Ramadhan

Kultum Ramadhan: Puasa Sebagai Sarana Melatih Kecerdasan Emosional

Rabu, 19 Maret 2025 | 04:00 WIB

Kultum Ramadhan: Puasa Sebagai Sarana Melatih Kecerdasan Emosional

Ilustrasi puasa. Sumber: Canva/NU Online.

Bulan Ramadhan bukan hanya sekedar masa penuh berkah dengan peningkatan kualitas dan kuantitas amal ibadah, tetapi juga menjadi momentum terbaik bagi setiap Muslim untuk melatih diri agar memiliki kecerdasan emosional yang matang.


Kecerdasan emosional ini acap kali dikaitkan dengan kemampuan mengelola perasaan, kepedulian terhadap sesama manusia, makhluk hidup, dan lingkungan sekitar. Sehingga hal ini dapat berperan langsung untuk meningkatkan kualitas hidup secara umum.


Selanjutnya, puasa Ramadhan adalah ibadah yang identik dengan menahan diri dari makan, minum, nafsu syahwat dan hal-hal lainnya yang dapat membatalkan puasa, atau mengurangi pahala puasa. Namun ternyata, di balik ritual tersebut, Allah SWT memberikan hikmah yang banyak, di antaranya adalah menjadikannya sebagai sarana melatih kecerdasan emosional bagi setiap hamba-Nya.


Puasa: Sarana Melatih Kecerdasan Emosional

Telah masyhur bahwa tujuan besar dari pensyariatan ibadah puasa ini ialah mencetak manusia unggul yang memiliki sifat takwa kepada Allah SWT. Sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”


Salah satu ciri khas yang terdapat pada orang-orang yang bertakwa adalah mereka memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Misalnya, mampu mengelola emosi dengan baik saat berinteraksi dengan sesama, murah hati ketika bergaul, bisa menahan amarah, dan cenderung memaafkan kesalahan serta kekhilafan orang lain.


Sifat tersebut dijelaskan langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 133-134:


وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ


Artinya, “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan amarahnya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.


Pengendalian Emosi dalam Ibadah Puasa

Dalam beraktivitas sehari-hari, manusia sering kali dihadapkan pada problem yang dapat mengganggu kestabilan emosi. Ada saja kejadian yang memicu timbulnya perasaan marah, sedih, atau kecemasan akibat dari peristiwa tertentu, apalagi yang menyangkut dengan urusan pekerjaan.


Namun, ibadah puasa telah dirancang oleh Allah dengan begitu sempurna sehingga berfungsi sebagai sarana pengendalian emosi. Hal ini dapat dilihat dari rambu-rambu ketentuan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah RA:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ‌الصِّيَامُ ‌جُنَّةٌ، فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ، فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ


Artinya, Rasulullah SAW bersabda: “Puasa adalah perisai. Maka janganlah seseorang berkata kotor dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencaci atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia sampaikan, ‘Sungguh, aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari)


Hadits tersebut secara tidak langsung mengajarkan pemahaman bahwa puasa melatih seseorang untuk bisa menahan diri dari perilaku impulsif. Saat sedang berpuasa, ia harus mampu agar tidak merespons kemarahan dengan emosi yang meledak-ledak. Sehingga dengan demikian, puasa menjadi sarana efektif dalam meningkatkan kecerdasan emosional.


Al-Khattabi juga menjelaskan bahwa puasa yang didefinisikan sebagai perisai dalam hadits di atas, maksudnya ialah puasa dapat melindungi siapa saja yang melakukannya dari siksaan api neraka kelak di hari kiamat, dan memeliharanya dari segala macam godaan maksiat.


Kemudian, kalimat “فَلَا يَرْفُثْ” yang bermakna janganlah berkata kotor, maksudnya ialah seseorang yang melaksanakan puasa tidak boleh bertutur kata yang menyimpang dari moral yang baik, atau mengucap kata-kata cabul. Sebab, hal ini dapat merusak esensi dari puasa itu sendiri dan tentu bisa menghilangkan pahalanya.


Selain itu, lafaz "الرَفَثُ" juga dapat diartikan sebagai segala keinginan yang muncul dalam diri (syahwat) seorang laki-laki terhadap perempuan, (Al-Khattabi, A’lamul Hadits Syarh Shahih Bukhari, [Makkah: Markaz Ihya’ at-Turats al-Islami, 2016] vol. 2, hal. 940).


Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa puasa Ramadhan bukan hanya terbatas pada ibadah fisik saja, akan tetapi dapat berperan juga sebagai sarana melatih mental dan spiritual yang berguna untuk meningkatkan kecerdasan emosional.


Dengan rutin melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selama 30 hari berturut-turut, kaum Muslimin diharapkan dapat mengendalikan amarah, menumbuhkan empati, meningkatkan kesabaran, dan menjadi pribadi yang lebih tenang dalam menyikapi setiap permasalahan hidup.


Mari kita maksimalkan momentum Ramadhan ini untuk mengubah hidup ke arah yang lebih baik dengan dihiasi oleh kecerdasan emosional. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman.