Ramadhan

Rasionalisasi Puasa Satu-Satunya Ibadah yang Pahalanya Langsung dari Allah

Sab, 16 Maret 2024 | 10:00 WIB

Rasionalisasi Puasa Satu-Satunya Ibadah yang Pahalanya Langsung dari Allah

Ilustrasi rasionalisasi puasa satu-satunya ibadah yang pahalanya langsung dari Allah. (NU Online).

Puasa adalah ibadah yang tidak hanya memiliki nilai pahala bagi orang yang mengerjakan, namun juga memiliki dampak yang sangat baik baginya. Dengan berpuasa, seseorang sedang mendekatkan diri kepada Tuhannya, sekaligus meningkatkan kualitas diri.
 

Ketika seseorang berpuasa, ia akan lebih menjaga anggota badannya untuk tidak melakukan hal-hal yang merusak pahala puasa, seperti berbohong, membicarakan orang lain, gosip, mengadu-domba dan lainnya. Karena itu, makna puasa tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan jima’ saja, namun juga menahan anggota badan dari hal-hal yang bisa merusak pahala puasa.
 

Semua itu merupakan konsekuensi dari puasa itu sendiri, yang tujuannya agar orang-orang yang berpuasa bisa meningkatkan ketakwaannya. Ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).
 

Berkaitan ayat, Syekh Muhammad Ali As-Shabuni menjelaskan rasionalisasi kenapa harus takwa yang menjadi pokok dari tujuan puasa. Ia mengatakan bahwa takwa merupakan pokok dari semua ibadah. Dengan bertakwa setiap muslim akan takut kepada Allah tidak hanya di saat-saat bersama orang lain saja, namun juga di saat sendirian.
 

Di saat menyendiri dan jauh dari keramaian, bisa saja seseorang tergoda untuk tidak puasa, namun saat itu juga ketakwaan dalam dirinya sedang diuji oleh Allah swt, bisakah ia menahan dirinya dan terus berpuasa hingga memasuki waktu berbuka, atau justru terbawa oleh rayuan nafsu yang buruk, sehingga tidak bersabar dan berhenti puasa.
 

Karena itu, dengan berpuasa seseorang akan semakin terdidik untuk belajar taat dan bertakwa kepada Allah swt, tidak hanya di saat bersama orang lain, namun di saat sendirian sekalipun ia juga bisa menjaga ketakwaannya. Syekh Ali As-Shabuni dalam kitab Tafsirul Ayatil Ahkam mengatakan:
 

اَلصَّوْمُ يُهَذِّبُ النَّفْسَ الْبَشَرِيَّةَ، بِمَا يُغْرِسُهُ فِيْهَا مِنْ خَوْفِ اللهِ، وَمُرَاقَبَتِهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَنِ، وَيَجْعَلُ الْمَرْءَ تَقِيّاً نَقِيّاً يُبْتَعَدُ عَنْ كُلِّ مَا حَرَّمَ اللهُ
 

Artinya, “Puasa bisa mendidik jiwa manusia, dengan sesuatu yang telah tertanam dalam jiwanya, berupa takut kepada Allah, dan selalu merasa diawasi, baik di waktu rahasia maupun terbuka. Dan, (puasa) juga menjadikan seseorang bertakwa dan bersih, serta jauh dari setiap sesuatu yang diharamkan oleh Allah.” (Ali As-Shabuni, Tafsir Ayatil Ahkam, [Damaskus, Maktabah al-Ghazali: 1400 H], juz I, halaman 93).
 

Melihat penjelasan di atas maka tidak heran jika puasa memiliki nilai yang sangat istimewa di sisi Allah swt, bahkan puasa akan mendapatkan balasan langsung dari-Nya, tidak seperti ibadah-ibadah lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yaitu:
 

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ إِنَّمَا يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِي
 

Artinya, “Semua amal ibadah manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu hanya untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan langsung membalasnya. Ia meninggalkan makan dan minumnya semata untuk-Ku.” (HR Al-Bukhari).
 

Merujuk penjelasan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali, hikmah puasa mendapatkan balasan langsung dari Allah swt karena dua alasan, yaitu:
 

Pertama, dengan berpuasa maka orang menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan keinginan-keinginan nafsu dan syahwatnya dan lebih memprioritaskan keridhaan Allah. Ini hanya ada dalam ibadah puasa saja, tidak dalam ibadah-ibadah yang lain. Contoh ihram di Makkah Ibadah satu ini hanya meninggalkan hubungan suami-istri dan wewangian saja, sementara makanan tidak.
 

Sedangkan shalat, meski pada hakikatnya meninggalkan semua yang ditinggalkan orang yang puasa, seperti makan, minum, bersetubuh dan lainnya, namun shalat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, dan sebentar. Tentu tidak bisa menyamai waktu puasa yang dilakukan selama satu hari penuh.
 

Kedua, puasa merupakan ibadah yang hanya melibatkan Allah swt dan pelakunya sendiri. Tidak diketahui orang lain. Sebab, puasa diawali dengan niat di dalam hati yang tidak diketahui oleh selain Allah dan meninggalkan syahwat. Bahkan dalam menurut sebagian pendapat, saking rahasianya puasa, malaikat pencatat amal tidak bisa mencatatnya karena tidak tahu apa yang ada di hati manusia. Murni hanya Allah yang tahu. Ini merupakan puncak keimanan setiap orang, ketika ibadah yang dilakukan hanya diketahui oleh Allah yang memerintahkannya.
 

Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma'arif menjelaskan:
 

فَإِنَّ مَنْ تَرَكَ مَا تَدْعُوْهُ نَفْسُهُ إِلَيْهِ لِلهِ، حَيْثُ لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ غَيْرُ مَنْ أَمَرَهُ وَ نَهَاهُ دَلَّ عَلىَ صِحَّةِ إِيْمَانِهِ وَاللهُ تَعَالىَ يُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ يُعَامِلُوْهُ سِرًّا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَهُ
 

Artinya, “Maka sesungguhnya orang yang meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya hanya karena Allah semata, sekira tidak dilihat oleh orang lain selain Zat yang memerintahkan dan melarangnya, maka hal itu menunjukkan kebenaran imannya. Dan Allah senang kepada hamba-Nya yang beribadah dengan samar, yang menjadi rahasia antara diri mereka dengan diri-Nya.” (Ibnu Rajab, Lathaiful Ma’arif Fima li Mawasimil ‘Am minal Wazhaif, [Kairo, Darul Hadits: tt], halaman 212).
 

Itulah dua alasan atau rasionalisasi puasa menjadi satu-satunya ibadah yang mendapatkan balasan langsung dari Allah swt. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.