanya kewajiban membayar mud hanya dengan masuknya bulan Ramadan.” (Al-Mahalli, Kanzur Raghibin, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2010], juz II, halaman 90-91).
 

Landasan hukumnya adalah ada enam orang sahabat yang memberikan fatwa demikian dan tidak diketahui adanya seorang pun yang mengingkarinya. Keterangan ini disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj:
 

لِأَنَّ سِتَّةً مِنْ الصَّحَابَةِ رضي الله عنهم أَفْتَوْا بِذَلِكَ وَلَا يُعْرَفُ لَهُمْ مُخَالِفٌ
 

Artinya: “Hukum ini berlandaskan adanya enam orang sahabat berfatwa seperti itu. Dan tidak diketahui adanya orang yang berbeda pendapat dengan mereka”. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2016], juz I, halaman 528).
 

Konsekuensi ini akan  terus berlanjut tergantung berapa jumlah Ramadan yang dia temui. Imam An-Nawawi menjelaskan dalam kitab Minhajut Thalibin.
 

وَالْأَصَحُّ تَكَرُّرُهُ بِتَكَرُّرِ السِّنِينَ
 

Artinya, “Menurut pendapat paling kuat, kewajiban membayar satu mud akan terus berulang dengan berulangnya tahun.” (An-Nawawi, Minhajut Thalibin,  [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2017], halaman 42)
 

Untuk memahaminya, simak contoh berikut.
 

Nur memiliki utang puasa sebanyak lima hari pada Ramadan tahun 2022. Karena menunda-nunda akhirnya dia lupa mengganti puasanya sampai menemui Ramadan tahun 2023. Konsekuensinya ia berdosa karena menundanya, dan selain wajib mengqadhanya ia juga wajib membayar fidyah satu mud untuk setiap hari yang ditinggalkan. Totalnya jadi lima mud.
 

Jika Nur tidak kunjung mengganti puasanya dan belum membayar lima mud hingga menemui Ramadan tahun 2024, maka selain bertambah dosa dan wajib mengqadhanya, ia  wajib membayar 10 mud (lima mud dari Ramadan tahun 2023 dan lima mud dari Ramadan 2024).

 

Konsekuensi bagi Orang yang Berhalangan

Berbeda dengan keterangan di atas. Bagi orang yang berhalangan karena lupa, sakit, atau musafir, untuk mengganti puasa hingga menemui Ramadan berikutnya, ia tidak mendapatkan dosa dan kewajiban membayar satu mud per harinya. Singkatnya, ia hanya wajib mengqadha puasanya. 
 

Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan di dalam kitabnya,
 

أَمَّا إذَا لَمْ يَخْلُ كَذَلِكَ فَلَا فِدْيَةَ؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَ الْأَدَاءِ بِذَلِكَ جَائِزٌ فَالْقَضَاءُ أَوْلَى
 

Artinya, “Adapun orang yang tidak mengganti puasa (karena lupa, sakit, berpergian, hamil dan menyusui) hingga menemui Ramadan berikutnya, maka ia tidak terkena kewajiban membayar fidyah (satu mud). Karena mereka boleh mengakhirkan puasa secara ada’ (pada waktunya), maka kebolehan mengakhirkan qadha pun lebih utama.” (Al-Haitami, I/528). Wallahu a'lam.
 

Ustadz Muhammad Naufal NSH, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang