Ramadhan

Kultum Ramadhan: Kesadaran Ekologis sebagai Wujud Syukur atas Penciptaan Alam

Sen, 10 April 2023 | 11:00 WIB

Kultum Ramadhan: Kesadaran Ekologis sebagai Wujud Syukur atas Penciptaan Alam

Seseorang bersyukur atas nikmat alam semesta. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Di antara anugerah Allah yang harus disyukuri dengan sebenar-benar syukur adalah penciptaan alam dengan segala isinya yang diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup manusia. Secara lugas Al-Qur'an menjelaskan bahwa bumi seisinya diciptakan oleh Allah untuk memfasilitasi hidup manusia. 


Dalam surat Al-Baqarah ayat 22 Allah berfirman:


الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ


Artinya, "Dia Allah adalah Zat yang telah menjadi bumi sebagai alas bagi manusia, langit (awan) sebagai atap, dan Allah turunkan air hujan dari langit (awan), lalu Dia keluarkan darinya berbagai buah-buahan sebagai rezeki bagi kalian semua. Karenanya janganlah kalian menjadikan sesembahan-sesembahan lain sebagai saingan bagi Allah sementara kalian mengetahui (hanya Allah Tuhan yang semestinya disembah)."


Maksud bumi dijadikan alas adalah bumi diciptakan dalam kondisi ideal untuk dihuni, digunakan tidur, dan berjalan di atasnya. Allah tidak menjadikan seluruh bumi dalam kondisi sangat keras seperti batu. Demikian pula Allah tidak menjadikan seluruh bumi cair seperti air. 


Andaikan seluruh bumi dijadikan oleh Allah sangat keras seperti batu, maka akan sangat menyusahkan manusia dalam menjalani hidup keseharian. Demikian pula andaikan seluruh bumi dijadikan sangat cair seperti air, maka akan sangat merepotkan manusia untuk hidup di atasnya. 


Allah menjadikan bumi dalam kondisi sangat ideal untuk dihuni. Sebagian berupa bebatuan, sebagian lagi berupa air, dan sebagian lainnya berubah tanah yang nyaman dihuni oleh manusia. 


Selain nyaman dihuni, kondisi ideal bumi seperti ini juga memudahkan manusia untuk bercocok tanam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Memudahkannya untuk mendirikan berbagai bangunan dan infrastruktur untuk keperluan hidupnya. Memudahkannya untuk menggali sumur dan mengalir irigasi atau sungai-sungai buatan untuk kepentingan hidup manusia. Demikian penjelasan ini disampaikan oleh Syekh Nizhamuddin An-Naisaburi dalam kitab tafsirnya, Gharaibul Qur'an, juz I halaman 120.


Karenanya, penciptaan bumi yang sangat ideal untuk dihuni harus disyukuri dan sebenar-benarnya. Baik syukur secara lisan dengan mengucapkan kalimat hamdalah, alhamdulillahi rabbil 'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam; syukur dengan hati, yaitu dengan mengesakan Allah dan hanya menyembah serta menghambakan diri kepada-Nya; maupun syukur dengan perbuatan, utamanya dengan merawat alam ini sebaik-baiknya. 


Boleh kita menggunakan bumi dan seisinya untuk kepentingan hidup kita, tapi juga diimbangi dengan kesadaran menjaga keberlangsungannya untuk manusia generasi berikutnya. Boleh kita mengambil airnya, tanahnya, segala tambang yang berada diperut bumi, seperti emas, nikel, bauksit dan barang tambang lainnya, tapi harus disertai dengan menjaga keseimbangan alam secara benar.


Cara syukur dengan kesadaran ekologis seperti inilah yang akan mendatangkan keberkahan hidup bagi manusia sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam surat Ibrahim ayat 7:


وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ


Artinya, "Ingatlah Muhammad ketika Tuhanmu memberi tahu bila kalian mensyukuri nikmat-nikmat-Ku, niscaya akan Aku tambahkan nikmat-nikmat yang lain kepada kalian, dan bila kalian mengufurinya sungguh siksa-Ku amat berat."


Semakin kita merawat alam, semakin kita menjaga keseimbangan alam, semakin banyak pula keberkahan alam yang akan kita terima. Demikian sebaliknya, semakin kita merusak alam, semakin kita mengeksploitasinya tanpa memikirkan keseimbangan alam, semakin banyak pula kerugian dan musibah yang akan kita alami. Baik musibah di dunia seperti banjir, tanah longsor, dan semisalnya, maupun musibah di akhirat kelak dengan panasnya api neraka. 


Karenanya, kesadaran lingkungan, kesadaran untuk menjaga dan merawat alam sebaik-baiknya menjadi keharusan manusia yang hidup di atasnya. 


Selain memanfaatkan alam dan menjaga kelestariannya, tidak kalah penting juga kita mengambil ibrah, hikmah, dan pelajaran dari alam semesta. 


Karena setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah di alam semesta ini pasti mengandung hikmah yang luar biasa di balik penciptaannya. Andaikan manusia mau mengambil pelajaran pada setiap makhluk yang diciptakan, atau makhluk terdekat dengannya, bahkan yang sekilas terkesan sebagai makhluk yang remeh, pasti akan menemukan hikmah yang luar biasa. 


Dalam hal ini Imam As-Syafi'i pernah ditanya tentang hikmah mengapa Allah menciptakan lalat. Apa hikmahnya? Imam As-Syafi'i pun menjawab:


"Mudzillatul lil muluk."


Artinya penciptaan lalat itu untuk menghinakan para penguasa.


Seperti yang kita ketahui, lalat sebagai makhluk yang akrab dengan sampah akan menghinakan para penguasa zalim dengan hinggap membawa sampah di mukanya. Sehebat-hebat penguasa, ia tidak akan mampu menolak dihinggapi lalat yang membawa kotoran, yang akan menghinakannya. 


Demikian pula sehebat-hebat penguasa, ia tak akan mampu menciptakan lalat dengan segala detail anatominya. 


Tidak ada sesuatu pun makhluk yang diciptakan Tuhan kecuali mengandung hikmah luar biasa yang membingungkan akal manusia. 


Di titik inilah kemudian perenungan kita atas hikmah penciptaan alam akan berujung pada kesadaran atas kekuasaan Tuhan yang maha hebat. 


Di lubuk hati terdalam dan lirihnya ucapan lisan akan terucap:


رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


Artinya, "Wahai Tuhanku, tidaklah Engkau ciptakan alam ini secara batil atau main-main seperti keisengan belaka. Maha suci Engkau. Karenanya jagalah kami dari siksa api neraka." (Surat Ali Imran ayat 191). Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda